Rabu, 29 Juli 2020

katak dan udang


Setibanya dipinggir sungai, hewan-hewan lain segera mengerubuni anak katak. Atas sarana dari seekor semut (merah) anak katak (Supri)  lalu dibawa ke istana Raja Katak untuk diantarkan pada keluarganya.

*****
Di kerajaan katak…..
Raja katak yang bergelar Lord Bili marah dan sedih mendapati kondisi anaknya yang terluka. Terlebih lagi sang istri “Queen Laura”. Sang ratu sangat prihatin melihat keadaan putranya. Ia menangis sejadi-jadinya (lebayy). Apa yang membuat raja dan ratu sangat sedih? Bukankah katak biasanya memiliki banyak anak?
Tidak demikian, Lord Bili dan Queen Laura dalam cerita ini hanya memiliki satu anak semata wayang. Jadi, Supri merupakan anak kesayangan dan satu-satunya pangeran di kerajaan katak. Jika sampai meninggal berarti gak ada lagi putra mahkota yang akan menjadi pewaris kerajaan katak. Saat itu anak katak (Supri) hanya bisa terbaring lemas dengan perut luka menganga. Pihak ‘medis’ kerajaan katak hanya dapat memberikan perawatan apa adanya. Luka itu cuma dibalut dengan kulit pohon agar darahnya terhenti. Tak banyak yang bisa dilakukan. Rumah sakit gak ada. Karena memang belum zamannya.

*****
Di kerajaan Udang…..
Anak udang (Bayu) yang baru saja melukai anak katak tanpa sengaja segera menemui kedua orang tuanya untuk menceritakan kejadian pagi itu. Tentu saja sang ayah (Raja Udang) yang bergelar “Lord harfa” ingin marah besar. Akan tetapi, melihat anaknya yang masih kecil dan ketakutan, Lord Harfa berusaha memaklumi keadaan itu. Begitu juga dengan istrinya “Queen Sopia” , sang ratu tentu lebih bisa memahami kenakalan anak-anak. Tak perlu menyalahkan sang anak. Nasi sudah menjadi bubur. Apa pun yang terjadi, Raja dan Ratu sudah sepakat siap bertanggung jawab atas perbuatan sang anak kepada keluarga katak nantinya. Sedapat mungkin mereka akan melindungi anaknya dari hal-hal buruk.

*****
Siang itu juga raja katak segera mengirim utusan untuk menemui raja udang. Utusan kerajaan katak meminta raja udang agar bertanggung jawab dan membawa anaknya menemui raja katak di istana. Raja udang pun bersedia mengikuti utusan itu. Akan tetapi, ia gak mau membawa anaknya ikut serta. Sebagai bentuk tanggung jawabnya, maka berangkatlah raja udang bersama beberapa “tim medis kerajaan udang” ditemani pengawalnya menemui raja katak.
Sesampainya di kerajaan katak, Raja udang disambut langsung oleh Raja katak di aula besar istana. Sebuah pertemuan yang kurang mengenakkan. Raja katak terlihat sedih dan marah. Tentu saja raja udang berusah sebisa mungkin untuk bertanggung jawab atas peristiwa itu. Ia menunduk hormat untuk kepada raja katak yang tampaknya tidak bersahabat.

“Mana anakmu yang telah melukai anakku tadi? Kenapa tak kau ajak serta kemari?” Kata raja katak dengan suara keras.

“Oh, maafkan aku wahai sahabatku Lord Bili. Bukannya aku menolak membawanya kemari. Anakku itu memang sengaja tak ku bawa kemari. Saat ini ia sedang ketakutan. Ia masih terlalu kecil dan tidak sengaja melukai anakmu. Biarlah masalah ini aku yang bertanggung jawab. Kami telah membawa “tim medis” terbaik dari istana udang untuk membantu mengobati putramu itu. Bagaimana menurutmu?” kata raja udang.

“Baiklah, aku memakluminya. Aku bisa menerima tawaranmu itu. Cepatlah suruh “tim medismu” untuk menyembuhkan anakku! Kata raja katak.

“Tenanglah sahabatku. Kami sudah biasa mengobati luka. Kau jangan khawatir. Mudah-mudahan anakmu secepatnya bisa sembuh!” kata raja udang kemudian.

Setelah percakapan itu raja katak lalu mengajak rombongan raja udang untuk menemui anaknya disebuah ruangan. Di dalam ruangan tersebut, terbaring seekor anak katak yang sedang merintih-rintih kesakitan. Ia ditemani oleh ibunya dan beberapa “perawat”. Tubuh anak katak tampak terbalut dengan kulit pohon untuk menutup lukanya.

Setelah berdiskusi dengan “tim medis kerajaan katak” maka “tim medis kerajaan udang” pun mulai bekerja. Dengan hati-hati perban luka perut anak katak dibuka kembali oleh  salah satu “tim medis kerajaan udang” untuk melihat langsung keadaanya. Disaksikan oleh semua yang hadir, sebuah luka diperut menganga kembali. Akibat terbuka, luka itu mengucurkan darah.  Anak katak menjerit-jerit menangis kesakitan. Raja udang tentu sangat prihatin dengan kondisi anak katak. Ia benar-benar merasa bersalah. Terlebih-lebih lagi raja katak dan istrinya, mereka panik dan sangat khawatir pada keadaanya anaknya itu.

Dengan sigap tim medis terbaik dari kerajaan udang mulai bekerja. Luka menganga itu segera di obati dengan semacam lendir udang agar darahnya berhenti keluar. Perihnya bukan main. Anak katak hampir saja pingsan kesakitan. Berhasil. Darah memang benar-benar berhenti mengalir. Setelah itu tim medis kemudian membersihkan dan berusaha merekatkan bagian luka yang menganga. Bagaimana caranya? Apakah dengan cara di jahit seperti di rumah sakit? Lagi-lagi, urusan menjahit luka belum zamannya cuyy.

Dengan tingkat kesulitan tinggi, luka pada perut anak katak saat itu cuma direkatkan dengan getah pohon nangka. Cerdas dan berhasil! Luka menganga sebelumnya, kini telah tertutup dengan baik. Bagian itu kemudian dibalut kembali dengan kulit-kulit pohon. Selesailah tugas tim medis yang sangat melelahkan. Semua akhirnya bisa bernapas lega.

Menurut tim medis kerajaan udang, anak katak dilarang terlalu banyak bergerak supaya luka itu gak terbuka. Anak katak juga dilarang mandi di tempat kotor agar lukanya gak terinfeksi. Setelah dua minggu kemudian barulah “perban” boleh dibuka. Saat itulah nanti anak katak akan dinyatakan benar-benar sembuh dan boleh beraktivitas seperti biasanya.

Melihat kondisi anaknya yang sudah ditangangi dengan baik, Raja dan Ratu katak sangat berterima kasih kepada Raja udang. Mereka bisa memaafkan kesalahan anak udang. Sepertinya persahabatan antar dua kerajaan itu akan terjalin dengan baik kembali. Lebih-lebih raja udang, ia benar-benar merasa lega sudah berhasil menebus kesalahan anaknya.

Tengah hari setelah dijamu makan siang diistana raja katak, Raja udang beserta rombongan pulang keistananya dengan perasaan plong. Tanggung jawab sudah diselesaikan. Sebelum meninggalkan istana katak tak lupa mereka berpesan agar anak katak menuruti “pesan-pesan” sebelumnya. Tujuannya agar raja dan ratu katak tetap mengontrol keseharian anaknya. Supaya sang anak cepat sembuh tentunya.

Hari-hari selanjutnya semua berjalan seperti biasanya. Kondisi anak katak semakin membaik. Setelah tiga hari berlalu, anak katak sudah bisa berdiri kembali tanpa kesakitan. Mungkin lukanya sudah sembuh walaupun masih tertutup dengan perban. Ia bahkan sudah bisa bermain kembali dengan anak udang. Orang tuanya pun tampaknya gak terlalu khawatir.

Seminggu kemudian, anak katak yang sudah merasa lebih baik mengajak anak udang bermain-main dipinggir sungai. Awalnya mereka hanya bermain tanah lumpur saja. Namanya juga anak-anak. Sesuatu yang dilarang malah membuat penasaran.

“Eh, Bayu! Kita berenang dan main bola-bola air yuk!” Kata anak katak.
“Hah, apakah kau sudah benar-benar sembuh! Kata ayahku lukamu itu seminggu lagi baru sembuh. Untuk saat ini kau belum boleh berenang.” Kata anak udang.
“Gak apa-apa! Aku sudah merasa sembuh. Gak sakit lagi. Nih lihat!” kata anak katak sambil memperlihatkan perutnya.
“Mana kelihatan, kan masih ada balutannya. Lukamu itu bahaya kalau kena air.”
“Ah kamu, kalau menunggu seminggu lagi, kelamaan , tau! Aku buka perbannya sekarang aja ya. Biar kamu tau kalau aku sudah sembuh. Lagian gak leluasa berenang dengan tubuh terbalut perban begini.”

“Jangan, Supri! Nanti ayahmu marah!”

“Biar saja, mereka kan gak ada disini. Nanti selesai mandi aku balut lukanya kembali. Yang penting kita sama-sama merahasiakannya, hehehe….”

Akhirnya anak udang pun mengalah. Dengan agak ragu-ragu ia pun membantu anak katak membuka perban yang menutupi lukanya.  Benar-saja, luka pada tubuh katak sudah agak mengering. Setelah semua perban terlepas mereka berdua lalu menceburkan diri kesungai. Anak katak keasyikan bermain bola-bola air tanpa tahu akibat dari perbuatannya itu.

Kamis, 23 Juli 2020

Tinggal di dusun VIII


Tinggal di dusun  VIII
Sintak Roh


Anak pertama, kedua dan ketiga nenekku sudah berkeluarga dan tinggal dirumahnya sendiri. Jadi saat itu hanya ibuku dan kakak keempat laki-laki yang belum berkeluarga masih tinggal bersama orang tuanya. Keseharian keluarga nenekku bekerja sebagai petani dan pembuat gula merah. Akan tetapi keluarga nenekku tidak pernah tinggal di dusun. Sawah dan kebun hanya berada disebuah rawa dibelakang kampung. Cukup berjalan kaki saja melewati hutan sudah dapat dicapai dengan mudah.

Kakekku(nenek laki) termasuk tetua kampung yang cukup disegani. Bukan karena memiliki jabatan ataupun seorang dukun, melainkan kakekku terkenal karena galaknya. Tidak banyak bicara namun galak. Bukan hanya pada keluarga sendiri, kepada orang lain juga. Tak perduli orang tua atau remaja, kakekku paling tidak suka orang berkelahi. Apabila ada orang berkelahi kakekku hanya akan menegur sekali. Bila masih juga, tak segan-segan kakekku akan menghardik mereka kemudian memberikan dua buah parang atau “bujak”  agar saling bunuh sekalian.

Pernah suatu ketika kakak kedua dan kakak ketiga saudara ibuku bertengkar dirumah. Hanya hal sepele, saling ejek dan merembet sampai saling mengungkit-ungkit pemberian. Nenek sebenarnya sudah berusaha melerai namun anak-anak malah makin menjadi-jadi. Kakek yang mengetahui hal itu segera mengasah dua buah parang hingga tajam. Awalnya tidak ada yang tahu untuk apa parang itu diasah. Tanpa banyak bicara, dibawanya kedua anaknya ini kehalaman rumah. Masing-masing diberi sebilah parang tadi dan disuruh untuk saling tebas agar masalahnya cepat selesai. Seketika anak-anak langsung pucat pasi. Tak ada yang berani menebas saudaranya. Mereka gemetar ketakutan hingga parang jatuh ketanah. Nenekku yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa menangis menjerit-jerit ketakutan. Sejak hari itu anak-anak tidak ada yang berani bertengkar dirumah. Bila ada masalah biasanya akan diselesaikan ditempat lain

Walaupun galak, kata ibuku kakek adalah orang tua yang sangat baik dan penuh tanggungjawab. Kakekku tidak pernah menyakiti nenek seumur hidupnya. Beliau sangat menyayangi anak-anak kecil. Jarang sekali marah. Hanya kalau marah sangat menakutkan. Apapun keinginan anak-anak, misalnya minta belikan sesuatu kakek tidak perhitungan selama masih dapat membelikan walaupun uangnya pas-pasan. Kakekku juga tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk membantu pekerjaannya selama masih bisa dikerjakan sendiri.

******

Segala hal tentang nek Jum sudah cukup lama diketahui oleh keluarga nenekku. Apalagi nenekku merupakan teman sepermainan nek Jum waktu kecil. Tentu saja nenekku ikut sedih dan prihatin. Hanya saja selama ini nenekku terlalu sibuk untuk memanen padi disawah. Kecuali malam hari, apabila tidak capek nenekku akan berkunjung kerumah nek Jum untuk menjenguk dan menemaninya ngobrol.

Selesai panen kala itu nenekku lebih sering mengunjungi nek Jum. Melihat keseharian nek Jum yang semakin memprihatinkan , nenekku bertekat sebisa mungkin untuk menolongnya. Keluarga dirumah juga sudah setuju. Walaupun tahu penyakit “breii” tidak ada obatnya, nenekku belum putus asa.
Menurut nenekku, nek Jum tidak sepenuhnya gila. Kemungkinan besar masih bisa disembuhkan. Karena setiap nenekku berkunjung malam hari keadaan nek Jum baik-baik saja. Walaupun terlihat menderita bathin, Nek Jum bisa diajak bicara dan penurut. Entah mungkin dia segan terhadap nenekku yang merupakan teman kecilnya dulu. Tetangga sampai bilang kalau nek Jum itu gila hanya pada jam-jam tertentu saja. Siang hari terutama pada pagi hari. Kalau malam, kadang aneh kadang normal.

Mengetahui keadaan nek Jum yang kurang terurus, sejak hari itu juga nenekku membulatkan tekat untuk mengurus orang tua ini semampunya. Semua itu dilakukan hanya atas dasar rasa kasihan sebagai kerabat jauh dan teman akrab. Siapa lagi yang mau merawat nek Jum sedangkan keluarganya saja tidak begitu perduli lagi. Mereka sudah bosan, capek dan tidak tahu lagi berbuat apa. Setelah melihat nek Jum yang mau menurut pada nenekku, keluarganya malah meminta nenekku untuk membantu mereka mengurus sang ibu. Apalagi nek Jum hanya mau mandi jika ditemani oleh perempuan saja. Para tetangga, anak-anak  dan menantunya sudah lelah oleh tingkah nek Jum. Menurut mereka hanya nenekku orang yang paling tepat.

Kata nenekku, sebenarnya walaupun kelihatannya penurut, pada saat-saat tertentu bukan hal mudah mengajak nek Jum untuk makan maupun mandi. Terutama pada “jam-jam gilanya”. Perlu kesabaran tingkat tinggi. Bayangkan saja betapa sulitnya mengurus orang gila yang sudah tua tapi bertingkah seperti anak kecil. Mau tidak mau harus ikut gila juga sementara. Kita harus siap korban waktu dan dimaki-maki. Keinginannya harus diikuti. Kalau sudah tidak mau tak bisa dipaksa.

Disela-sela kesibukannya mengurus keluarga sendiri, tiap pagi nenekku harus pergi kerumah nek Jum untuk mengajaknya makan dan memandikannya. Untuk makan tidak sulit. Tinggal ambilkan terus disuapi pakai sendok seperti anak kecil. Kadang malah nenekku sendiri yang jadinya disuapi nek Jum secara bergantian. Harus dituruti sampai selesai. Kalau tidak, nek Jum akan merajuk dan tidak akan mau makan lagi sampai seharian. Begitu juga jika mau buang air besar atau kencing. Nek Jum harus ditemani, dilepaskan pakaiannya setelah selesai barulah pakaian itu dipasangkan kembali. Bila tidak, nek Jum akan kencing dan berak sembarangan kemudian membiarkan dirinya telanjang bulat.

Untuk mandi lumayan sulit. Karena bila mengajak nek Jum mandi harus siap basah kuyup. Selain itu juga nenekku harus mau diajak berenang atau bermain lumpur bersamanya dipinggir sungai. Pada saat pertama mengajak mandi memang lumayan sulit. Macam-macam saja alasannya, mulai kedinginan, takut sabun kena mata sampai takut buaya dan “hantu ranam”. Akan tetapi nenekku tidak kehabisan akal. Asal mau diajak kesungai pasti bisa diajak mandi.

Ketika itu nenekku mengajak nek Jum ke sungai. Setibanya dipian, nenekku ingin membasuh tangannya. Eh, belum sempat bicara apa-apa, nek Jum tiba-tiba saja mengguyur tubuh nenekku dengan air sungai seember. Tubuh nenekku yang masih berpakaian lengkap langsung basah kuyup. Setelah itu nek Jum mau mandi asal ditemani bersama dengan cara saling memandikan. Kalau diajak berenang juga harus dituruti. Kadang nek Jum mengajak bermain saling membedaki muka pakai lumpur. Jika semua keinginannya itu diikuti, nek Jum akan tertawa senang seolah lupa denga buaya. Ia akan mandi sampai puas dan mau disabuni.

Setelah selesai mandi dan naik kerumah nek Jum lalu dipakaikan baju, disisir rambutnya, didandani, barulah bisa diajak makan pagi. Tengah hari biasanya nek Jum akan tidur siang. Saat itulah nenekku bisa pulang kerumahnya. Setibanya dirumah, nenekku menjadi bahan tertawaan anak-anak dan kakek. Tidak ada hujan tidak ada badai, masih berpakaian lengkap tapi nenekku malah basah sekujur tubuh. Akan tetapi, nenekku menganggap semua itu cuma hal lucu dan malah menyenangkan. Apakah nenekku ketularan ikut menjadi gila? Atau aku yang menulis cerita ini juga sudah gila?

Oh, tidak…Rhoma!
Sampai hari meninggalnya pun nenekku adalah orang yang waras. Sumpah!  Apalagi diriku sebagai cucunya, sampai saat ini masih normal kok, hanya saja masih jomlo.

**********

Begitulah hari-hari selanjutnya berjalan. Nenekku selalu punya waktu untuk mengurus nek Jum setiap hari. Malam harinya nenekku akan kembali lagi untuk mengajaknya makan dan menemani sampai bisa tertidur. Kadang kala nenekku bermalam dirumahnya. Kata nenekku, selama dalam pengawasannya, kalau malam hari nek Jum benar-benar seperti orang normal. Diajak bicara apa saja nyambung. Kadang malah sok tahu menasehati orang lain agar sadar bahwa jika sudah tua berarti mendekati kematian. Harus banyak-banyak mempersiapkan bekal untuk akhirat, katanya. Hebat juga, kataku!

Ada kalanya nenekku mengajak nek Jum untuk untuk bermalam dirumahnya. Setelah siang dikembalikan lagi kerumahnya. Kadang juga bukan hanya bermalam, nek Jum juga menginap dirumah nenekku sampai dua tiga hari. Berbulan-bulan hal itu berlangsung. Dari hari kehari nek Jum semakin penurut dan menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Orang-orang cukup senang dengan perkembangannya. Hanya saja nek Jum masih tidak mau diurus oleh orang lain selain nenekku. Untuk mandi juga masih harus ditemani seperti sebelumnya.

Selama menginap dirumah nenekku, pernah sekali nek Jum suatu pagi tidak mau mandi sama sekali dengan alasan takut buaya. Nenekku sudah berusaha membujuknya namun nek Jum terus menolak. Kakekku yang baru tiba dari tempat menyadap aren menjadi marah. Orang tua yang terkenal galak ini rupanya mulai hilang kesabaran. Dibentaknya nek Jum.

“Oii Jum! Kau takut kan bheya atau dusun. Mun kau ne mau manni kuantar kau ke dusun situ mini-mini ge. Kuikati kau dipondok kita, supaya ne depat mulang. Tuanya saneh sorangan kan makan hantu botak. Pilih hak manni atau diem dusun sorangan!”

(maaf untuk bagian 8 ini sengaja tidak diterjemahkan. )

Mendengar omelan kakekku, nek Jum langsung ketakutan. Semua orang juga tahu kalau kakek galak. Kakek takkan bicara dua kali. Ucapannya akan buktikan bila tidak menurut juga. Buru-buru nek Jum mengambil perlengkapan mandi dan turun kesungai untuk mandi sendiri. Nenekku langsung ikut menemaninya walaupun tidak ikut mandi juga. Ia hanya khawatir orang tua itu tenggelam disungai. Ternyata nek Jum bisa mandi sendiri dengan normal. Tidak manja-manja seperti sebelumnya. Sejak hari itulah nek Jum bisa mandi sendiri walaupun tanpa ditemani.

Pada suatu hari kebetulan seluruh anak-anak nenekku berkumpul dirumah. Keluarga nenek mengadakan selamatan kecil-kecilan yang hanya dihadiri oleh pihak keluarga saja. Nek Jum juga ada dirumah nenek saat itu. Ditengah-tengah acara makan-makan kue “apam” kakek membicarakan tentang nek Jum. Entah sadar atau tidak, atau menganggap nek Jum tidak paham apa yang dibicarakan, kakek nyeletuk sambil tertawa.

“Tageknya Jum ni mun hanek beik pa, etam carikan laki maha yo! hahaha..” kata kakek sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Anak-anak pun ikut tertawa tapi masih ditahan-tahan karena segan dengan kahadiran nek Jum diantara mereka. Tiba-tiba saja nek Jum yang tadinya cuma diam, menyahut.

“Oii kak, beneh ujemu ngia! Tapi ade lang urang laki mau kan urang tuha gile? Carikan hak lih mu. Mun kau haje kiranya apa rupanya? hahaha..” kata nek Jum dengan tertawa lepas.

Kata-kata nek Jum membuat kakek langsung kelabakan salah tingkah. Ia tak menyangka nek Jum rupanya mengerti apa yang dibicarakannya. Kakek tak bisa menjawab pertanyaan nek Jum. Seketika suasana menjadi hening sesaat. Anak-anak dan nenek berusaha menahan tawa takut dimarahi kakek. Tiba-tiba saja kakek malah tertawa terbahak-bahak. Pada akhirnya seisi rumah ikut tertawa beramai-ramai termasuk nek Jum sendiri. Tidak ada yang menganggap ucapan nek Jum itu serius. Lucu memang, orang gila mau dicarikan suami. Ada-ada saja, kata nenekku. Pada akhirnya ucapan nek Jum sering diulang anak-anak dihadapan kakek untuk menggodanya. Kakek tidak marah sama sekali. Beliau hanya tidak suka bila orang berkelahi. Kalau urusan lain kakek akan “ikut arus”. Malah dengan bangga kakek menimpali, memangnya kalian mau punya ibu kedua yang gila? Dasar!

**********
 
Pada suatu malam nek Jum bermalam dirumah nenekku. Lain dari biasanya. Malam itu nek Jum benar-benar seperti orang waras. Tidak akan ada yang menyangka jika orang tua ini menyimpan penyakit “gila”. Nek Jum bercerita masa-masa bersama suaminya dulu didusun pada nenekku. Ia bercerita dengan lancar tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari cerita indah sampai yang menakutkan saat-saat menunggui jenazah suaminya seorang diri. Tak lupa juga nek Jum menceritakan awal mulanya berumah tangga dengan almarhum suaminya. Nenekku hanya bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Menurut nek Jum, suaminya memiliki ilmu yang disebut orang “Sintak Roh”. Semacam ilmu pelet tetapi dikhususkan untuk pasangan yang sudah menikah.

*Sintak Roh merupakan sejenis ilmu pelet tingkat tinggi dan langka. Ada yang menyebut sintak roh sebagai ritual menikahkan roh kedua pasangan. Biasanya orang yang mempunyai ilmu ini akan menggelar pernikahan dua kali dalam hidupnya. Pertama, nikah seperti orang-orang pada umumnya(nikah jasmani). Kedua, nikah secara bathin (roh/ruh) yang hanya dilakukan berdua(suami-istri) dengan persetujuan kedua belah pihak secara rahasia tanpa diketahui orang lain.
Tentang bagaimana ritualnya penulis juga tidak mendapatkan penjelasan dari ibu. Akan tetapi, intinya selain menikah secara umum orang yang menggunakan ilmu ini akan menikah lagi berdua dengan mengikat sumpah perjanjian saling setia, sehidup semati. Bila salah satu meninggal lebih dulu, maka pasangannya takkan bisa mendapatkan pasangan yang lain. Ia akan ikut meninggal juga paling cepat tiga hari, dan paling lama setahun kemudian.

Dampaknya baiknya, orang yang melakukan ritual sintak roh menjadi saling setia pada pasangannya. Mereka tidak akan pernah selingkuh atau pun bercerai sampai ajal memisahkan. Dampak buruknya, bagi yang meninggal lebih dulu, jiwanya akan selalu membayangi pasangannya yang masih hidup. Sedangkan bagi pasangan yang masih hidup, tidak akan berumur lama sesuai perjanjian. Bila lewat tiga hari belum meninggal, maka akan mengalami breii dan gila. Pada akhirnya nanti akan meninggal juga dalam waktu kurang lebih setahun kemudian.*

Nek Jum dan suaminya dulu pernah melakukan ritual sintak roh setelah mereka menikah. Sebenarnya ilmu ini dapat diputus sebelum suaminya meninggal dunia. Seandainya dulu sebelum sang suami meninggal memutus/melepas ilmu ini nek Jum takkan mengalami breii dan gila. Akan tetapi, soal perjanjian sehidup semati sudah tak bisa dibatalkan lagi. Menurut nek Jum untuk memutus ilmu sintak roh hanya bisa dilakukan dengan mencari orang yang juga memiliki ilmu sintak roh. Artinya penyakit breii dan gila yang dialami nek Jum ada harapan untuk sembuh, walaupun hidupnya takkan lama lagi. Fungsi lain dari sintak roh adalah untuk mengembalikan pasangan suami istri yang renggang. Selama belum bercerai sampai talak tiga, pasangan itu masih bisa disatukan lagi. *koreksi jika salah*

Bagaimana pemirsa, kalian paham dengan penjelasan diatas? Kalau paham, alhamdulillah.

Nih kami ajari sedikit mantra yang diucapkan pada ritual sintak roh.
“karakat-karikit tumbuh dibatu. betangkap begigit urang bini brebut kan aku.”..hahaa

**********

Mendengar penjelasan dari nek Jum nenekku cukup kaget. Ia tak menyangka jika keluarga nek Jum pernah menggelar ritual sintak roh. Ilmu yang pada zaman itu saja sudah langka, apalagi dizaman now.
Akan tetapi, nenekku cukup gembira karena nek Jum memiliki kesempatan untuk sembuh walaupun usianya mungkin takkan lama. Ajal seseorang siapa yang tahu? Tak boleh putus asa. Tugas manusia hanya berikhtiar semampunya. Selanjutnya biar Tuhan yang menyempurnakan takdir. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan nenekku adalah bersama nek Jum mencari orang lain yang mungkin masih memiliki ilmu sintak roh.

Keesokan harinya setelah berdiskusi dengan keluarganya, nenekku bersama nek Jum pergi menemui saudara-saudara dari almarhum suaminya. Dan bersyukur sekali, tanpa mendapat kesulitan bertemulah mereka dengan adik perempuan dari almarhum sang suami yang juga rupanya memiliki ilmu sintak roh. Setelah mendapat penjelasan dari nenekku, adik perempuan ini pun setuju untuk menolong nek Jum dengan menggelar ritual sintak roh kembali. Dalam ritual ini tidak boleh dihadiri oleh orang lain selain nek Jum dan adik iparnya ini.

Pada malam harinya, tepat tengah malam saat orang-orang tertidur ritual sintak roh pun akan digelar. Rumah besar keluarga nek Jum sebelumnya sudah dikosongkan. Anak ketiga nek Jum harus menginap sementara dirumah saudaranya. Tempat inilah yang dipilih untuk menghindari supaya tidak ketahuan orang lain karena ritual harus dilakukan berdua secara rahasia. Nek Jum didandani dengan memakai pakaian pengantin seperti orang yang sedang menikah. Ritual dilakukan dalam sebuah kelambu berdua bersama sang adik ipar tanpa dihadiri oleh siapapun sampai pagi.
Awalnya adik ipar nek Jum merapal mantera-mantera aneh. Nek Jum dibuat seolah tak sadarkan diri hingga tidak ingat apa-apa lagi alias tertidur. Adik ipar pun ikut tertidur. Nah, dalam mimpi inilah sang adik ipar entah bagaimana caranya mempertemukan roh nek Jum dengan roh suaminya. Selanjutnya adik ipar ini meminta roh suami nek Jum agar melepas/memutus ilmu sintak rohnya pada nek Jum. Setelah itu ia akan meninggalkan mereka berdua sampai pagi. Sampai nek Jum terbangun dari tidurnya.

Ritual sintak roh malam itu berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan. Pada pagi harinya, nek Jum terbangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Ia sendiri bahkan kaget karena sedang berpakaian pengantian. Setelah mendapatkan penjelasan dari nenekku barulah nek Jum sadar dengan ritual yang digelar malam itu. Bagaimana keadaan nek Jum saat itu? Apakah sudah sembuh?

Menurut nenekku, wajah nek Jum pagi itu cerah dan bersemangat sekali. Tidak kelihatan ada kesan murung seperti hari-hari yang lalu. Seluruh keluarga nek Jum yang hadir menyaksikan perubahan itu dengan gembira. Nek Jum langsung mencari cucu-cucunya. Katanya ia sudah lama tidak bertemu dengan mereka. Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan. Anak-anak pun sepertinya tidak takut lagi dengan neneknya yang sudah sembuh itu.

Hari-hari selanjutnya keluarga nek Jum dapat hidup normal kembali. Nek Jum perlahan bisa mengurus dirinya sendiri seperti sedia kala. Walaupun hanya tinggal berdua bersama anak ketiga, nek Jum tidak lagi merasa kesepian. Ia sudah bisa menerima keaadaannya. Jika pun rindu dengan anak-anak yang masih kecil, nek Jum tinggal berkunjung kerumah anak pertamanya bahkan bermalam dirumah mereka. Anak-anak nek Jum sendiri kini dapat beraktivitas dengan normal tanpa rasa khawatir pada ibunya. Begitu pula dengan keluarga nenekku dan tetangga, mereka semua ikut gembira dan bisa bernapas lega dengan kesembuhan nek Jum.

Seminggu setelah peristiwa “ritual sintak roh”, nek Jum sering mengunjungi rumah nenekku. Apabila mengetahui nenekku sedang berada di sawah, nek Jum langsung menyusulnya. Saat itu sedang musim tanam padi. Tanpa diminta bantuannya nek Jum dengan suka rela membantu keluarga nenekku menamam bibit padi disawah yang berlumpur. Perubahan-perubahan sikap prilaku nek Jum itu tentu saja menjadi hal menggembirakan. Bukan saja sebagai teman akrab, nenekku sampai menganggap nek Jum seperti saudara sendiri. Tepatnya kakak-beradik. Karena nek Jum lebih tua, maka nenek memanggilnya sebagai kakak.

Kakek. Bagaimana dengan kakek? Karena sudah tidak gila, maukah kakek menjadi suami baru bagi nek Jum?............hahahaha..

Bukan. Bukan seperti itu. Ucapan-ucapan dulu hanya sebagai candaan saja. Semua orang sudah melupakannya. Nek Jum sangat menghormati orang tua yang galak ini. Ia memanggil kakek dengan sebutan kakak karena lebih tua. Bahkan kakek lebih tua daripada almarhum suami nek Jum.

Untuk mengisi hari-hari nek Jum yang mungkin tinggal sedikit itu kakekku bersama anak-anaknya sengaja membuka lahan baru ditanah keluarga kami untuk dijadikan tempat menanam jagung. Setelah lahan bersih, kemudian diserahkan khusus bagi nenekku dan nek Jum untuk menanami jagung dan sayuran.

Nek Jum ternyata orang tua yang sangat rajin. Tiap hari, pagi-pagi sekali nek Jum sudah tiba dirumah nenek untuk sama-sama pergi ke kebun. Bahkan pernah saat nenek dan kakekku masih tidur. Nek Jum tanpa diminta membantu memasakkan makanan pagi buat keluarga nenekku. Bukan main semangatnya. Berkat perawatan yang baik dari nenek bersama nek Jum, tanaman jagung dan sayur-sayuran tumbuh subur. Diperkirakan sekitar empat bulan lagi akan panen jagung.
Pada malam hari biasanya nek Jum akan kembali mengunjungi rumah keluarga nenekku untuk belajar mengaji dari kakekku. Kadang nek Jum menginap sampai pagi. Tidak ada yang meminta. Menurut nek Jum, ia hanya menunaikan wasiat dari suaminya dulu sebelum meninggal dunia. Selain itu juga nek Jum diajari oleh kakek dan nenekku cara sembahyang yang benar. Sampai akhirnya ia bisa shalat sendiri dirumahnya.

Hari-hari yang indah itu tidak berlangsung lama. Jika dihitung sejak meninggalnya sang suami, kurang lebih setahun. Seolah membenarkan teori “sintak roh”, sekitar seminggu setelah panen jagung nek Jum sakit parah. Ia terkena muntaber. Penyakit yang dulu menyebabkan suaminya meninggal. Saat itu penyakit muntaber memang sedang mewabah. Banyak juga orang lain yang mengalami. Hanya berlangsung dua hari tanpa perawatan berarti, nek Jum pun kembali kehadirat Tuhannya dengan disaksikan oleh tetangga dan seluruh keluarganya termasuk keluarga nenekku. Jumat pagi, nek Jum meninggal dunia tanpa sempat menyelesaikan pengajian-nya. Isak tangis kesedihan memenuhi rumah besar keluarga nek Jum. Hari itu juga setelah selesai shalat Jumat, jenazah nek Jum dimakamkan pada pekuburan tengah kampung tepat disamping makam suaminya.

SELAMAT JALAN NEK JUM. KIRANYA DIRIMU SUDAH BISA BERJUMPA DENGAN SANG SUAMI TERCINTA. SEMOGA YANG MAHA KUASA MEMBERIKAN TEMPAT YANG LAYAK UNTUKMU. Aamiin.

************

Setelah kepergian nek Jum, seluruh keluarganya berduka. Lebih-lebih nenekku yang hampir tiap hari menghabiskan waktunya bersama nek Jum di kebun. Nenek benar-benar merasa kehilangan. Kakekkku dan anak-anak lah yang kemudian memberikan semangat hingga ia dapat menerima kenyataan itu. Nasehat dari kakek untuk nenek bahwa mati adalah takdir. Kita tak bisa menolaknya. Cepat atau lambat. Kau, aku atau siapapun yang masih hidup saat ini pada akhirnya akan mengalami. Hanya menunggu waktu. Pilihan kita hanya menerima Takdir itu. Maka isilah hari-hari yang tersisa dengan hal baik sebagai bekal dikemudian hari untuk menempuh perjalanan selanjutnya

Tataplah buah kelapa dipuncak pohonnya. Ada yang sudah tua, ada juga yang masih kecil. Kita tidak pernah tahu buah kelapa mana yang jatuh duluan. Akan tetapi, secara logika, kelapa tua ibarat kapal bocor, tinggal menunggu oleng dan karam lalu tenggelam duluan. Di usia yang sudah tua tidak perlu lagi sibuk dengan urusan dunia. Sudah saatnya belajar Ikhlas, rela menerima keadaan dan mempersiapkan diri

Kakek meninggal sekitar tahun tujuh puluhan. Aku sendiri belum pernah melihat rupanya karena belum lahir kedunia ini. Saat kakek meninggal, ibuku baru memiliki anak pertama dan anak kedua. Menurut ibuku, kakek hanyalah seorang lelaki bertubuh kecil dan kekar. Seperti dikatakan sebelumnya, penyayang tapi galak. Sedangkan nenek, meninggal pada tahun 2002 saat aku masih berada dibangku SMA kelas dua.

S E L E S A I


*After scene kredit.
- Bertahun-tahun setelah meninggalnya nek Jum, dusun tempat tinggalnya tidak ada yang menempati lagi.
- Anak pertama yang pernah menggantikan pekerjaaan almarhum ayahnya juga sudah tidak bekerja sebagai pembuat gula merah.
- Anak pertama beralih pekerjaan sebagai nelayan di rawa-rawa.
- Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu, anak pertama pergi kedusun untuk membersihkan rumput-rumput yang menutupi kebun buah.
- Lama kelamaan gubuk keluarga nek Jum yang berada di dusun roboh karena kayu-kayu penyangganya sudah rapuh.
- Gubuk itu akhirnya runtuh kesungai bersama “tanah tabor” (longsor) oleh aliran air sungai.
- Tempat tersebut sekarang berubah menjadi sebuah “talok” (teluk/lubuk) yang luas.
- Aku bersama kakakku pernah pergi memancing ketempat ini menggunakan perahu ketinting.
- Jika pakai ketinting, dengan kecepatan standar, waktu yang diperlukan sekitar setengah jam untuk mencapainya.
- Banyak ikan-ikan yang menghuni talok tersebut, terutama ikan “ mpikusan, lais, lapok, salap, lancang, bahkan patin”.
- Masihkah bekas gubuk keluarga nek Jum menjadi daerah yang angker?
- Sampai bertemu lagi pada cerita yang lain.


Salam, TF 1

Senin, 20 Juli 2020

Tinggal di dusun VII


Tinggal di dusun VII


Nenekku memiliki lima anak. Anak tertua seorang perempuan disusul anak kedua, ketiga, keempat semuanya laki-laki. Sedangkan ibuku sendiri menempati posisi sebagai anak terakhir. Usia ibuku sekarang tidak begitu jelas, namun menurut perkiraannya diatas enam puluh tahun. Kakekku meninggal sekitar tahun tujuh puluhan. Begitu juga nenek sudah meninggal pada tahun 2002 lalu. Saat ini yang tersisa hanya ibuku dan kakak laki-lakinya yang ketiga.

Pada saat suami nek Jum meninggal, ibuku masih kecil. Kira-kira umurnya sekitar enam tahun. Belum mengerti apa-apa dan belum sekolah. Pada zaman itu sudah ada sekolah darurat yang disebut Sekolah Rakyat (SR) setingkat SD zaman sekarang. SR hanya memiliki tiga kelas yaitu kelas satu sampai kelas tiga saja. Gurunya pun cuma satu. Usia masuk sekolah harus delapan tahun. Makanya ibuku belum bisa ikut belajar disekolah.

**********

Nek Jum. Ya, orang tua yang menjadi tokoh utama kita dalam cerita ini. Setelah kepergian sang suami, bagaimana keadannya?

Beberapa hari setelah acara mecakan keempat puluh nek Jum kembali pada kebiasaannya seperti sebelum dibawa dari dusun. Apalagi setelah anak pertama pindah kerumahnya bersama keluarganya. Nek Jum sering melamun seorang diri. Nek Jum rupanya merasa kesepian. Beberapa kejadian aneh seperti sering tidur diluar rumah membuat keluarga serta tetangga mulai prihatin. Apalagi nek Jum pernah mengaku kalau dirinya masih merindukan suaminya yang telah meninggal. Orang-orang jadi semakin yakin bahwa nek Jum masih mengalami “breii”. Padahal penyakit ini tidak ada obatnya. Anak pertama dan anak ketiga sepertinya hanya bisa pasrah pada keadaan ibunya.

Siang itu dirumah besar, nek Jum hanya ditemani oleh menantu dan cucu-cucunya. Sebenarnya, mengetahui kondisi sang ibu yang kurang baik, menantu bersama cucu-cucunya tiap hari menghabiskan waktunya dirumah itu. Mereka hanya ingin menghibur sang nenek. Akan tetapi hari itu lain daripada hari-hari yang lain. Nek Jum yang biasanya senang dengan kedatangan anak-anak tampak murung. Menurut anak ketiga, sejak pagi ibunya itu bersikap aneh dan tidak mau makan padahal tidak sakit. Setelah anak ketiga berangkat ketempat kerjanya, tinggallah menantu serta cucu-cucunya saja yang akan menemani nek Jum.

Demi menyenangkan ibunya, sang menantu siang itu sengaja memasak ayam. Ia berharap nek Jum akan punya selera makan apabila dibuatkan makanan enak. Setelah masakan ayam matang, ia lalu mencoba menawarkannya pada nek Jum. Namun orang tua ini menolak. Walaupun sudah dibujuk berkali-kali nek Jum tetap juga menolak ajakan makan itu. Ia memilih kembali ketempat tidurnya, kemudian bermalas-malasan tanpa bicara apa-apa

Mengetahui masakan ayam telah matang, cucu-cucu nek Jum yang masih kecil berebut ingin cepat-cepat makan. Padahal masih panas. Maklum, makanan enak enak dizaman itu memang jarang ada. Namanya juga anak-anak, kebiasaan berebut makanan adalah wajar karena khawatir tidak kebagian. Terutama bagi anak kedua dan ketiga yang masih kecil. Sang ibu(menantu) mencoba menengahi anak-anaknya. Makananan lalu disajikan dan dibagi secara rata. Akan tetapi, ketika sedang makan anak-anak ini tetap saja ribut menganggap pembagian daging yang kurang adil. Anak ketiga merebut daging ayam yang ada di piring adiknya. Terjadilah saling tarik-menarik daging ayam. Ribut-ribut itu akhirnya berujung saling pukul. Walaupun ibunya sudah melerai tetap saja anak-anak yang berebut ini sama-sama menangis.

Suara ribut-ribut didapur rupanya membuat nek Jum marah. Tiba-tiba saja nek Jum bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menuju kedapur. Diangkatnya masakan daging ayam yang masih berada di panci lalu dibuangnya pada jendela. Seketika itu juga anak-anak berhenti ribut. Mereka ketakutan dengan sikap neneknya. Selama ini belum pernah nek Jum marah pada cucu-cucunya. Ia begitu menyayangi mereka. Bahkan sering memberikan uang jajan. Akan tetapi, hari itu lain dari biasanya. Setelah membuang masakan ayam, nek Jum lalu berkacak pinggang dihadapan cucu dan menantunya sambil mengomel dan memaki-maki anak-anak yang masih kecil. Ia juga mengusir mereka semua agar pulang kerumah sendiri hari itu juga. Merasa puas sesudah mengomel, nek Jum kembali tidur-tiduran seperti tanpa rasa bersalah.

Sebagai ibu dari anak-anaknya, sang menantu tentu saja merasa tersinggung dengan sikap ibunya. ia tak menyangka jika nek jum mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati. Apalagi dihadapan anak-anaknya yang masih kecil. Segera saja anak-anak yang masih ingin makan dihentikan. Cepat-cepat ia membereskan piring-piring kotor. Sang menantu lalu mengajak anak-anaknya pindah kerumah mereka saat itu juga tanpa permisi.

Sore harinya ketika anak ketiga nek Jum pulang, ia mendapati ibunya masih bermalas-malasan ditempat tidur. Ia mengaku masih belum makan. Bahkan nek Jum mengatakan kalau menantunya sengaja pergi dari rumahnya karena malas membuatkannya makanan. Anak ketiga setelah mendapat keterangan dari ibunya, walaupun ingin marah tentu saja tidak langsung percaya begitu saja. Ia paham keadaan ibunya saat itu. Maka ia pun langsung kerumah kakaknya untuk mengetahui cerita sebenarnya.

Setibanya dirumah saudaranya, kakak iparnya pun menjelaskan semua kejadian hari itu. Untunglah anak ketiga ini tidak jadi marah. Melihat keponakan-keponakannya yang masih kecil, tentu saja ia tidak tega. Tidak ada untungnya juga marah-marah pada anak-anak yang belum paham apa-apa. Ia hanya meminta agar mereka semua mengerti keadaan sang ibu dan masih mau mengunjunginya. Kakak ipar serta kakak pertamanya sangat memaklumi ibunya. Mereka berjanji masih akan mengunjungi ibunya.

Lain halnya dengan anak-anak yang masih polos. Sejak kejadian hari itu cucu-cucu nek Jum menjadi takut pada neneknya. Menurut anak yang lebih tua, nek Jum ketika marah matanya kelihatan merah seperti “hantu urang”. Mereka tidak mau lagi bertemu dengan neneknya walau pun dipaksa.

Hari-hari selanjutnya nek Jum di hanya tinggal bersama anak ketiganya saja. Sesekali saat malam jika tidak sibuk, anak pertama datang berkunjung. Kalau siang hari, ketika anak ketiga bekerja sang menantu lah yang menjaganya. Kadang membuat masakan atau mencucikan pakaiannya. Tentu saja dia datang hanya bersama anak yang paling kecil. Karena anak yang paling kecil ini tidak bisa ditinggal bersama saudaranya dirumah.

Suatu pagi, saat anak pertama pergi bekerja, sang menantu datang kerumah nek Jum. Ketika itu nek Jum sedang asyik melamun diluar rumah. Ia tidak perduli dengan kedatangan menantunya. Walaupun sudah disapa, nek Jum diam saja seperti patung. Sang menantu paham situasi. Hampir tiap hari sikap nek Jum seperti itu sejak kembali dari dusun. Ia tetap membuat masakan untuk nek Jum pagi itu.

Setelah masakan matang, sang menantu kemudian menawarkan nek Jum untuk makan. Tanpa menjawab orang tua ini hanya menggeleng. Mengetahui mertuanya yang tidak berselera makan, sang menantu lalu memberi makan anaknya yang masih kecil. Saat sedang asyik-asyiknya makan didapur, tiba-tiba saja nek Jum yang awalnya masih berada diluar masuk kedapur. Ia berdiri dihadapan menantunya yang sedang menyuapi anaknya. Tanpa bicara apa-apa nek Jum lalu merebut piring makan si kecil dan minta disuapi juga oleh menantunya. Perbuatan aneh nek Jum ini tentu saja membuat heran menantunya. Apalagi sikecil yang sedang makan malah menangis sejadi-jadinya. Nek Jum pun menjadi sangat marah.

“Ni hak ye kubenci kan kanak, pulihan nangis maha. Nuapa lang kanak alus nga bewa sini, be benciku hak kan tangisan kanak. Osok prasaku. Bewa mulang situ.” Uje nek Jum kan mata mlaneng.
(ini yang kubenci dari anak kecil, bisanya cuma menangis saja. kenapa anak yang masih kecil dibawa kemari, aku paling benci dengan tangisan anak kecil. perasaanku pusing. bawa pulang sana!) kata nek Jum dengan mata melotot.

Mendengar omelan nek Jum, sang menantu pun segera buru-buru membawa anaknya pergi. Walau pun tahu mertuanya kurang waras, tetap saja ia merasa tersinggung oleh ucapan orang tua itu. Mulai hari itu ia juga tak pernah lagi membawa anak-anaknya, bahkan si kecil pun ditinggal jika berkunjung kerumah mertuanya. Nek Jum paling benci dengan tangisan anak kecil. Anak siapa pun, termasuk anak tetangga. Jika ada anak tetangga yang menangis disebelah rumah malam hari. Nek Jum akan mengamuk sambil berteriak-teriak menggedor dinding rumahnya. Akibatnya semua anak-anak kecil menjadi takut dengan nek Jum.

Anak-anak nek Jum sebenarnya sudah berusaha untuk mengobati ibunya ke dukun. Akan tetapi, dukun mana yang bisa menyembuhkan penyakit tidak waras? Semua itu tentu saja sia-sia. Nek Jum juga pernah akan dibawa kembali ke dusun. Anak-anaknya berharap dengan berada di dusun pikiran sang ibu bisa normal kembali. Awalnya nek Jum mengikuti kemauan anak-anaknya. Namun saat perahu mulai didayung, nek Jum tiba-tiba mengamuk ingin kembali. Ia bersikeras ingin pulang kerumahnya. Kata nek Jum ia tidak mau tinggal didusun karena disana ada “hantu botak”. Anak-anak tetap memaksa mendayung perahu. Tanpa pikir panjang nek Jum lalu melompat keair. Untung saja orang tua ini bisa berenang. Anak-anak segera menyelamatkannya dan membatalkan rencana untuk membawanya ke dusun hari itu. Pada akhirnya mereka pasrah menerima keadaan ibunya tanpa tahu berbuat apa-apa lagi.

Pada malam harinya tepat tengah malam anak ketiga yang serumah dengan ibunya terbangun. Saat itu dia masih berada didalam kelambu tembus pandang. Anehnya terdengar suara orang bercakap-cakap. Awalnya ia mengira ibunya sedang berbicara dengan tetangga. Tapi mustahil ada orang lain yang berkunjung tengah malam. Perlahan ia pun duduk masih pada posisi berada didalam kelambu. Dari balik kelambu ia dapat melihat jelas ibunya yang sedang membelakang bercakap-cakap dengan seseorang. Akan tetapi yang terdengar hanya suara ibunya saja. Sedangkankan lawan bicaranya tidak terdengar sama sekali. Sesekali nek Jum menyebut kata “dosa, mati, sintak roh”. Entah apa makna kata-kata tersebut ia tak mengerti. Dengan siapakah ibunya berbicara?

Karena penasaran, anak ketiga ini pun perlahan mengintip denganmenyingkap sedikit celah kelambu untuk melihat lawan bicara ibunya. Astaga! Hampir saja ia pingsan. Di remang-remang cahaya pelita yang berada ditengah rumah, nek Jum sedang berbicara dengan seorang lelaki tua. Ya. Lelaki tua itu adalah ayahnya yang sudah meninggal berbulan-bulan lalu. Mukanya kelihatan pucat dan masih memakai “bungkus” (kain kafan).
Dengan ketakutan segera anak ketiga ini menutup kembali celah kelambunya dan pura-pura tidur. Lama sekali sampai akhirnya terdengar nek Jum menyudahi obrolan itu. “Sang tamu” sepertinya menghilang entah kemana. Lalu nek Jum masuk kedalam kelambu dan melanjutkan tidurnya.

Pada pagi harinya anak ketiga mencoba menanyakan pada ibunya peristiwa malam itu. Akan tetapi, sia-sia saja, seperti biasa, nek Jum sama sekali tidak menjawab seperti orang bisu.

**********
Perubahan-perubahan yang terjadi pada nek Jum membawa masalah bagi anak ketiganya. Apalagi sejak sang menantu yang jarang berkunjung untuk merawatnya. Sang menantu tentu saja takut. Ia lebih memilih merawat keluarga saja daripada dimarahi nek Jum. Sekarang tanggung jawab hampir sepenuhnya berada pada anak ketiga yang serumah. Nek Jum hanya mau makan jika disuapi. Bila tidak, biar seharian, nek Jum tidak akan mau makan sama sekali. Persis seperti anak kecil.

Begitulah hari-hari berjalan. Sampai akhirnya anak-anak dan menantunya menjadi terbiasa dan bosan dengan kelakuan ibunya itu. Mereka tidak lagi merasa khawatir keadaan sang ibu. Anak ketiga yang serumah tetap bekerja seperti biasanya. Akibatnya nek Jum menjadi kurang terurus, dan sering kelaparan. Walaupun begitu anak ketiga ini tetap memasakkan makanan pagi harinya. Setelah itu ia pergi bekerja dan pulang kalau sudah malam.

Kadang kala sang menantu lah yang datang mengurus nek Jum. Walau pun sering menjadi pelampiasan amarah nek Jum ia tidak jera-jera juga karena kasihan. Ada kalanya bila sang menantu tidak datang, sibuk mengurus keluarganya sendiri, hanya tetangga yang kasihan lah mengurus keseharian nek Jum. Bila anak ketiga ada dirumah, tentu semuanya bisa diurus olehnya.
Pernah pada suatu pagi, nek Jum sedang duduk melamun dipinggir sungai. Anak ketiga sudah berangkat ketempat kerjanya sejak subuh. Saat itu banyak anak kecil sedang mandi dipinggir sungai. Ada yang asyik berenang. Ada juga sedang kejar-kejaran dan bermain lumpur. Banyak juga ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian di “pian” (rakit). Suasana saat itu ramai oleh teriakan-teriakan anak kecil yang sedang bermain dengan gembira.

Tiba-tiba saja nek Jum yang sedang melamun bangkit dari duduknya. Dibukanya seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dengan telanjang bulat, nek Jum turun kesungai dan menceburkan diri diantara anak-anak yang sedang mandi. Nek Jum rupanya ingin mandi dan ikut bermain bersama anak-anak. Tingkah aneh nek Jum ini membuat anak-anak yang sedang asyik bermain langsung berhamburan menyudahi mandinya dengan ketakutan. Nek Jum menjadi kesal karena tak ada yang mau diajak bermain. Dilemparinya anak-anak dengan lumpur. Tentu saja hal ini membuat anak-anak semakin  berlarian menjauh. Ada juga yang sampai menangis karena ketakutan.

Tetangga yang sedang mencuci pakaian mencoba membujuk nek Jum agar mau berpakaian kembali. Nek Jum mau menurut, akan tetapi setelah berpakaian ia kembali mandi dipinggir sungai sambil berenang. Kadang kala ia bermain lumpur sambil tertawa senang seorang diri. Lama sekali nek Jum mandi sampai tetangga merasa bosan menungguinya. Orang-orang khawatir jika ditinggal sendiri nek Jum malah akan tenggelam. Kembali nek Jum dibujuk supaya menyudahi mandinya, namun nek Jum tidak perduli. Ia tetap asyik bermain-main air sambil berenang dipinggir sungai.

Entah sengaja atau tidak, tiba-tiba seorang perempuan saat itu nyeletuk.
“Nek Jum lah hak manni ngia, ne kita takut kan bheya? Kesahnya ade side nelek bheya timul berang situ! Mun bheyanya nyumerang kasini pupus kita rongkopnya, makannya bulet-bulet.”
(nek Jum, sudahilah mandinya, tidakkah nek Jum takut sama buaya? ceritanya kemarin ada yang melihat buaya muncul diseberang sana! kalau sampai buayanya menyeberang kemari nek Jum bisa digigit, lalu dimakan bulat-bulat.)

Mendengar kata “buaya”, nek Jum rupanya ketakutan. orang tua ini menangis sambil bangkit menyudahi mandinya. Seluruh pakaiannya kembali dilepaskannya. Seperti anak kecil yang ngambek, nek Jum langsung naik menuju kerumahnya dengan telanjang bulat. Para tetangga terpaksa harus membereskan dan mencucikan pakaian nek Jum yang bercecer dan kotor oleh lumpur.

Sejak hari itu nek Jum tidak mau lagi mandi disungai kecuali ditemani. Harus perempuan, nek Jum tidak mau ditemani oleh laki-laki, termasuk anaknya sendiri. Dan, siapa pun yang menemaninya harus ikut juga mandi bersamanya. Benar-benar merepotkan!

Next.

Maaf, jika kurang memuaskan.
Nantikan part 8 sebagai penutup dari cerita ini.


Salam, TF 1