Senin, 06 Juli 2020

Tinggal di dusun


Tinggal di dusun III

Bulan sabit semakin condong kearah barat. Perlahan suara-suara aneh menjauh sampai akhirnya benar-benar hilang ditelan malam . Suasana pun kembali seperti malam-malam sebelumnya. Nek Jum cukup merasa lega dengan keadaan itu.

Dari arah seberang sungai, terdengar  suara burung pungguk bersahut-sahutan mengusik keheningan. Bukan hal yang menakutkan bagi nek Jum. Sejak dulu burung pungguk memang menghuni tempat tersebut. Kata orang zaman dulu, saat bulan bersinar burung pungguk akan mengeluarkan suara nyanyiannya sebagai bentuk kerinduannya pada bulan (kekasihnya).

‘**********

Setelah selesai menghidupkan api, nek Jum segera naik ke gubuk dan membawa masuk suaminya. Ia tak ingin berlama-lama berada diluar karena udara malam sangat dingin menyentuh kulit. Pintu gubuk ditutupnya kembali rapat-rapat.  Sejak siang hingga subuh itu nek Jum seakan lupa untuk makan dan tidur. Rasa lapar, ngantuk dan capek tak dirasakannya lagi.

Sang suami kembali duduk bersandar pada dinding. Nek Jum segera menyelimuti tubuh sang suami dengan kain lusuh agar tidak kedinginan. Setelah itu ia pun ikut duduk bersandar pada dinding disamping suaminya. Diluar dugaan, keadaan suaminya sepertinya sedang sehat-sehat saja. Seolah tidak ada penyakit yang dideritanya. Ia dapat berkata-kata dengan lancar. Banyak hal yang mereka bicarakan subuh itu.

Sang suami bercerita tentang hal-hal yang dialaminya selama meninggal dan berada dialam lain beberapa jam yang lalu. Nek Jum lebih banyak mendengarkan saja. Sesekali ia berkomentar. Semua uraian ceritanya tentu takkan dituliskan di sini. Supaya tidak menjadi salah penafsiran dan fitnah. Karena penulis tidak berani menjamin kebenarannya. Cukup diketahui saja.

Pada obrolan lain sang suami juga berbicara tentang pembagian tanah warisan bagi anak-anak. Ia khawatir nanti setelah orang tua tidak ada, anak-anak berkelahi rebutan tanah keluarga. Sampai akhirnya diujung percakapan sang suami berkata:

“Dek, supaya kau tahu bahwa aku nade hidup tagek hari-hari biesa. Waktuku deket maha. Hanya untuk ngawani kau supaya ne takut. Parak siang kala mulang pulang aku ni slalu. Ntik kau sedih. Nade sapa manusia seumur kan dunia. Lawas lambatnya namanya manusia pasti mati ge. Pesanku kala jika ada salah sampaikan minta maafku ke ngkanak kan urang-urang ye ku kenal. Aku juge benyak-benyak minta maaf ke kau bile selama etam besama benyak salah kan nyakiti hatimu. Kau kala blejer ngaji ke urang ye tahu. Kuburkan aku kuburan tangah kampung. Ngia maha pesanku, ntik sampai kau pipat.”

(dek, agar kau tahu bahwa aku tidak untuk hidup seperti hari-hari yang lalu. waktuku sedikit. hanya untuk menemanimu supaya tidak ketakutan. mendekati siang nanti aku akan kembali(meninggal lagi) selama-lamanya. Janganlah kau bersedih. Tak ada manusia yang seumur dunia. Cepat lambatnya pasti akan mati juga. pesanku nanti, jika ada salahku sampaikan permintaan maaf pada anak-anak dan juga orang-orang yang ku kenal. Aku juga minta maaf padamu jika selama kita bersama banyak melakukan kesalahan dan menyakiti hatimu. belajarlah mengaji pada orang yang bisa. kuburkan aku pada pemakaman yang ada ditengah kampung. Itu saja pesanku, jangan sampai lupa).

Bukan main kagetnya nek Jum mendengar ucapan suaminya. Sungguh ia tak menyangka jika sang suami rupanya hidup sebentar saja demi menemaninya. Demi menyampaikan semua pesan-pesan penting tadi. Harapan untuk hidup bersama pun musnah. Airmata nek Jum tumpah membasahi kain yang ia pakai. Ditutupnya kedua matanya dengan tangan sambil masih sesenggukan. Ia mencoba mencerna semua kejadian itu. Berharap cuma mimpi, lalu bangun dan tak pernah terjadi. Akan tetapi, begitulah adanya. Suka atau tidak suka nek Jum harus menerimanya. Walaupun tak menginginkannya, manusia takkan mampu menolak takdir.

Tak ada perkataan apa-apa yang muncul dari mulut nek Jum. Tenggorokannya bagai tercekat. Ia menangis bagai anak kecil. Disandarkannya kepalanya pada bahu suaminya sambil terus sesenggukan. Sang suami yang merasa kasihan, membelai rambut istrinya yang juga telah memutih dengan lembut. Ia sendiri tak mampu berbicara apa apa lagi untuk menenangkan istrinya.
Beberapa saat kemudian nek Jum tidak ingat apa-apa lagi. Entah ketiduran atau pingsan ia tak mengetahuinya.

‘**********

Matahari pagi bersinar dari ufuk timur. Cahayanya yang kuning keemasan menembus celah-celah dedaunan. Hangat mengusir dinginnya kabut pagi. Sumua penghuni hutan riuh memulai kehidupan hari itu. Nek Jum terjaga dari keadannya setelah suara ayam dikandang membangunkannya. Ia lalu mengingat-ngingat kejadian beberapa saat yang lalu.

Setelah benar-benar sadar, nek Jum meraba tubuh suaminya yang sedang berada disampingnya. Tubuh itu benar-benar dingin. Kini ia tahu sang suami telah berpulang kepada Sang Pencipta untuk selama-lamanya.  Jasad suaminya lalu dibaringkan kembali pada tempat semula dan ditutup kain batik.

Entah apa sebabnya, pagi itu hati nek Jum sidikit lebih lega. Seakan diberi kekuatan sehingga ia dapat menguasai diri. Tidak terlalu bersedih seperti tadi malam. Mungkin ia sekarang telah dapat menerima kenyataan. Dibukanya pintu gubuk lebar-lebar sambil mengamati kearah sungai. Tak ada seorangpun di sana.  Yang harus dilakukannya sekarang hanya duduk disamping suaminya dan menunggu. Ia berharap secepatnya ada anak atau siapa saja datang berkunjung ke gubuk mereka.

‘*********


Kurang lebih dua jam lamanya menunggu,  yang diharapkan pun tiba. Anak tertua nek Jum berkunjung ke gubuk orang tuanya pagi itu. Sang anak begitu sok dan sedih mengetahui bapaknya telah meninggal. Ia merasa menyesal mengapa kemarin tidak pergi ke dusun. Betapa kasian sang ibu harus menunggui jasad bapaknya semalam suntuk seorang diri.

Saat itu juga jasad nek Am** pun dibawa oleh nek Jum bersama anaknya mudik ke kampung.  Kurang lebih 2 jam lamanya mendayung perahu, sampailah mereka di rumah. Anak, cucu, kerabat dan tetangga pun berkumpul ketempat nek Jum setelah mengetahui kematian suaminya.  Seluruh keluarga yang berkumpul sama berduka.  Akan tetapi, pada akhirnya mereka semua harus mengikhlaskan kepergian orang tua itu.

Dengan bantuan para tetangga jenazah nek Am** di kuburkan pada hari itu juga sesuai amanat dari almarhum. Tempat penguburannya di “kuburan muslimin” desa Tuana Tuha yang berlokasi di tengah kampung.

Adapun keadaan nek Jum setelah penguburan suaminya biasa-biasa saja. Kalau pun bersedih, ia masih bisa menyimpannya dalam hati. Lain halnya dengan anak maupun cucu-cucunya. Semua tampak bersedih sekali. Tak ada yang mengira jika orang tua mereka pergi secepat itu.

Sebagaimana tradisi di kampung kami, jika ada orang meninggal maka pihak keluarga akan mengadakan acara tiga malam berturut, malam ketujuh, malam keempat  belas, malam ke dua puluh lima, malam keempat puluh, malam ke tujuh puluh dan ke seratus. Malam-malam yang disebutkan itu disebut “mecakan”.

Mecakan merupakan kegiatan shalat berjamaah dirumah keluarga yang meninggal, kemudian setelah shalat Isya dilanjutkan dengan pembacaan doa untuk almarhum. Pada acara mecakan ini, selain dihadiri oleh semua kerabat pihak keluarga juga mengundang para tetangga dan orang lain untuk berdoa bersama. Setelah itu dilanjutkan makan bersama. Makanan yang dihidangkan bisa berupa nasi, kadang juga kue. Semua pembiayaan makanan tersebut merupakan tanggung jawab keluarga yang meninggal ditambah sumbangan dari tetangga. Mecakan bisa juga diadakan pada siang hari selepas shalat zuhur tanpa perlu shalat berjamaah.

**********’

Selama diadakan mecakan, nek Jum bercerita pada anak dan kerabatnya tentang pengalamannya saat menunggui jasad suaminya semalaman di dusun. Orang-orang yang mendengar ceritanya bergidik ngeri. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika berada diposisi itu. Cerita pun menyebar dari mulut kemulut. Berbagai tanggapan muncul. Dari yang percaya, setengah percaya, sampai tidak percaya sama sekali. Kalau di bandingkan, memang lebih banyak yang percaya cerita itu karena sebagai orang tua nek Jum selama ini belum pernah membohongi orang lain.

Akan tetapi, walaupun sudah menceritakan pengalamannya nek Jum tidak bercerita secara lengkap pada orang lain. Terutama pada bagian “ suami hidup dan mati kembali”. Bagian ini sengaja disimpannya dalam hati. Di kemudian hari cerita lengkapnya hanya disampaikan pada anak-anaknya dan nenekku saja.

Nenekku memang ada hubungan keluarga jauh dengan nek Jum dari pihak bapaknya. Rumah nenek dan nek Jum agak berjauhan. Nenek berada di sebelah hilir, sedangkan nek Jum berada ditengah kampung berjarak sekira satu RT dari kuburan muslimin. Dulunya, nenekku dan nek Jum merupakan kawan akrab. Teman sepermainan sejak kecil. Nek Jum lebih tua sekitar 2 tahun. Mereka sama-sama buta huruf karena memang tidak sekolah. Ketika masing-masing  sudah berkeluarga, hubungan itu agak renggang. Jarang bertemu karena nek Jum tinggal di dusun.

Sejak kematian nek Am** suami nek Jum hubungan itu mulai terjalin lagi. Tiap hari selama diadakan acara mecakan nenekku bersama tetangga yang lain berada dirumah nek Jum untuk membantu menyiapkan santapan bagi orang-orang yang akan hadir. Ketika orang-orang pulang setelah acara mecakan, nenekku menjadi tempat curhat bagi nek Jum.



Up…Up…Up…
Mohon maaf jika kurang memuaskan.
Apakah perlu bersambung lagi, gak nih gaess??


Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar