Senin, 20 Juli 2020

Tinggal di dusun VII


Tinggal di dusun VII


Nenekku memiliki lima anak. Anak tertua seorang perempuan disusul anak kedua, ketiga, keempat semuanya laki-laki. Sedangkan ibuku sendiri menempati posisi sebagai anak terakhir. Usia ibuku sekarang tidak begitu jelas, namun menurut perkiraannya diatas enam puluh tahun. Kakekku meninggal sekitar tahun tujuh puluhan. Begitu juga nenek sudah meninggal pada tahun 2002 lalu. Saat ini yang tersisa hanya ibuku dan kakak laki-lakinya yang ketiga.

Pada saat suami nek Jum meninggal, ibuku masih kecil. Kira-kira umurnya sekitar enam tahun. Belum mengerti apa-apa dan belum sekolah. Pada zaman itu sudah ada sekolah darurat yang disebut Sekolah Rakyat (SR) setingkat SD zaman sekarang. SR hanya memiliki tiga kelas yaitu kelas satu sampai kelas tiga saja. Gurunya pun cuma satu. Usia masuk sekolah harus delapan tahun. Makanya ibuku belum bisa ikut belajar disekolah.

**********

Nek Jum. Ya, orang tua yang menjadi tokoh utama kita dalam cerita ini. Setelah kepergian sang suami, bagaimana keadannya?

Beberapa hari setelah acara mecakan keempat puluh nek Jum kembali pada kebiasaannya seperti sebelum dibawa dari dusun. Apalagi setelah anak pertama pindah kerumahnya bersama keluarganya. Nek Jum sering melamun seorang diri. Nek Jum rupanya merasa kesepian. Beberapa kejadian aneh seperti sering tidur diluar rumah membuat keluarga serta tetangga mulai prihatin. Apalagi nek Jum pernah mengaku kalau dirinya masih merindukan suaminya yang telah meninggal. Orang-orang jadi semakin yakin bahwa nek Jum masih mengalami “breii”. Padahal penyakit ini tidak ada obatnya. Anak pertama dan anak ketiga sepertinya hanya bisa pasrah pada keadaan ibunya.

Siang itu dirumah besar, nek Jum hanya ditemani oleh menantu dan cucu-cucunya. Sebenarnya, mengetahui kondisi sang ibu yang kurang baik, menantu bersama cucu-cucunya tiap hari menghabiskan waktunya dirumah itu. Mereka hanya ingin menghibur sang nenek. Akan tetapi hari itu lain daripada hari-hari yang lain. Nek Jum yang biasanya senang dengan kedatangan anak-anak tampak murung. Menurut anak ketiga, sejak pagi ibunya itu bersikap aneh dan tidak mau makan padahal tidak sakit. Setelah anak ketiga berangkat ketempat kerjanya, tinggallah menantu serta cucu-cucunya saja yang akan menemani nek Jum.

Demi menyenangkan ibunya, sang menantu siang itu sengaja memasak ayam. Ia berharap nek Jum akan punya selera makan apabila dibuatkan makanan enak. Setelah masakan ayam matang, ia lalu mencoba menawarkannya pada nek Jum. Namun orang tua ini menolak. Walaupun sudah dibujuk berkali-kali nek Jum tetap juga menolak ajakan makan itu. Ia memilih kembali ketempat tidurnya, kemudian bermalas-malasan tanpa bicara apa-apa

Mengetahui masakan ayam telah matang, cucu-cucu nek Jum yang masih kecil berebut ingin cepat-cepat makan. Padahal masih panas. Maklum, makanan enak enak dizaman itu memang jarang ada. Namanya juga anak-anak, kebiasaan berebut makanan adalah wajar karena khawatir tidak kebagian. Terutama bagi anak kedua dan ketiga yang masih kecil. Sang ibu(menantu) mencoba menengahi anak-anaknya. Makananan lalu disajikan dan dibagi secara rata. Akan tetapi, ketika sedang makan anak-anak ini tetap saja ribut menganggap pembagian daging yang kurang adil. Anak ketiga merebut daging ayam yang ada di piring adiknya. Terjadilah saling tarik-menarik daging ayam. Ribut-ribut itu akhirnya berujung saling pukul. Walaupun ibunya sudah melerai tetap saja anak-anak yang berebut ini sama-sama menangis.

Suara ribut-ribut didapur rupanya membuat nek Jum marah. Tiba-tiba saja nek Jum bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menuju kedapur. Diangkatnya masakan daging ayam yang masih berada di panci lalu dibuangnya pada jendela. Seketika itu juga anak-anak berhenti ribut. Mereka ketakutan dengan sikap neneknya. Selama ini belum pernah nek Jum marah pada cucu-cucunya. Ia begitu menyayangi mereka. Bahkan sering memberikan uang jajan. Akan tetapi, hari itu lain dari biasanya. Setelah membuang masakan ayam, nek Jum lalu berkacak pinggang dihadapan cucu dan menantunya sambil mengomel dan memaki-maki anak-anak yang masih kecil. Ia juga mengusir mereka semua agar pulang kerumah sendiri hari itu juga. Merasa puas sesudah mengomel, nek Jum kembali tidur-tiduran seperti tanpa rasa bersalah.

Sebagai ibu dari anak-anaknya, sang menantu tentu saja merasa tersinggung dengan sikap ibunya. ia tak menyangka jika nek jum mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati. Apalagi dihadapan anak-anaknya yang masih kecil. Segera saja anak-anak yang masih ingin makan dihentikan. Cepat-cepat ia membereskan piring-piring kotor. Sang menantu lalu mengajak anak-anaknya pindah kerumah mereka saat itu juga tanpa permisi.

Sore harinya ketika anak ketiga nek Jum pulang, ia mendapati ibunya masih bermalas-malasan ditempat tidur. Ia mengaku masih belum makan. Bahkan nek Jum mengatakan kalau menantunya sengaja pergi dari rumahnya karena malas membuatkannya makanan. Anak ketiga setelah mendapat keterangan dari ibunya, walaupun ingin marah tentu saja tidak langsung percaya begitu saja. Ia paham keadaan ibunya saat itu. Maka ia pun langsung kerumah kakaknya untuk mengetahui cerita sebenarnya.

Setibanya dirumah saudaranya, kakak iparnya pun menjelaskan semua kejadian hari itu. Untunglah anak ketiga ini tidak jadi marah. Melihat keponakan-keponakannya yang masih kecil, tentu saja ia tidak tega. Tidak ada untungnya juga marah-marah pada anak-anak yang belum paham apa-apa. Ia hanya meminta agar mereka semua mengerti keadaan sang ibu dan masih mau mengunjunginya. Kakak ipar serta kakak pertamanya sangat memaklumi ibunya. Mereka berjanji masih akan mengunjungi ibunya.

Lain halnya dengan anak-anak yang masih polos. Sejak kejadian hari itu cucu-cucu nek Jum menjadi takut pada neneknya. Menurut anak yang lebih tua, nek Jum ketika marah matanya kelihatan merah seperti “hantu urang”. Mereka tidak mau lagi bertemu dengan neneknya walau pun dipaksa.

Hari-hari selanjutnya nek Jum di hanya tinggal bersama anak ketiganya saja. Sesekali saat malam jika tidak sibuk, anak pertama datang berkunjung. Kalau siang hari, ketika anak ketiga bekerja sang menantu lah yang menjaganya. Kadang membuat masakan atau mencucikan pakaiannya. Tentu saja dia datang hanya bersama anak yang paling kecil. Karena anak yang paling kecil ini tidak bisa ditinggal bersama saudaranya dirumah.

Suatu pagi, saat anak pertama pergi bekerja, sang menantu datang kerumah nek Jum. Ketika itu nek Jum sedang asyik melamun diluar rumah. Ia tidak perduli dengan kedatangan menantunya. Walaupun sudah disapa, nek Jum diam saja seperti patung. Sang menantu paham situasi. Hampir tiap hari sikap nek Jum seperti itu sejak kembali dari dusun. Ia tetap membuat masakan untuk nek Jum pagi itu.

Setelah masakan matang, sang menantu kemudian menawarkan nek Jum untuk makan. Tanpa menjawab orang tua ini hanya menggeleng. Mengetahui mertuanya yang tidak berselera makan, sang menantu lalu memberi makan anaknya yang masih kecil. Saat sedang asyik-asyiknya makan didapur, tiba-tiba saja nek Jum yang awalnya masih berada diluar masuk kedapur. Ia berdiri dihadapan menantunya yang sedang menyuapi anaknya. Tanpa bicara apa-apa nek Jum lalu merebut piring makan si kecil dan minta disuapi juga oleh menantunya. Perbuatan aneh nek Jum ini tentu saja membuat heran menantunya. Apalagi sikecil yang sedang makan malah menangis sejadi-jadinya. Nek Jum pun menjadi sangat marah.

“Ni hak ye kubenci kan kanak, pulihan nangis maha. Nuapa lang kanak alus nga bewa sini, be benciku hak kan tangisan kanak. Osok prasaku. Bewa mulang situ.” Uje nek Jum kan mata mlaneng.
(ini yang kubenci dari anak kecil, bisanya cuma menangis saja. kenapa anak yang masih kecil dibawa kemari, aku paling benci dengan tangisan anak kecil. perasaanku pusing. bawa pulang sana!) kata nek Jum dengan mata melotot.

Mendengar omelan nek Jum, sang menantu pun segera buru-buru membawa anaknya pergi. Walau pun tahu mertuanya kurang waras, tetap saja ia merasa tersinggung oleh ucapan orang tua itu. Mulai hari itu ia juga tak pernah lagi membawa anak-anaknya, bahkan si kecil pun ditinggal jika berkunjung kerumah mertuanya. Nek Jum paling benci dengan tangisan anak kecil. Anak siapa pun, termasuk anak tetangga. Jika ada anak tetangga yang menangis disebelah rumah malam hari. Nek Jum akan mengamuk sambil berteriak-teriak menggedor dinding rumahnya. Akibatnya semua anak-anak kecil menjadi takut dengan nek Jum.

Anak-anak nek Jum sebenarnya sudah berusaha untuk mengobati ibunya ke dukun. Akan tetapi, dukun mana yang bisa menyembuhkan penyakit tidak waras? Semua itu tentu saja sia-sia. Nek Jum juga pernah akan dibawa kembali ke dusun. Anak-anaknya berharap dengan berada di dusun pikiran sang ibu bisa normal kembali. Awalnya nek Jum mengikuti kemauan anak-anaknya. Namun saat perahu mulai didayung, nek Jum tiba-tiba mengamuk ingin kembali. Ia bersikeras ingin pulang kerumahnya. Kata nek Jum ia tidak mau tinggal didusun karena disana ada “hantu botak”. Anak-anak tetap memaksa mendayung perahu. Tanpa pikir panjang nek Jum lalu melompat keair. Untung saja orang tua ini bisa berenang. Anak-anak segera menyelamatkannya dan membatalkan rencana untuk membawanya ke dusun hari itu. Pada akhirnya mereka pasrah menerima keadaan ibunya tanpa tahu berbuat apa-apa lagi.

Pada malam harinya tepat tengah malam anak ketiga yang serumah dengan ibunya terbangun. Saat itu dia masih berada didalam kelambu tembus pandang. Anehnya terdengar suara orang bercakap-cakap. Awalnya ia mengira ibunya sedang berbicara dengan tetangga. Tapi mustahil ada orang lain yang berkunjung tengah malam. Perlahan ia pun duduk masih pada posisi berada didalam kelambu. Dari balik kelambu ia dapat melihat jelas ibunya yang sedang membelakang bercakap-cakap dengan seseorang. Akan tetapi yang terdengar hanya suara ibunya saja. Sedangkankan lawan bicaranya tidak terdengar sama sekali. Sesekali nek Jum menyebut kata “dosa, mati, sintak roh”. Entah apa makna kata-kata tersebut ia tak mengerti. Dengan siapakah ibunya berbicara?

Karena penasaran, anak ketiga ini pun perlahan mengintip denganmenyingkap sedikit celah kelambu untuk melihat lawan bicara ibunya. Astaga! Hampir saja ia pingsan. Di remang-remang cahaya pelita yang berada ditengah rumah, nek Jum sedang berbicara dengan seorang lelaki tua. Ya. Lelaki tua itu adalah ayahnya yang sudah meninggal berbulan-bulan lalu. Mukanya kelihatan pucat dan masih memakai “bungkus” (kain kafan).
Dengan ketakutan segera anak ketiga ini menutup kembali celah kelambunya dan pura-pura tidur. Lama sekali sampai akhirnya terdengar nek Jum menyudahi obrolan itu. “Sang tamu” sepertinya menghilang entah kemana. Lalu nek Jum masuk kedalam kelambu dan melanjutkan tidurnya.

Pada pagi harinya anak ketiga mencoba menanyakan pada ibunya peristiwa malam itu. Akan tetapi, sia-sia saja, seperti biasa, nek Jum sama sekali tidak menjawab seperti orang bisu.

**********
Perubahan-perubahan yang terjadi pada nek Jum membawa masalah bagi anak ketiganya. Apalagi sejak sang menantu yang jarang berkunjung untuk merawatnya. Sang menantu tentu saja takut. Ia lebih memilih merawat keluarga saja daripada dimarahi nek Jum. Sekarang tanggung jawab hampir sepenuhnya berada pada anak ketiga yang serumah. Nek Jum hanya mau makan jika disuapi. Bila tidak, biar seharian, nek Jum tidak akan mau makan sama sekali. Persis seperti anak kecil.

Begitulah hari-hari berjalan. Sampai akhirnya anak-anak dan menantunya menjadi terbiasa dan bosan dengan kelakuan ibunya itu. Mereka tidak lagi merasa khawatir keadaan sang ibu. Anak ketiga yang serumah tetap bekerja seperti biasanya. Akibatnya nek Jum menjadi kurang terurus, dan sering kelaparan. Walaupun begitu anak ketiga ini tetap memasakkan makanan pagi harinya. Setelah itu ia pergi bekerja dan pulang kalau sudah malam.

Kadang kala sang menantu lah yang datang mengurus nek Jum. Walau pun sering menjadi pelampiasan amarah nek Jum ia tidak jera-jera juga karena kasihan. Ada kalanya bila sang menantu tidak datang, sibuk mengurus keluarganya sendiri, hanya tetangga yang kasihan lah mengurus keseharian nek Jum. Bila anak ketiga ada dirumah, tentu semuanya bisa diurus olehnya.
Pernah pada suatu pagi, nek Jum sedang duduk melamun dipinggir sungai. Anak ketiga sudah berangkat ketempat kerjanya sejak subuh. Saat itu banyak anak kecil sedang mandi dipinggir sungai. Ada yang asyik berenang. Ada juga sedang kejar-kejaran dan bermain lumpur. Banyak juga ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian di “pian” (rakit). Suasana saat itu ramai oleh teriakan-teriakan anak kecil yang sedang bermain dengan gembira.

Tiba-tiba saja nek Jum yang sedang melamun bangkit dari duduknya. Dibukanya seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dengan telanjang bulat, nek Jum turun kesungai dan menceburkan diri diantara anak-anak yang sedang mandi. Nek Jum rupanya ingin mandi dan ikut bermain bersama anak-anak. Tingkah aneh nek Jum ini membuat anak-anak yang sedang asyik bermain langsung berhamburan menyudahi mandinya dengan ketakutan. Nek Jum menjadi kesal karena tak ada yang mau diajak bermain. Dilemparinya anak-anak dengan lumpur. Tentu saja hal ini membuat anak-anak semakin  berlarian menjauh. Ada juga yang sampai menangis karena ketakutan.

Tetangga yang sedang mencuci pakaian mencoba membujuk nek Jum agar mau berpakaian kembali. Nek Jum mau menurut, akan tetapi setelah berpakaian ia kembali mandi dipinggir sungai sambil berenang. Kadang kala ia bermain lumpur sambil tertawa senang seorang diri. Lama sekali nek Jum mandi sampai tetangga merasa bosan menungguinya. Orang-orang khawatir jika ditinggal sendiri nek Jum malah akan tenggelam. Kembali nek Jum dibujuk supaya menyudahi mandinya, namun nek Jum tidak perduli. Ia tetap asyik bermain-main air sambil berenang dipinggir sungai.

Entah sengaja atau tidak, tiba-tiba seorang perempuan saat itu nyeletuk.
“Nek Jum lah hak manni ngia, ne kita takut kan bheya? Kesahnya ade side nelek bheya timul berang situ! Mun bheyanya nyumerang kasini pupus kita rongkopnya, makannya bulet-bulet.”
(nek Jum, sudahilah mandinya, tidakkah nek Jum takut sama buaya? ceritanya kemarin ada yang melihat buaya muncul diseberang sana! kalau sampai buayanya menyeberang kemari nek Jum bisa digigit, lalu dimakan bulat-bulat.)

Mendengar kata “buaya”, nek Jum rupanya ketakutan. orang tua ini menangis sambil bangkit menyudahi mandinya. Seluruh pakaiannya kembali dilepaskannya. Seperti anak kecil yang ngambek, nek Jum langsung naik menuju kerumahnya dengan telanjang bulat. Para tetangga terpaksa harus membereskan dan mencucikan pakaian nek Jum yang bercecer dan kotor oleh lumpur.

Sejak hari itu nek Jum tidak mau lagi mandi disungai kecuali ditemani. Harus perempuan, nek Jum tidak mau ditemani oleh laki-laki, termasuk anaknya sendiri. Dan, siapa pun yang menemaninya harus ikut juga mandi bersamanya. Benar-benar merepotkan!

Next.

Maaf, jika kurang memuaskan.
Nantikan part 8 sebagai penutup dari cerita ini.


Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar