Rabu, 29 Juli 2020

katak dan udang


Setibanya dipinggir sungai, hewan-hewan lain segera mengerubuni anak katak. Atas sarana dari seekor semut (merah) anak katak (Supri)  lalu dibawa ke istana Raja Katak untuk diantarkan pada keluarganya.

*****
Di kerajaan katak…..
Raja katak yang bergelar Lord Bili marah dan sedih mendapati kondisi anaknya yang terluka. Terlebih lagi sang istri “Queen Laura”. Sang ratu sangat prihatin melihat keadaan putranya. Ia menangis sejadi-jadinya (lebayy). Apa yang membuat raja dan ratu sangat sedih? Bukankah katak biasanya memiliki banyak anak?
Tidak demikian, Lord Bili dan Queen Laura dalam cerita ini hanya memiliki satu anak semata wayang. Jadi, Supri merupakan anak kesayangan dan satu-satunya pangeran di kerajaan katak. Jika sampai meninggal berarti gak ada lagi putra mahkota yang akan menjadi pewaris kerajaan katak. Saat itu anak katak (Supri) hanya bisa terbaring lemas dengan perut luka menganga. Pihak ‘medis’ kerajaan katak hanya dapat memberikan perawatan apa adanya. Luka itu cuma dibalut dengan kulit pohon agar darahnya terhenti. Tak banyak yang bisa dilakukan. Rumah sakit gak ada. Karena memang belum zamannya.

*****
Di kerajaan Udang…..
Anak udang (Bayu) yang baru saja melukai anak katak tanpa sengaja segera menemui kedua orang tuanya untuk menceritakan kejadian pagi itu. Tentu saja sang ayah (Raja Udang) yang bergelar “Lord harfa” ingin marah besar. Akan tetapi, melihat anaknya yang masih kecil dan ketakutan, Lord Harfa berusaha memaklumi keadaan itu. Begitu juga dengan istrinya “Queen Sopia” , sang ratu tentu lebih bisa memahami kenakalan anak-anak. Tak perlu menyalahkan sang anak. Nasi sudah menjadi bubur. Apa pun yang terjadi, Raja dan Ratu sudah sepakat siap bertanggung jawab atas perbuatan sang anak kepada keluarga katak nantinya. Sedapat mungkin mereka akan melindungi anaknya dari hal-hal buruk.

*****
Siang itu juga raja katak segera mengirim utusan untuk menemui raja udang. Utusan kerajaan katak meminta raja udang agar bertanggung jawab dan membawa anaknya menemui raja katak di istana. Raja udang pun bersedia mengikuti utusan itu. Akan tetapi, ia gak mau membawa anaknya ikut serta. Sebagai bentuk tanggung jawabnya, maka berangkatlah raja udang bersama beberapa “tim medis kerajaan udang” ditemani pengawalnya menemui raja katak.
Sesampainya di kerajaan katak, Raja udang disambut langsung oleh Raja katak di aula besar istana. Sebuah pertemuan yang kurang mengenakkan. Raja katak terlihat sedih dan marah. Tentu saja raja udang berusah sebisa mungkin untuk bertanggung jawab atas peristiwa itu. Ia menunduk hormat untuk kepada raja katak yang tampaknya tidak bersahabat.

“Mana anakmu yang telah melukai anakku tadi? Kenapa tak kau ajak serta kemari?” Kata raja katak dengan suara keras.

“Oh, maafkan aku wahai sahabatku Lord Bili. Bukannya aku menolak membawanya kemari. Anakku itu memang sengaja tak ku bawa kemari. Saat ini ia sedang ketakutan. Ia masih terlalu kecil dan tidak sengaja melukai anakmu. Biarlah masalah ini aku yang bertanggung jawab. Kami telah membawa “tim medis” terbaik dari istana udang untuk membantu mengobati putramu itu. Bagaimana menurutmu?” kata raja udang.

“Baiklah, aku memakluminya. Aku bisa menerima tawaranmu itu. Cepatlah suruh “tim medismu” untuk menyembuhkan anakku! Kata raja katak.

“Tenanglah sahabatku. Kami sudah biasa mengobati luka. Kau jangan khawatir. Mudah-mudahan anakmu secepatnya bisa sembuh!” kata raja udang kemudian.

Setelah percakapan itu raja katak lalu mengajak rombongan raja udang untuk menemui anaknya disebuah ruangan. Di dalam ruangan tersebut, terbaring seekor anak katak yang sedang merintih-rintih kesakitan. Ia ditemani oleh ibunya dan beberapa “perawat”. Tubuh anak katak tampak terbalut dengan kulit pohon untuk menutup lukanya.

Setelah berdiskusi dengan “tim medis kerajaan katak” maka “tim medis kerajaan udang” pun mulai bekerja. Dengan hati-hati perban luka perut anak katak dibuka kembali oleh  salah satu “tim medis kerajaan udang” untuk melihat langsung keadaanya. Disaksikan oleh semua yang hadir, sebuah luka diperut menganga kembali. Akibat terbuka, luka itu mengucurkan darah.  Anak katak menjerit-jerit menangis kesakitan. Raja udang tentu sangat prihatin dengan kondisi anak katak. Ia benar-benar merasa bersalah. Terlebih-lebih lagi raja katak dan istrinya, mereka panik dan sangat khawatir pada keadaanya anaknya itu.

Dengan sigap tim medis terbaik dari kerajaan udang mulai bekerja. Luka menganga itu segera di obati dengan semacam lendir udang agar darahnya berhenti keluar. Perihnya bukan main. Anak katak hampir saja pingsan kesakitan. Berhasil. Darah memang benar-benar berhenti mengalir. Setelah itu tim medis kemudian membersihkan dan berusaha merekatkan bagian luka yang menganga. Bagaimana caranya? Apakah dengan cara di jahit seperti di rumah sakit? Lagi-lagi, urusan menjahit luka belum zamannya cuyy.

Dengan tingkat kesulitan tinggi, luka pada perut anak katak saat itu cuma direkatkan dengan getah pohon nangka. Cerdas dan berhasil! Luka menganga sebelumnya, kini telah tertutup dengan baik. Bagian itu kemudian dibalut kembali dengan kulit-kulit pohon. Selesailah tugas tim medis yang sangat melelahkan. Semua akhirnya bisa bernapas lega.

Menurut tim medis kerajaan udang, anak katak dilarang terlalu banyak bergerak supaya luka itu gak terbuka. Anak katak juga dilarang mandi di tempat kotor agar lukanya gak terinfeksi. Setelah dua minggu kemudian barulah “perban” boleh dibuka. Saat itulah nanti anak katak akan dinyatakan benar-benar sembuh dan boleh beraktivitas seperti biasanya.

Melihat kondisi anaknya yang sudah ditangangi dengan baik, Raja dan Ratu katak sangat berterima kasih kepada Raja udang. Mereka bisa memaafkan kesalahan anak udang. Sepertinya persahabatan antar dua kerajaan itu akan terjalin dengan baik kembali. Lebih-lebih raja udang, ia benar-benar merasa lega sudah berhasil menebus kesalahan anaknya.

Tengah hari setelah dijamu makan siang diistana raja katak, Raja udang beserta rombongan pulang keistananya dengan perasaan plong. Tanggung jawab sudah diselesaikan. Sebelum meninggalkan istana katak tak lupa mereka berpesan agar anak katak menuruti “pesan-pesan” sebelumnya. Tujuannya agar raja dan ratu katak tetap mengontrol keseharian anaknya. Supaya sang anak cepat sembuh tentunya.

Hari-hari selanjutnya semua berjalan seperti biasanya. Kondisi anak katak semakin membaik. Setelah tiga hari berlalu, anak katak sudah bisa berdiri kembali tanpa kesakitan. Mungkin lukanya sudah sembuh walaupun masih tertutup dengan perban. Ia bahkan sudah bisa bermain kembali dengan anak udang. Orang tuanya pun tampaknya gak terlalu khawatir.

Seminggu kemudian, anak katak yang sudah merasa lebih baik mengajak anak udang bermain-main dipinggir sungai. Awalnya mereka hanya bermain tanah lumpur saja. Namanya juga anak-anak. Sesuatu yang dilarang malah membuat penasaran.

“Eh, Bayu! Kita berenang dan main bola-bola air yuk!” Kata anak katak.
“Hah, apakah kau sudah benar-benar sembuh! Kata ayahku lukamu itu seminggu lagi baru sembuh. Untuk saat ini kau belum boleh berenang.” Kata anak udang.
“Gak apa-apa! Aku sudah merasa sembuh. Gak sakit lagi. Nih lihat!” kata anak katak sambil memperlihatkan perutnya.
“Mana kelihatan, kan masih ada balutannya. Lukamu itu bahaya kalau kena air.”
“Ah kamu, kalau menunggu seminggu lagi, kelamaan , tau! Aku buka perbannya sekarang aja ya. Biar kamu tau kalau aku sudah sembuh. Lagian gak leluasa berenang dengan tubuh terbalut perban begini.”

“Jangan, Supri! Nanti ayahmu marah!”

“Biar saja, mereka kan gak ada disini. Nanti selesai mandi aku balut lukanya kembali. Yang penting kita sama-sama merahasiakannya, hehehe….”

Akhirnya anak udang pun mengalah. Dengan agak ragu-ragu ia pun membantu anak katak membuka perban yang menutupi lukanya.  Benar-saja, luka pada tubuh katak sudah agak mengering. Setelah semua perban terlepas mereka berdua lalu menceburkan diri kesungai. Anak katak keasyikan bermain bola-bola air tanpa tahu akibat dari perbuatannya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar