Tinggal di
dusun VII
Nenekku
memiliki lima anak. Anak tertua seorang perempuan disusul anak kedua, ketiga,
keempat semuanya laki-laki. Sedangkan ibuku sendiri menempati posisi sebagai
anak terakhir. Usia ibuku sekarang tidak begitu jelas, namun menurut
perkiraannya diatas enam puluh tahun. Kakekku meninggal sekitar tahun tujuh
puluhan. Begitu juga nenek sudah meninggal pada tahun 2002 lalu. Saat ini yang
tersisa hanya ibuku dan kakak laki-lakinya yang ketiga.
Pada saat
suami nek Jum meninggal, ibuku masih kecil. Kira-kira umurnya sekitar enam
tahun. Belum mengerti apa-apa dan belum sekolah. Pada zaman itu sudah ada
sekolah darurat yang disebut Sekolah Rakyat (SR) setingkat SD zaman sekarang.
SR hanya memiliki tiga kelas yaitu kelas satu sampai kelas tiga saja. Gurunya
pun cuma satu. Usia masuk sekolah harus delapan tahun. Makanya ibuku belum bisa
ikut belajar disekolah.
Nek Jum.
Ya, orang tua yang menjadi tokoh utama kita dalam cerita ini. Setelah kepergian
sang suami, bagaimana keadannya?
Beberapa
hari setelah acara mecakan keempat puluh nek Jum kembali pada kebiasaannya
seperti sebelum dibawa dari dusun. Apalagi setelah anak pertama pindah
kerumahnya bersama keluarganya. Nek Jum sering melamun seorang diri. Nek Jum
rupanya merasa kesepian. Beberapa kejadian aneh seperti sering tidur diluar
rumah membuat keluarga serta tetangga mulai prihatin. Apalagi nek Jum pernah
mengaku kalau dirinya masih merindukan suaminya yang telah meninggal.
Orang-orang jadi semakin yakin bahwa nek Jum masih mengalami “breii”. Padahal
penyakit ini tidak ada obatnya. Anak pertama dan anak ketiga sepertinya hanya
bisa pasrah pada keadaan ibunya.
Siang itu
dirumah besar, nek Jum hanya ditemani oleh menantu dan cucu-cucunya.
Sebenarnya, mengetahui kondisi sang ibu yang kurang baik, menantu bersama
cucu-cucunya tiap hari menghabiskan waktunya dirumah itu. Mereka hanya ingin
menghibur sang nenek. Akan tetapi hari itu lain daripada hari-hari yang lain.
Nek Jum yang biasanya senang dengan kedatangan anak-anak tampak murung. Menurut
anak ketiga, sejak pagi ibunya itu bersikap aneh dan tidak mau makan padahal
tidak sakit. Setelah anak ketiga berangkat ketempat kerjanya, tinggallah
menantu serta cucu-cucunya saja yang akan menemani nek Jum.
Demi
menyenangkan ibunya, sang menantu siang itu sengaja memasak ayam. Ia berharap
nek Jum akan punya selera makan apabila dibuatkan makanan enak. Setelah masakan
ayam matang, ia lalu mencoba menawarkannya pada nek Jum. Namun orang tua ini
menolak. Walaupun sudah dibujuk berkali-kali nek Jum tetap juga menolak ajakan
makan itu. Ia memilih kembali ketempat tidurnya, kemudian bermalas-malasan
tanpa bicara apa-apa
Mengetahui
masakan ayam telah matang, cucu-cucu nek Jum yang masih kecil berebut ingin
cepat-cepat makan. Padahal masih panas. Maklum, makanan enak enak dizaman itu
memang jarang ada. Namanya juga anak-anak, kebiasaan berebut makanan adalah
wajar karena khawatir tidak kebagian. Terutama bagi anak kedua dan ketiga yang
masih kecil. Sang ibu(menantu) mencoba menengahi anak-anaknya. Makananan lalu
disajikan dan dibagi secara rata. Akan tetapi, ketika sedang makan anak-anak
ini tetap saja ribut menganggap pembagian daging yang kurang adil. Anak ketiga
merebut daging ayam yang ada di piring adiknya. Terjadilah saling tarik-menarik
daging ayam. Ribut-ribut itu akhirnya berujung saling pukul. Walaupun ibunya
sudah melerai tetap saja anak-anak yang berebut ini sama-sama menangis.
Suara
ribut-ribut didapur rupanya membuat nek Jum marah. Tiba-tiba saja nek Jum
bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menuju kedapur. Diangkatnya masakan
daging ayam yang masih berada di panci lalu dibuangnya pada jendela. Seketika
itu juga anak-anak berhenti ribut. Mereka ketakutan dengan sikap neneknya. Selama
ini belum pernah nek Jum marah pada cucu-cucunya. Ia begitu menyayangi mereka.
Bahkan sering memberikan uang jajan. Akan tetapi, hari itu lain dari biasanya. Setelah
membuang masakan ayam, nek Jum lalu berkacak pinggang dihadapan cucu dan
menantunya sambil mengomel dan memaki-maki anak-anak yang masih kecil. Ia juga
mengusir mereka semua agar pulang kerumah sendiri hari itu juga. Merasa puas
sesudah mengomel, nek Jum kembali tidur-tiduran seperti tanpa rasa bersalah.
Sebagai ibu
dari anak-anaknya, sang menantu tentu saja merasa tersinggung dengan sikap
ibunya. ia tak menyangka jika nek jum mengucapkan kata-kata yang menyakitkan
hati. Apalagi dihadapan anak-anaknya yang masih kecil. Segera saja anak-anak
yang masih ingin makan dihentikan. Cepat-cepat ia membereskan piring-piring
kotor. Sang menantu lalu mengajak anak-anaknya pindah kerumah mereka saat itu
juga tanpa permisi.
Sore
harinya ketika anak ketiga nek Jum pulang, ia mendapati ibunya masih
bermalas-malasan ditempat tidur. Ia mengaku masih belum makan. Bahkan nek Jum
mengatakan kalau menantunya sengaja pergi dari rumahnya karena malas
membuatkannya makanan. Anak ketiga setelah mendapat keterangan dari ibunya,
walaupun ingin marah tentu saja tidak langsung percaya begitu saja. Ia paham
keadaan ibunya saat itu. Maka ia pun langsung kerumah kakaknya untuk mengetahui
cerita sebenarnya.
Setibanya
dirumah saudaranya, kakak iparnya pun menjelaskan semua kejadian hari itu.
Untunglah anak ketiga ini tidak jadi marah. Melihat keponakan-keponakannya yang
masih kecil, tentu saja ia tidak tega. Tidak ada untungnya juga marah-marah
pada anak-anak yang belum paham apa-apa. Ia hanya meminta agar mereka semua
mengerti keadaan sang ibu dan masih mau mengunjunginya. Kakak ipar serta kakak
pertamanya sangat memaklumi ibunya. Mereka berjanji masih akan mengunjungi
ibunya.
Lain halnya
dengan anak-anak yang masih polos. Sejak kejadian hari itu cucu-cucu nek Jum
menjadi takut pada neneknya. Menurut anak yang lebih tua, nek Jum ketika marah
matanya kelihatan merah seperti “hantu urang”. Mereka tidak mau lagi bertemu
dengan neneknya walau pun dipaksa.
Hari-hari
selanjutnya nek Jum di hanya tinggal bersama anak ketiganya saja. Sesekali saat
malam jika tidak sibuk, anak pertama datang berkunjung. Kalau siang hari, ketika
anak ketiga bekerja sang menantu lah yang menjaganya. Kadang membuat masakan
atau mencucikan pakaiannya. Tentu saja dia datang hanya bersama anak yang paling
kecil. Karena anak yang paling kecil ini tidak bisa ditinggal bersama
saudaranya dirumah.
Suatu pagi,
saat anak pertama pergi bekerja, sang menantu datang kerumah nek Jum. Ketika itu
nek Jum sedang asyik melamun diluar rumah. Ia tidak perduli dengan kedatangan
menantunya. Walaupun sudah disapa, nek Jum diam saja seperti patung. Sang menantu
paham situasi. Hampir tiap hari sikap nek Jum seperti itu sejak kembali dari
dusun. Ia tetap membuat masakan untuk nek Jum pagi itu.
Setelah
masakan matang, sang menantu kemudian menawarkan nek Jum untuk makan. Tanpa menjawab
orang tua ini hanya menggeleng. Mengetahui mertuanya yang tidak berselera
makan, sang menantu lalu memberi makan anaknya yang masih kecil. Saat sedang
asyik-asyiknya makan didapur, tiba-tiba saja nek Jum yang awalnya masih berada
diluar masuk kedapur. Ia berdiri dihadapan menantunya yang sedang menyuapi
anaknya. Tanpa bicara apa-apa nek Jum lalu merebut piring makan si kecil dan
minta disuapi juga oleh menantunya. Perbuatan aneh nek Jum ini tentu saja
membuat heran menantunya. Apalagi sikecil yang sedang makan malah menangis
sejadi-jadinya. Nek Jum pun menjadi sangat marah.
“Ni hak ye
kubenci kan kanak, pulihan nangis maha. Nuapa lang kanak alus nga bewa sini, be
benciku hak kan tangisan kanak. Osok prasaku. Bewa mulang situ.” Uje nek Jum
kan mata mlaneng.
(ini yang kubenci
dari anak kecil, bisanya cuma menangis saja. kenapa anak yang masih kecil
dibawa kemari, aku paling benci dengan tangisan anak kecil. perasaanku pusing. bawa
pulang sana!) kata nek Jum dengan mata melotot.
Mendengar omelan
nek Jum, sang menantu pun segera buru-buru membawa anaknya pergi. Walau pun
tahu mertuanya kurang waras, tetap saja ia merasa tersinggung oleh ucapan orang
tua itu. Mulai hari itu ia juga tak pernah lagi membawa anak-anaknya, bahkan si
kecil pun ditinggal jika berkunjung kerumah mertuanya. Nek Jum paling benci
dengan tangisan anak kecil. Anak siapa pun, termasuk anak tetangga. Jika ada
anak tetangga yang menangis disebelah rumah malam hari. Nek Jum akan mengamuk
sambil berteriak-teriak menggedor dinding rumahnya. Akibatnya semua anak-anak
kecil menjadi takut dengan nek Jum.
Anak-anak
nek Jum sebenarnya sudah berusaha untuk mengobati ibunya ke dukun. Akan tetapi,
dukun mana yang bisa menyembuhkan penyakit tidak waras? Semua itu tentu saja
sia-sia. Nek Jum juga pernah akan dibawa kembali ke dusun. Anak-anaknya
berharap dengan berada di dusun pikiran sang ibu bisa normal kembali. Awalnya nek
Jum mengikuti kemauan anak-anaknya. Namun saat perahu mulai didayung, nek Jum
tiba-tiba mengamuk ingin kembali. Ia bersikeras ingin pulang kerumahnya. Kata nek
Jum ia tidak mau tinggal didusun karena disana ada “hantu botak”. Anak-anak
tetap memaksa mendayung perahu. Tanpa pikir panjang nek Jum lalu melompat
keair. Untung saja orang tua ini bisa berenang. Anak-anak segera
menyelamatkannya dan membatalkan rencana untuk membawanya ke dusun hari itu. Pada
akhirnya mereka pasrah menerima keadaan ibunya tanpa tahu berbuat apa-apa lagi.
Pada malam
harinya tepat tengah malam anak ketiga yang serumah dengan ibunya terbangun. Saat
itu dia masih berada didalam kelambu tembus pandang. Anehnya terdengar suara
orang bercakap-cakap. Awalnya ia mengira ibunya sedang berbicara dengan
tetangga. Tapi mustahil ada orang lain yang berkunjung tengah malam. Perlahan ia
pun duduk masih pada posisi berada didalam kelambu. Dari balik kelambu ia dapat
melihat jelas ibunya yang sedang membelakang bercakap-cakap dengan seseorang. Akan
tetapi yang terdengar hanya suara ibunya saja. Sedangkankan lawan bicaranya
tidak terdengar sama sekali. Sesekali nek Jum menyebut kata “dosa, mati, sintak
roh”. Entah apa makna kata-kata tersebut ia tak mengerti. Dengan siapakah ibunya berbicara?
Karena penasaran,
anak ketiga ini pun perlahan mengintip denganmenyingkap sedikit celah kelambu
untuk melihat lawan bicara ibunya. Astaga! Hampir saja ia pingsan. Di remang-remang
cahaya pelita yang berada ditengah rumah, nek Jum sedang berbicara dengan
seorang lelaki tua. Ya. Lelaki tua itu adalah ayahnya yang sudah meninggal
berbulan-bulan lalu. Mukanya kelihatan pucat dan masih memakai “bungkus” (kain
kafan).
Dengan ketakutan
segera anak ketiga ini menutup kembali celah kelambunya dan pura-pura tidur. Lama
sekali sampai akhirnya terdengar nek Jum menyudahi obrolan itu. “Sang tamu”
sepertinya menghilang entah kemana. Lalu nek Jum masuk kedalam kelambu dan
melanjutkan tidurnya.
Pada pagi
harinya anak ketiga mencoba menanyakan pada ibunya peristiwa malam itu. Akan
tetapi, sia-sia saja, seperti biasa, nek Jum sama sekali tidak menjawab seperti
orang bisu.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada nek Jum membawa masalah bagi anak ketiganya. Apalagi sejak
sang menantu yang jarang berkunjung untuk merawatnya. Sang menantu tentu saja
takut. Ia lebih memilih merawat keluarga saja daripada dimarahi nek Jum. Sekarang
tanggung jawab hampir sepenuhnya berada pada anak ketiga yang serumah. Nek Jum
hanya mau makan jika disuapi. Bila tidak, biar seharian, nek Jum tidak akan mau
makan sama sekali. Persis seperti anak kecil.
Begitulah hari-hari
berjalan. Sampai akhirnya anak-anak dan menantunya menjadi terbiasa dan bosan
dengan kelakuan ibunya itu. Mereka tidak lagi merasa khawatir keadaan sang ibu.
Anak ketiga yang serumah tetap bekerja seperti biasanya. Akibatnya nek Jum menjadi
kurang terurus, dan sering kelaparan. Walaupun begitu anak ketiga ini tetap
memasakkan makanan pagi harinya. Setelah itu ia pergi bekerja dan pulang kalau
sudah malam.
Kadang kala
sang menantu lah yang datang mengurus nek Jum. Walau pun sering menjadi
pelampiasan amarah nek Jum ia tidak jera-jera juga karena kasihan. Ada kalanya
bila sang menantu tidak datang, sibuk mengurus keluarganya sendiri, hanya tetangga
yang kasihan lah mengurus keseharian nek Jum. Bila anak ketiga ada dirumah, tentu
semuanya bisa diurus olehnya.
Pernah pada
suatu pagi, nek Jum sedang duduk melamun dipinggir sungai. Anak ketiga sudah
berangkat ketempat kerjanya sejak subuh. Saat itu banyak anak kecil sedang
mandi dipinggir sungai. Ada yang asyik berenang. Ada juga sedang kejar-kejaran
dan bermain lumpur. Banyak juga ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian di “pian”
(rakit). Suasana saat itu ramai oleh teriakan-teriakan anak kecil yang sedang
bermain dengan gembira.
Tiba-tiba
saja nek Jum yang sedang melamun bangkit dari duduknya. Dibukanya seluruh
pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dengan telanjang bulat, nek Jum turun
kesungai dan menceburkan diri diantara anak-anak yang sedang mandi. Nek Jum
rupanya ingin mandi dan ikut bermain bersama anak-anak. Tingkah aneh nek Jum
ini membuat anak-anak yang sedang asyik bermain langsung berhamburan menyudahi
mandinya dengan ketakutan. Nek Jum menjadi kesal karena tak ada yang mau diajak
bermain. Dilemparinya anak-anak dengan lumpur. Tentu saja hal ini membuat
anak-anak semakin berlarian menjauh. Ada
juga yang sampai menangis karena ketakutan.
Tetangga yang
sedang mencuci pakaian mencoba membujuk nek Jum agar mau berpakaian kembali. Nek
Jum mau menurut, akan tetapi setelah berpakaian ia kembali mandi dipinggir
sungai sambil berenang. Kadang kala ia bermain lumpur sambil tertawa senang
seorang diri. Lama sekali nek Jum mandi sampai tetangga merasa bosan
menungguinya. Orang-orang khawatir jika ditinggal sendiri nek Jum malah akan
tenggelam. Kembali nek Jum dibujuk supaya menyudahi mandinya, namun nek Jum
tidak perduli. Ia tetap asyik bermain-main air sambil berenang dipinggir
sungai.
Entah sengaja
atau tidak, tiba-tiba seorang perempuan saat itu nyeletuk.
“Nek Jum
lah hak manni ngia, ne kita takut kan bheya? Kesahnya ade side nelek bheya
timul berang situ! Mun bheyanya nyumerang kasini pupus kita rongkopnya,
makannya bulet-bulet.”
(nek Jum,
sudahilah mandinya, tidakkah nek Jum takut sama buaya? ceritanya kemarin ada
yang melihat buaya muncul diseberang sana! kalau sampai buayanya menyeberang
kemari nek Jum bisa digigit, lalu dimakan bulat-bulat.)
Mendengar
kata “buaya”, nek Jum rupanya ketakutan. orang tua ini menangis sambil bangkit
menyudahi mandinya. Seluruh pakaiannya kembali dilepaskannya. Seperti anak
kecil yang ngambek, nek Jum langsung naik menuju kerumahnya dengan telanjang
bulat. Para tetangga terpaksa harus membereskan dan mencucikan pakaian nek Jum
yang bercecer dan kotor oleh lumpur.
Sejak hari
itu nek Jum tidak mau lagi mandi disungai kecuali ditemani. Harus perempuan,
nek Jum tidak mau ditemani oleh laki-laki, termasuk anaknya sendiri. Dan, siapa
pun yang menemaninya harus ikut juga mandi bersamanya. Benar-benar merepotkan!
Next.
Maaf, jika
kurang memuaskan.
Nantikan
part 8 sebagai penutup dari cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar