Kamis, 23 Juli 2020

Tinggal di dusun VIII


Tinggal di dusun  VIII
Sintak Roh


Anak pertama, kedua dan ketiga nenekku sudah berkeluarga dan tinggal dirumahnya sendiri. Jadi saat itu hanya ibuku dan kakak keempat laki-laki yang belum berkeluarga masih tinggal bersama orang tuanya. Keseharian keluarga nenekku bekerja sebagai petani dan pembuat gula merah. Akan tetapi keluarga nenekku tidak pernah tinggal di dusun. Sawah dan kebun hanya berada disebuah rawa dibelakang kampung. Cukup berjalan kaki saja melewati hutan sudah dapat dicapai dengan mudah.

Kakekku(nenek laki) termasuk tetua kampung yang cukup disegani. Bukan karena memiliki jabatan ataupun seorang dukun, melainkan kakekku terkenal karena galaknya. Tidak banyak bicara namun galak. Bukan hanya pada keluarga sendiri, kepada orang lain juga. Tak perduli orang tua atau remaja, kakekku paling tidak suka orang berkelahi. Apabila ada orang berkelahi kakekku hanya akan menegur sekali. Bila masih juga, tak segan-segan kakekku akan menghardik mereka kemudian memberikan dua buah parang atau “bujak”  agar saling bunuh sekalian.

Pernah suatu ketika kakak kedua dan kakak ketiga saudara ibuku bertengkar dirumah. Hanya hal sepele, saling ejek dan merembet sampai saling mengungkit-ungkit pemberian. Nenek sebenarnya sudah berusaha melerai namun anak-anak malah makin menjadi-jadi. Kakek yang mengetahui hal itu segera mengasah dua buah parang hingga tajam. Awalnya tidak ada yang tahu untuk apa parang itu diasah. Tanpa banyak bicara, dibawanya kedua anaknya ini kehalaman rumah. Masing-masing diberi sebilah parang tadi dan disuruh untuk saling tebas agar masalahnya cepat selesai. Seketika anak-anak langsung pucat pasi. Tak ada yang berani menebas saudaranya. Mereka gemetar ketakutan hingga parang jatuh ketanah. Nenekku yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa menangis menjerit-jerit ketakutan. Sejak hari itu anak-anak tidak ada yang berani bertengkar dirumah. Bila ada masalah biasanya akan diselesaikan ditempat lain

Walaupun galak, kata ibuku kakek adalah orang tua yang sangat baik dan penuh tanggungjawab. Kakekku tidak pernah menyakiti nenek seumur hidupnya. Beliau sangat menyayangi anak-anak kecil. Jarang sekali marah. Hanya kalau marah sangat menakutkan. Apapun keinginan anak-anak, misalnya minta belikan sesuatu kakek tidak perhitungan selama masih dapat membelikan walaupun uangnya pas-pasan. Kakekku juga tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk membantu pekerjaannya selama masih bisa dikerjakan sendiri.

******

Segala hal tentang nek Jum sudah cukup lama diketahui oleh keluarga nenekku. Apalagi nenekku merupakan teman sepermainan nek Jum waktu kecil. Tentu saja nenekku ikut sedih dan prihatin. Hanya saja selama ini nenekku terlalu sibuk untuk memanen padi disawah. Kecuali malam hari, apabila tidak capek nenekku akan berkunjung kerumah nek Jum untuk menjenguk dan menemaninya ngobrol.

Selesai panen kala itu nenekku lebih sering mengunjungi nek Jum. Melihat keseharian nek Jum yang semakin memprihatinkan , nenekku bertekat sebisa mungkin untuk menolongnya. Keluarga dirumah juga sudah setuju. Walaupun tahu penyakit “breii” tidak ada obatnya, nenekku belum putus asa.
Menurut nenekku, nek Jum tidak sepenuhnya gila. Kemungkinan besar masih bisa disembuhkan. Karena setiap nenekku berkunjung malam hari keadaan nek Jum baik-baik saja. Walaupun terlihat menderita bathin, Nek Jum bisa diajak bicara dan penurut. Entah mungkin dia segan terhadap nenekku yang merupakan teman kecilnya dulu. Tetangga sampai bilang kalau nek Jum itu gila hanya pada jam-jam tertentu saja. Siang hari terutama pada pagi hari. Kalau malam, kadang aneh kadang normal.

Mengetahui keadaan nek Jum yang kurang terurus, sejak hari itu juga nenekku membulatkan tekat untuk mengurus orang tua ini semampunya. Semua itu dilakukan hanya atas dasar rasa kasihan sebagai kerabat jauh dan teman akrab. Siapa lagi yang mau merawat nek Jum sedangkan keluarganya saja tidak begitu perduli lagi. Mereka sudah bosan, capek dan tidak tahu lagi berbuat apa. Setelah melihat nek Jum yang mau menurut pada nenekku, keluarganya malah meminta nenekku untuk membantu mereka mengurus sang ibu. Apalagi nek Jum hanya mau mandi jika ditemani oleh perempuan saja. Para tetangga, anak-anak  dan menantunya sudah lelah oleh tingkah nek Jum. Menurut mereka hanya nenekku orang yang paling tepat.

Kata nenekku, sebenarnya walaupun kelihatannya penurut, pada saat-saat tertentu bukan hal mudah mengajak nek Jum untuk makan maupun mandi. Terutama pada “jam-jam gilanya”. Perlu kesabaran tingkat tinggi. Bayangkan saja betapa sulitnya mengurus orang gila yang sudah tua tapi bertingkah seperti anak kecil. Mau tidak mau harus ikut gila juga sementara. Kita harus siap korban waktu dan dimaki-maki. Keinginannya harus diikuti. Kalau sudah tidak mau tak bisa dipaksa.

Disela-sela kesibukannya mengurus keluarga sendiri, tiap pagi nenekku harus pergi kerumah nek Jum untuk mengajaknya makan dan memandikannya. Untuk makan tidak sulit. Tinggal ambilkan terus disuapi pakai sendok seperti anak kecil. Kadang malah nenekku sendiri yang jadinya disuapi nek Jum secara bergantian. Harus dituruti sampai selesai. Kalau tidak, nek Jum akan merajuk dan tidak akan mau makan lagi sampai seharian. Begitu juga jika mau buang air besar atau kencing. Nek Jum harus ditemani, dilepaskan pakaiannya setelah selesai barulah pakaian itu dipasangkan kembali. Bila tidak, nek Jum akan kencing dan berak sembarangan kemudian membiarkan dirinya telanjang bulat.

Untuk mandi lumayan sulit. Karena bila mengajak nek Jum mandi harus siap basah kuyup. Selain itu juga nenekku harus mau diajak berenang atau bermain lumpur bersamanya dipinggir sungai. Pada saat pertama mengajak mandi memang lumayan sulit. Macam-macam saja alasannya, mulai kedinginan, takut sabun kena mata sampai takut buaya dan “hantu ranam”. Akan tetapi nenekku tidak kehabisan akal. Asal mau diajak kesungai pasti bisa diajak mandi.

Ketika itu nenekku mengajak nek Jum ke sungai. Setibanya dipian, nenekku ingin membasuh tangannya. Eh, belum sempat bicara apa-apa, nek Jum tiba-tiba saja mengguyur tubuh nenekku dengan air sungai seember. Tubuh nenekku yang masih berpakaian lengkap langsung basah kuyup. Setelah itu nek Jum mau mandi asal ditemani bersama dengan cara saling memandikan. Kalau diajak berenang juga harus dituruti. Kadang nek Jum mengajak bermain saling membedaki muka pakai lumpur. Jika semua keinginannya itu diikuti, nek Jum akan tertawa senang seolah lupa denga buaya. Ia akan mandi sampai puas dan mau disabuni.

Setelah selesai mandi dan naik kerumah nek Jum lalu dipakaikan baju, disisir rambutnya, didandani, barulah bisa diajak makan pagi. Tengah hari biasanya nek Jum akan tidur siang. Saat itulah nenekku bisa pulang kerumahnya. Setibanya dirumah, nenekku menjadi bahan tertawaan anak-anak dan kakek. Tidak ada hujan tidak ada badai, masih berpakaian lengkap tapi nenekku malah basah sekujur tubuh. Akan tetapi, nenekku menganggap semua itu cuma hal lucu dan malah menyenangkan. Apakah nenekku ketularan ikut menjadi gila? Atau aku yang menulis cerita ini juga sudah gila?

Oh, tidak…Rhoma!
Sampai hari meninggalnya pun nenekku adalah orang yang waras. Sumpah!  Apalagi diriku sebagai cucunya, sampai saat ini masih normal kok, hanya saja masih jomlo.

**********

Begitulah hari-hari selanjutnya berjalan. Nenekku selalu punya waktu untuk mengurus nek Jum setiap hari. Malam harinya nenekku akan kembali lagi untuk mengajaknya makan dan menemani sampai bisa tertidur. Kadang kala nenekku bermalam dirumahnya. Kata nenekku, selama dalam pengawasannya, kalau malam hari nek Jum benar-benar seperti orang normal. Diajak bicara apa saja nyambung. Kadang malah sok tahu menasehati orang lain agar sadar bahwa jika sudah tua berarti mendekati kematian. Harus banyak-banyak mempersiapkan bekal untuk akhirat, katanya. Hebat juga, kataku!

Ada kalanya nenekku mengajak nek Jum untuk untuk bermalam dirumahnya. Setelah siang dikembalikan lagi kerumahnya. Kadang juga bukan hanya bermalam, nek Jum juga menginap dirumah nenekku sampai dua tiga hari. Berbulan-bulan hal itu berlangsung. Dari hari kehari nek Jum semakin penurut dan menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Orang-orang cukup senang dengan perkembangannya. Hanya saja nek Jum masih tidak mau diurus oleh orang lain selain nenekku. Untuk mandi juga masih harus ditemani seperti sebelumnya.

Selama menginap dirumah nenekku, pernah sekali nek Jum suatu pagi tidak mau mandi sama sekali dengan alasan takut buaya. Nenekku sudah berusaha membujuknya namun nek Jum terus menolak. Kakekku yang baru tiba dari tempat menyadap aren menjadi marah. Orang tua yang terkenal galak ini rupanya mulai hilang kesabaran. Dibentaknya nek Jum.

“Oii Jum! Kau takut kan bheya atau dusun. Mun kau ne mau manni kuantar kau ke dusun situ mini-mini ge. Kuikati kau dipondok kita, supaya ne depat mulang. Tuanya saneh sorangan kan makan hantu botak. Pilih hak manni atau diem dusun sorangan!”

(maaf untuk bagian 8 ini sengaja tidak diterjemahkan. )

Mendengar omelan kakekku, nek Jum langsung ketakutan. Semua orang juga tahu kalau kakek galak. Kakek takkan bicara dua kali. Ucapannya akan buktikan bila tidak menurut juga. Buru-buru nek Jum mengambil perlengkapan mandi dan turun kesungai untuk mandi sendiri. Nenekku langsung ikut menemaninya walaupun tidak ikut mandi juga. Ia hanya khawatir orang tua itu tenggelam disungai. Ternyata nek Jum bisa mandi sendiri dengan normal. Tidak manja-manja seperti sebelumnya. Sejak hari itulah nek Jum bisa mandi sendiri walaupun tanpa ditemani.

Pada suatu hari kebetulan seluruh anak-anak nenekku berkumpul dirumah. Keluarga nenek mengadakan selamatan kecil-kecilan yang hanya dihadiri oleh pihak keluarga saja. Nek Jum juga ada dirumah nenek saat itu. Ditengah-tengah acara makan-makan kue “apam” kakek membicarakan tentang nek Jum. Entah sadar atau tidak, atau menganggap nek Jum tidak paham apa yang dibicarakan, kakek nyeletuk sambil tertawa.

“Tageknya Jum ni mun hanek beik pa, etam carikan laki maha yo! hahaha..” kata kakek sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Anak-anak pun ikut tertawa tapi masih ditahan-tahan karena segan dengan kahadiran nek Jum diantara mereka. Tiba-tiba saja nek Jum yang tadinya cuma diam, menyahut.

“Oii kak, beneh ujemu ngia! Tapi ade lang urang laki mau kan urang tuha gile? Carikan hak lih mu. Mun kau haje kiranya apa rupanya? hahaha..” kata nek Jum dengan tertawa lepas.

Kata-kata nek Jum membuat kakek langsung kelabakan salah tingkah. Ia tak menyangka nek Jum rupanya mengerti apa yang dibicarakannya. Kakek tak bisa menjawab pertanyaan nek Jum. Seketika suasana menjadi hening sesaat. Anak-anak dan nenek berusaha menahan tawa takut dimarahi kakek. Tiba-tiba saja kakek malah tertawa terbahak-bahak. Pada akhirnya seisi rumah ikut tertawa beramai-ramai termasuk nek Jum sendiri. Tidak ada yang menganggap ucapan nek Jum itu serius. Lucu memang, orang gila mau dicarikan suami. Ada-ada saja, kata nenekku. Pada akhirnya ucapan nek Jum sering diulang anak-anak dihadapan kakek untuk menggodanya. Kakek tidak marah sama sekali. Beliau hanya tidak suka bila orang berkelahi. Kalau urusan lain kakek akan “ikut arus”. Malah dengan bangga kakek menimpali, memangnya kalian mau punya ibu kedua yang gila? Dasar!

**********
 
Pada suatu malam nek Jum bermalam dirumah nenekku. Lain dari biasanya. Malam itu nek Jum benar-benar seperti orang waras. Tidak akan ada yang menyangka jika orang tua ini menyimpan penyakit “gila”. Nek Jum bercerita masa-masa bersama suaminya dulu didusun pada nenekku. Ia bercerita dengan lancar tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari cerita indah sampai yang menakutkan saat-saat menunggui jenazah suaminya seorang diri. Tak lupa juga nek Jum menceritakan awal mulanya berumah tangga dengan almarhum suaminya. Nenekku hanya bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Menurut nek Jum, suaminya memiliki ilmu yang disebut orang “Sintak Roh”. Semacam ilmu pelet tetapi dikhususkan untuk pasangan yang sudah menikah.

*Sintak Roh merupakan sejenis ilmu pelet tingkat tinggi dan langka. Ada yang menyebut sintak roh sebagai ritual menikahkan roh kedua pasangan. Biasanya orang yang mempunyai ilmu ini akan menggelar pernikahan dua kali dalam hidupnya. Pertama, nikah seperti orang-orang pada umumnya(nikah jasmani). Kedua, nikah secara bathin (roh/ruh) yang hanya dilakukan berdua(suami-istri) dengan persetujuan kedua belah pihak secara rahasia tanpa diketahui orang lain.
Tentang bagaimana ritualnya penulis juga tidak mendapatkan penjelasan dari ibu. Akan tetapi, intinya selain menikah secara umum orang yang menggunakan ilmu ini akan menikah lagi berdua dengan mengikat sumpah perjanjian saling setia, sehidup semati. Bila salah satu meninggal lebih dulu, maka pasangannya takkan bisa mendapatkan pasangan yang lain. Ia akan ikut meninggal juga paling cepat tiga hari, dan paling lama setahun kemudian.

Dampaknya baiknya, orang yang melakukan ritual sintak roh menjadi saling setia pada pasangannya. Mereka tidak akan pernah selingkuh atau pun bercerai sampai ajal memisahkan. Dampak buruknya, bagi yang meninggal lebih dulu, jiwanya akan selalu membayangi pasangannya yang masih hidup. Sedangkan bagi pasangan yang masih hidup, tidak akan berumur lama sesuai perjanjian. Bila lewat tiga hari belum meninggal, maka akan mengalami breii dan gila. Pada akhirnya nanti akan meninggal juga dalam waktu kurang lebih setahun kemudian.*

Nek Jum dan suaminya dulu pernah melakukan ritual sintak roh setelah mereka menikah. Sebenarnya ilmu ini dapat diputus sebelum suaminya meninggal dunia. Seandainya dulu sebelum sang suami meninggal memutus/melepas ilmu ini nek Jum takkan mengalami breii dan gila. Akan tetapi, soal perjanjian sehidup semati sudah tak bisa dibatalkan lagi. Menurut nek Jum untuk memutus ilmu sintak roh hanya bisa dilakukan dengan mencari orang yang juga memiliki ilmu sintak roh. Artinya penyakit breii dan gila yang dialami nek Jum ada harapan untuk sembuh, walaupun hidupnya takkan lama lagi. Fungsi lain dari sintak roh adalah untuk mengembalikan pasangan suami istri yang renggang. Selama belum bercerai sampai talak tiga, pasangan itu masih bisa disatukan lagi. *koreksi jika salah*

Bagaimana pemirsa, kalian paham dengan penjelasan diatas? Kalau paham, alhamdulillah.

Nih kami ajari sedikit mantra yang diucapkan pada ritual sintak roh.
“karakat-karikit tumbuh dibatu. betangkap begigit urang bini brebut kan aku.”..hahaa

**********

Mendengar penjelasan dari nek Jum nenekku cukup kaget. Ia tak menyangka jika keluarga nek Jum pernah menggelar ritual sintak roh. Ilmu yang pada zaman itu saja sudah langka, apalagi dizaman now.
Akan tetapi, nenekku cukup gembira karena nek Jum memiliki kesempatan untuk sembuh walaupun usianya mungkin takkan lama. Ajal seseorang siapa yang tahu? Tak boleh putus asa. Tugas manusia hanya berikhtiar semampunya. Selanjutnya biar Tuhan yang menyempurnakan takdir. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan nenekku adalah bersama nek Jum mencari orang lain yang mungkin masih memiliki ilmu sintak roh.

Keesokan harinya setelah berdiskusi dengan keluarganya, nenekku bersama nek Jum pergi menemui saudara-saudara dari almarhum suaminya. Dan bersyukur sekali, tanpa mendapat kesulitan bertemulah mereka dengan adik perempuan dari almarhum sang suami yang juga rupanya memiliki ilmu sintak roh. Setelah mendapat penjelasan dari nenekku, adik perempuan ini pun setuju untuk menolong nek Jum dengan menggelar ritual sintak roh kembali. Dalam ritual ini tidak boleh dihadiri oleh orang lain selain nek Jum dan adik iparnya ini.

Pada malam harinya, tepat tengah malam saat orang-orang tertidur ritual sintak roh pun akan digelar. Rumah besar keluarga nek Jum sebelumnya sudah dikosongkan. Anak ketiga nek Jum harus menginap sementara dirumah saudaranya. Tempat inilah yang dipilih untuk menghindari supaya tidak ketahuan orang lain karena ritual harus dilakukan berdua secara rahasia. Nek Jum didandani dengan memakai pakaian pengantin seperti orang yang sedang menikah. Ritual dilakukan dalam sebuah kelambu berdua bersama sang adik ipar tanpa dihadiri oleh siapapun sampai pagi.
Awalnya adik ipar nek Jum merapal mantera-mantera aneh. Nek Jum dibuat seolah tak sadarkan diri hingga tidak ingat apa-apa lagi alias tertidur. Adik ipar pun ikut tertidur. Nah, dalam mimpi inilah sang adik ipar entah bagaimana caranya mempertemukan roh nek Jum dengan roh suaminya. Selanjutnya adik ipar ini meminta roh suami nek Jum agar melepas/memutus ilmu sintak rohnya pada nek Jum. Setelah itu ia akan meninggalkan mereka berdua sampai pagi. Sampai nek Jum terbangun dari tidurnya.

Ritual sintak roh malam itu berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan. Pada pagi harinya, nek Jum terbangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Ia sendiri bahkan kaget karena sedang berpakaian pengantian. Setelah mendapatkan penjelasan dari nenekku barulah nek Jum sadar dengan ritual yang digelar malam itu. Bagaimana keadaan nek Jum saat itu? Apakah sudah sembuh?

Menurut nenekku, wajah nek Jum pagi itu cerah dan bersemangat sekali. Tidak kelihatan ada kesan murung seperti hari-hari yang lalu. Seluruh keluarga nek Jum yang hadir menyaksikan perubahan itu dengan gembira. Nek Jum langsung mencari cucu-cucunya. Katanya ia sudah lama tidak bertemu dengan mereka. Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan. Anak-anak pun sepertinya tidak takut lagi dengan neneknya yang sudah sembuh itu.

Hari-hari selanjutnya keluarga nek Jum dapat hidup normal kembali. Nek Jum perlahan bisa mengurus dirinya sendiri seperti sedia kala. Walaupun hanya tinggal berdua bersama anak ketiga, nek Jum tidak lagi merasa kesepian. Ia sudah bisa menerima keaadaannya. Jika pun rindu dengan anak-anak yang masih kecil, nek Jum tinggal berkunjung kerumah anak pertamanya bahkan bermalam dirumah mereka. Anak-anak nek Jum sendiri kini dapat beraktivitas dengan normal tanpa rasa khawatir pada ibunya. Begitu pula dengan keluarga nenekku dan tetangga, mereka semua ikut gembira dan bisa bernapas lega dengan kesembuhan nek Jum.

Seminggu setelah peristiwa “ritual sintak roh”, nek Jum sering mengunjungi rumah nenekku. Apabila mengetahui nenekku sedang berada di sawah, nek Jum langsung menyusulnya. Saat itu sedang musim tanam padi. Tanpa diminta bantuannya nek Jum dengan suka rela membantu keluarga nenekku menamam bibit padi disawah yang berlumpur. Perubahan-perubahan sikap prilaku nek Jum itu tentu saja menjadi hal menggembirakan. Bukan saja sebagai teman akrab, nenekku sampai menganggap nek Jum seperti saudara sendiri. Tepatnya kakak-beradik. Karena nek Jum lebih tua, maka nenek memanggilnya sebagai kakak.

Kakek. Bagaimana dengan kakek? Karena sudah tidak gila, maukah kakek menjadi suami baru bagi nek Jum?............hahahaha..

Bukan. Bukan seperti itu. Ucapan-ucapan dulu hanya sebagai candaan saja. Semua orang sudah melupakannya. Nek Jum sangat menghormati orang tua yang galak ini. Ia memanggil kakek dengan sebutan kakak karena lebih tua. Bahkan kakek lebih tua daripada almarhum suami nek Jum.

Untuk mengisi hari-hari nek Jum yang mungkin tinggal sedikit itu kakekku bersama anak-anaknya sengaja membuka lahan baru ditanah keluarga kami untuk dijadikan tempat menanam jagung. Setelah lahan bersih, kemudian diserahkan khusus bagi nenekku dan nek Jum untuk menanami jagung dan sayuran.

Nek Jum ternyata orang tua yang sangat rajin. Tiap hari, pagi-pagi sekali nek Jum sudah tiba dirumah nenek untuk sama-sama pergi ke kebun. Bahkan pernah saat nenek dan kakekku masih tidur. Nek Jum tanpa diminta membantu memasakkan makanan pagi buat keluarga nenekku. Bukan main semangatnya. Berkat perawatan yang baik dari nenek bersama nek Jum, tanaman jagung dan sayur-sayuran tumbuh subur. Diperkirakan sekitar empat bulan lagi akan panen jagung.
Pada malam hari biasanya nek Jum akan kembali mengunjungi rumah keluarga nenekku untuk belajar mengaji dari kakekku. Kadang nek Jum menginap sampai pagi. Tidak ada yang meminta. Menurut nek Jum, ia hanya menunaikan wasiat dari suaminya dulu sebelum meninggal dunia. Selain itu juga nek Jum diajari oleh kakek dan nenekku cara sembahyang yang benar. Sampai akhirnya ia bisa shalat sendiri dirumahnya.

Hari-hari yang indah itu tidak berlangsung lama. Jika dihitung sejak meninggalnya sang suami, kurang lebih setahun. Seolah membenarkan teori “sintak roh”, sekitar seminggu setelah panen jagung nek Jum sakit parah. Ia terkena muntaber. Penyakit yang dulu menyebabkan suaminya meninggal. Saat itu penyakit muntaber memang sedang mewabah. Banyak juga orang lain yang mengalami. Hanya berlangsung dua hari tanpa perawatan berarti, nek Jum pun kembali kehadirat Tuhannya dengan disaksikan oleh tetangga dan seluruh keluarganya termasuk keluarga nenekku. Jumat pagi, nek Jum meninggal dunia tanpa sempat menyelesaikan pengajian-nya. Isak tangis kesedihan memenuhi rumah besar keluarga nek Jum. Hari itu juga setelah selesai shalat Jumat, jenazah nek Jum dimakamkan pada pekuburan tengah kampung tepat disamping makam suaminya.

SELAMAT JALAN NEK JUM. KIRANYA DIRIMU SUDAH BISA BERJUMPA DENGAN SANG SUAMI TERCINTA. SEMOGA YANG MAHA KUASA MEMBERIKAN TEMPAT YANG LAYAK UNTUKMU. Aamiin.

************

Setelah kepergian nek Jum, seluruh keluarganya berduka. Lebih-lebih nenekku yang hampir tiap hari menghabiskan waktunya bersama nek Jum di kebun. Nenek benar-benar merasa kehilangan. Kakekkku dan anak-anak lah yang kemudian memberikan semangat hingga ia dapat menerima kenyataan itu. Nasehat dari kakek untuk nenek bahwa mati adalah takdir. Kita tak bisa menolaknya. Cepat atau lambat. Kau, aku atau siapapun yang masih hidup saat ini pada akhirnya akan mengalami. Hanya menunggu waktu. Pilihan kita hanya menerima Takdir itu. Maka isilah hari-hari yang tersisa dengan hal baik sebagai bekal dikemudian hari untuk menempuh perjalanan selanjutnya

Tataplah buah kelapa dipuncak pohonnya. Ada yang sudah tua, ada juga yang masih kecil. Kita tidak pernah tahu buah kelapa mana yang jatuh duluan. Akan tetapi, secara logika, kelapa tua ibarat kapal bocor, tinggal menunggu oleng dan karam lalu tenggelam duluan. Di usia yang sudah tua tidak perlu lagi sibuk dengan urusan dunia. Sudah saatnya belajar Ikhlas, rela menerima keadaan dan mempersiapkan diri

Kakek meninggal sekitar tahun tujuh puluhan. Aku sendiri belum pernah melihat rupanya karena belum lahir kedunia ini. Saat kakek meninggal, ibuku baru memiliki anak pertama dan anak kedua. Menurut ibuku, kakek hanyalah seorang lelaki bertubuh kecil dan kekar. Seperti dikatakan sebelumnya, penyayang tapi galak. Sedangkan nenek, meninggal pada tahun 2002 saat aku masih berada dibangku SMA kelas dua.

S E L E S A I


*After scene kredit.
- Bertahun-tahun setelah meninggalnya nek Jum, dusun tempat tinggalnya tidak ada yang menempati lagi.
- Anak pertama yang pernah menggantikan pekerjaaan almarhum ayahnya juga sudah tidak bekerja sebagai pembuat gula merah.
- Anak pertama beralih pekerjaan sebagai nelayan di rawa-rawa.
- Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu, anak pertama pergi kedusun untuk membersihkan rumput-rumput yang menutupi kebun buah.
- Lama kelamaan gubuk keluarga nek Jum yang berada di dusun roboh karena kayu-kayu penyangganya sudah rapuh.
- Gubuk itu akhirnya runtuh kesungai bersama “tanah tabor” (longsor) oleh aliran air sungai.
- Tempat tersebut sekarang berubah menjadi sebuah “talok” (teluk/lubuk) yang luas.
- Aku bersama kakakku pernah pergi memancing ketempat ini menggunakan perahu ketinting.
- Jika pakai ketinting, dengan kecepatan standar, waktu yang diperlukan sekitar setengah jam untuk mencapainya.
- Banyak ikan-ikan yang menghuni talok tersebut, terutama ikan “ mpikusan, lais, lapok, salap, lancang, bahkan patin”.
- Masihkah bekas gubuk keluarga nek Jum menjadi daerah yang angker?
- Sampai bertemu lagi pada cerita yang lain.


Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar