Tinggal di
dusun III
Bulan
sabit semakin condong kearah barat. Perlahan suara-suara aneh menjauh sampai
akhirnya benar-benar hilang ditelan malam . Suasana pun kembali seperti
malam-malam sebelumnya. Nek Jum cukup merasa lega dengan keadaan itu.
Dari arah
seberang sungai, terdengar suara burung
pungguk bersahut-sahutan mengusik keheningan. Bukan hal yang menakutkan bagi
nek Jum. Sejak dulu burung pungguk memang menghuni tempat tersebut. Kata orang
zaman dulu, saat bulan bersinar burung pungguk akan mengeluarkan suara
nyanyiannya sebagai bentuk kerinduannya pada bulan (kekasihnya).
‘**********
Setelah
selesai menghidupkan api, nek Jum segera naik ke gubuk dan membawa masuk
suaminya. Ia tak ingin berlama-lama berada diluar karena udara malam sangat
dingin menyentuh kulit. Pintu gubuk ditutupnya kembali rapat-rapat. Sejak siang hingga subuh itu nek Jum seakan
lupa untuk makan dan tidur. Rasa lapar, ngantuk dan capek tak dirasakannya
lagi.
Sang
suami kembali duduk bersandar pada dinding. Nek Jum segera menyelimuti tubuh
sang suami dengan kain lusuh agar tidak kedinginan. Setelah itu ia pun ikut
duduk bersandar pada dinding disamping suaminya. Diluar dugaan, keadaan
suaminya sepertinya sedang sehat-sehat saja. Seolah tidak ada penyakit yang
dideritanya. Ia dapat berkata-kata dengan lancar. Banyak hal yang mereka
bicarakan subuh itu.
Sang
suami bercerita tentang hal-hal yang dialaminya selama meninggal dan berada
dialam lain beberapa jam yang lalu. Nek Jum lebih banyak mendengarkan saja.
Sesekali ia berkomentar. Semua uraian ceritanya tentu takkan dituliskan di
sini. Supaya tidak menjadi salah penafsiran dan fitnah. Karena penulis tidak berani
menjamin kebenarannya. Cukup diketahui saja.
Pada
obrolan lain sang suami juga berbicara tentang pembagian tanah warisan bagi
anak-anak. Ia khawatir nanti setelah orang tua tidak ada, anak-anak berkelahi
rebutan tanah keluarga. Sampai akhirnya diujung percakapan sang suami berkata:
“Dek,
supaya kau tahu bahwa aku nade hidup tagek hari-hari biesa. Waktuku deket maha.
Hanya untuk ngawani kau supaya ne takut. Parak siang kala mulang pulang aku ni
slalu. Ntik kau sedih. Nade sapa manusia seumur kan dunia. Lawas lambatnya
namanya manusia pasti mati ge. Pesanku kala jika ada salah sampaikan minta
maafku ke ngkanak kan urang-urang ye ku kenal. Aku juge benyak-benyak minta
maaf ke kau bile selama etam besama benyak salah kan nyakiti hatimu. Kau kala
blejer ngaji ke urang ye tahu. Kuburkan aku kuburan tangah kampung. Ngia maha
pesanku, ntik sampai kau pipat.”
(dek,
agar kau tahu bahwa aku tidak untuk hidup seperti hari-hari yang lalu. waktuku
sedikit. hanya untuk menemanimu supaya tidak ketakutan. mendekati siang nanti
aku akan kembali(meninggal lagi) selama-lamanya. Janganlah kau bersedih. Tak
ada manusia yang seumur dunia. Cepat lambatnya pasti akan mati juga. pesanku
nanti, jika ada salahku sampaikan permintaan maaf pada anak-anak dan juga
orang-orang yang ku kenal. Aku juga minta maaf padamu jika selama kita bersama
banyak melakukan kesalahan dan menyakiti hatimu. belajarlah mengaji pada orang
yang bisa. kuburkan aku pada pemakaman yang ada ditengah kampung. Itu saja
pesanku, jangan sampai lupa).
Bukan
main kagetnya nek Jum mendengar ucapan suaminya. Sungguh ia tak menyangka jika
sang suami rupanya hidup sebentar saja demi menemaninya. Demi menyampaikan
semua pesan-pesan penting tadi. Harapan untuk hidup bersama pun musnah. Airmata
nek Jum tumpah membasahi kain yang ia pakai. Ditutupnya kedua matanya dengan
tangan sambil masih sesenggukan. Ia mencoba mencerna semua kejadian itu. Berharap
cuma mimpi, lalu bangun dan tak pernah terjadi. Akan tetapi, begitulah adanya.
Suka atau tidak suka nek Jum harus menerimanya. Walaupun tak menginginkannya,
manusia takkan mampu menolak takdir.
Tak ada
perkataan apa-apa yang muncul dari mulut nek Jum. Tenggorokannya bagai
tercekat. Ia menangis bagai anak kecil. Disandarkannya kepalanya pada bahu suaminya
sambil terus sesenggukan. Sang suami yang merasa kasihan, membelai rambut
istrinya yang juga telah memutih dengan lembut. Ia sendiri tak mampu berbicara
apa apa lagi untuk menenangkan istrinya.
Beberapa
saat kemudian nek Jum tidak ingat apa-apa lagi. Entah ketiduran atau pingsan ia
tak mengetahuinya.
‘**********
Matahari
pagi bersinar dari ufuk timur. Cahayanya yang kuning keemasan menembus
celah-celah dedaunan. Hangat mengusir dinginnya kabut pagi. Sumua penghuni
hutan riuh memulai kehidupan hari itu. Nek Jum terjaga dari keadannya setelah
suara ayam dikandang membangunkannya. Ia lalu mengingat-ngingat kejadian
beberapa saat yang lalu.
Setelah
benar-benar sadar, nek Jum meraba tubuh suaminya yang sedang berada
disampingnya. Tubuh itu benar-benar dingin. Kini ia tahu sang suami telah berpulang
kepada Sang Pencipta untuk selama-lamanya.
Jasad suaminya lalu dibaringkan kembali pada tempat semula dan ditutup
kain batik.
Entah
apa sebabnya, pagi itu hati nek Jum sidikit lebih lega. Seakan diberi kekuatan
sehingga ia dapat menguasai diri. Tidak terlalu bersedih seperti tadi malam.
Mungkin ia sekarang telah dapat menerima kenyataan. Dibukanya pintu gubuk
lebar-lebar sambil mengamati kearah sungai. Tak ada seorangpun di sana. Yang harus dilakukannya sekarang hanya duduk
disamping suaminya dan menunggu. Ia berharap secepatnya ada anak atau siapa saja
datang berkunjung ke gubuk mereka.
‘*********
Kurang lebih
dua jam lamanya menunggu, yang
diharapkan pun tiba. Anak tertua nek Jum berkunjung ke gubuk orang tuanya pagi
itu. Sang anak begitu sok dan sedih mengetahui bapaknya telah meninggal. Ia
merasa menyesal mengapa kemarin tidak pergi ke dusun. Betapa kasian sang ibu
harus menunggui jasad bapaknya semalam suntuk seorang diri.
Saat itu
juga jasad nek Am** pun dibawa oleh nek Jum bersama anaknya mudik ke
kampung. Kurang lebih 2 jam lamanya
mendayung perahu, sampailah mereka di rumah. Anak, cucu, kerabat dan tetangga pun
berkumpul ketempat nek Jum setelah mengetahui kematian suaminya. Seluruh keluarga yang berkumpul sama berduka.
Akan tetapi, pada akhirnya mereka semua
harus mengikhlaskan kepergian orang tua itu.
Dengan bantuan
para tetangga jenazah nek Am** di kuburkan pada hari itu juga sesuai amanat
dari almarhum. Tempat penguburannya di “kuburan muslimin” desa Tuana Tuha yang
berlokasi di tengah kampung.
Adapun
keadaan nek Jum setelah penguburan suaminya biasa-biasa saja. Kalau pun
bersedih, ia masih bisa menyimpannya dalam hati. Lain halnya dengan anak maupun
cucu-cucunya. Semua tampak bersedih sekali. Tak ada yang mengira jika orang tua
mereka pergi secepat itu.
Sebagaimana
tradisi di kampung kami, jika ada orang meninggal maka pihak keluarga akan
mengadakan acara tiga malam berturut, malam ketujuh, malam keempat belas, malam ke dua puluh lima, malam keempat
puluh, malam ke tujuh puluh dan ke seratus. Malam-malam yang disebutkan itu disebut
“mecakan”.
Mecakan merupakan
kegiatan shalat berjamaah dirumah keluarga yang meninggal, kemudian setelah shalat
Isya dilanjutkan dengan pembacaan doa untuk almarhum. Pada acara mecakan ini,
selain dihadiri oleh semua kerabat pihak keluarga juga mengundang para tetangga
dan orang lain untuk berdoa bersama. Setelah itu dilanjutkan makan bersama. Makanan
yang dihidangkan bisa berupa nasi, kadang juga kue. Semua pembiayaan makanan
tersebut merupakan tanggung jawab keluarga yang meninggal ditambah sumbangan
dari tetangga. Mecakan bisa juga diadakan pada siang hari selepas shalat zuhur
tanpa perlu shalat berjamaah.
**********’
Selama diadakan
mecakan, nek Jum bercerita pada anak dan kerabatnya tentang pengalamannya saat
menunggui jasad suaminya semalaman di dusun. Orang-orang yang mendengar
ceritanya bergidik ngeri. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika berada diposisi
itu. Cerita pun menyebar dari mulut kemulut. Berbagai tanggapan muncul. Dari yang
percaya, setengah percaya, sampai tidak percaya sama sekali. Kalau di
bandingkan, memang lebih banyak yang percaya cerita itu karena sebagai orang
tua nek Jum selama ini belum pernah membohongi orang lain.
Akan tetapi,
walaupun sudah menceritakan pengalamannya nek Jum tidak bercerita secara
lengkap pada orang lain. Terutama pada bagian “ suami hidup dan mati kembali”. Bagian
ini sengaja disimpannya dalam hati. Di kemudian hari cerita lengkapnya hanya
disampaikan pada anak-anaknya dan nenekku saja.
Nenekku memang
ada hubungan keluarga jauh dengan nek Jum dari pihak bapaknya. Rumah nenek dan
nek Jum agak berjauhan. Nenek berada di sebelah hilir, sedangkan nek Jum berada
ditengah kampung berjarak sekira satu RT dari kuburan muslimin. Dulunya,
nenekku dan nek Jum merupakan kawan akrab. Teman sepermainan sejak kecil. Nek
Jum lebih tua sekitar 2 tahun. Mereka sama-sama buta huruf karena memang tidak
sekolah. Ketika masing-masing sudah
berkeluarga, hubungan itu agak renggang. Jarang bertemu karena nek Jum tinggal
di dusun.
Sejak kematian
nek Am** suami nek Jum hubungan itu mulai terjalin lagi. Tiap hari selama
diadakan acara mecakan nenekku bersama tetangga yang lain berada dirumah nek
Jum untuk membantu menyiapkan santapan bagi orang-orang yang akan hadir. Ketika
orang-orang pulang setelah acara mecakan, nenekku menjadi tempat curhat bagi
nek Jum.
Up…Up…Up…
Mohon maaf jika kurang memuaskan.
Apakah perlu
bersambung lagi, gak nih gaess??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar