Selasa, 07 Juli 2020

Penguburan


Prosesi menguburkan jenazah di desa

Agama islam masuk ke desa Tuana Tuha diperkirakan sekitar abad ke – 18. Sampai saat ini 99,999% penduduknya adalah muslim. Kalau pun ada nonmuslim, mereka adalah pendatang yang berasal dari tempat lain untuk bekerja atau menetap di sini. Jauh sebelum masuknya ajaran islam, nenek moyang kami dulu menganut agama kepercayaan dan Hindu. Ada  juga yang tidak beragama sama sekali. Beberapa ajaran agama Hindu masih menjadi tradisi bagi warga turun-temurun hingga sekarang. Kami belum menemukan sumber bagaimana proses pemakaman orang meninggal pada zaman dahulu. Yang akan kita bahas nantinya adalah proses pemakaman sejak masuknya ajaran islam hingga saat ini.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengarahkan pada sentimen agama. Sama sekali tidak. Di negara kita, setiap orang bebas memilih agama berdasarkan keyakinannya.

“kau yang bukan saudaraku dalam iman adalah saudaraku dalam kemanusiaan”, kata Imam Ali.

Begitu juga dengan uraian berikut, bebas dibaca oleh siapa saja. Hitung-hitung buat nambah wawasan. Supaya teman-teman tahu bagaimana prosesi pemakaman dikampung kami.


Jika ada orang meninggal di kampung kami ada tradisi yang masih berjalan dengan baik hingga sekarang. Kalau zaman dulu, berita kematian akan menyebar dari mulut kemulut hingga orang sekampung akan tahu. Bedanya dengan zaman sekarang, biasanya berita kematian warga diumumkan lewat masjid menggunakan pengeras suara (toa).

Apabila ada orang meninggal, warga yang mengetahui berbondong-bondong datang melayat, ikut berduka, menghibur, berdoa dan memberikan bantuan kepada keluarga si fulan. Dari bantuan bahan makanan, uang dan tenaga. Tidak ada panitia khusus, warga membantu sukarela. Kelompok kerja terbentuk dengan sendirinya. Dari kerabat, tetangga sampai orang lain pun akan meluangkan waktunya secara khusus hari itu demi membantu sesuai kemampuannya masing-masing.

Ada kelompok yang bertugas mengambil kayu bakar dan memasak makanan guna makan bersama hari itu. Proses memasak makanan ini dilakukan ditanah menggunakan tenda. Kaum ibu menyiapkan berbagai keperluan dapur. Laki-laki, perempuan, sampai anak-anak bekerja secara gotong royong.   Sedikit banyak bantuan-bantuan itu dapat meringankan beban bagi keluarga yang sedang dilanda musibah kematian.

Tradisi dalam kepengurusan jenazah pun dilakukan secara islam. Maka untuk mengurus jenazah, dari mulai memandikan, mengkafani, menyolatkan sampai menguburkan ada orang-orang yang sudah dipercaya secara khusus. Kami menyebutnya “Prewa”. Prewa adalah orang-orang yang mengerti dalam urusan agama dan cara mengurus mayat. Mereka rata-rata orang tua yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Tugas prewa biasanya dibantu oleh pihak keluarga terdekat orang yang meninggal, misalnya anak atau istrinya. Apabila orang yang meninggal adalah laki-laki, maka yang memandikannya adalah prewa laki-laki. Untuk jenazah perempuan akan ditangani oleh prewa perempuan. Boleh juga yang memandikan jenazah pihak keluarga saja. Jika kurang mengerti, maka para prewa akan memberikan petunjuk. Setelah dimandikan, jenazah kemudian dibungkus kain putih (kafan) untuk selanjutnya disholatkan oleh prewa bersama warga yang lain di rumah itu juga. Bisa juga jenazah disholatkan pada masjid atau langgar jika jaraknya dekat. Selesai disholatkan, jenazah siap untuk dibawa kepemakaman.

Tak jarang sebelum benar-benar dibawa ke kubur jenazah harus menunggu beberapa waktu, tergantung keputusan pihak keluarganya. Kadang harus menunggu kedatangan sanak family pihak keluarga yang berada ditempat lain atau kebetulan berumah ditempat jauh.  Proses penguburan juga bisa tertunda jika sedang hujan deras atau lubang kubur belum selesai digali. Apabila semuanya beres, jenazah dimasukkan kedalam “engongan” (keranda) lalu di tandu menuju tanah pemakaman.

Di desa kami terdapat tiga lokasi khusus pemakaman. Yaitu pada bagian hulu, tengah, dan hilir kampung. Ketika orang meninggal, ada warga yang bekerja di pemakaman membuat lubang kubur. Mereka adalah para tetangga dan orang lain yang juga tidak ditunjuk secara khusus. Siapa saja boleh ikut membantu menggali tanah. Biasanya orang-orang yang menggali kubur adalah orang tua dan kaum remaja. Letak lubang ini digali berdasarkan keinginan pihak keluarga almarhum. Tanah digali memakai cangkul dan sekop dengan ukuran kurang lebih 2 x 1 meter. Kedalamannya sekitar 2 meter atau setinggi orang dewasa untuk menghindari di bongkar oleh binatang hutan, misalnya babi. Hal ini dilakukan karena tanah pemakaman di desa kami (hulu dan hilir) posisinya berada di hutan.

Khusus untuk lubang kubur anak-anak dibuat lebih kecil dan dangkal tergantung ukuran tubuhnya.  Untuk orang dewasa dan orang tua ada yang dibuat berdasarkan ukuran panjang tubuh almarhum yang sudah meninggal namun tetap dengan kedalaman kurang lebih 2 meter.

Setelah proses penggalian selesai, selanjutnya akan diberitahukan pada orang-orang yang sedang berada dirumah almarhum jika lubang kubur telah siap.

Atas izin dari pihak keluarga, jenazah dalam keranda lalu di bawa menuju kuburan dengan berjalan kaki. Keranda di angkat oleh empat sampai enam orang dewasa. Ada hal unik yang dilakukan saat keranda ditandu keluar rumah. Pihak keluarga biasanya akan membagikan kue “serabai” dan “tumpi”pada anak-anak yang ada ditempat itu. Orang dewasa pun boleh juga mengambilnya. Penulis kurang tahu tujuannya untuk apa. Selanjutnya berduyun-duyunlah orang-orang mengantarkan jenazah si fulan menuju tempat  peristirahatan terakhirnya.

Setibanya diatas lubang kubur, jenazah lalu dimasukkan kedalam tanah oleh keluarga terdekatnya sendiri. Biasanya oleh anak, saudara, kerabat, atau orang lain yang dipercaya. Seorang prewa lalu mengumandangkan adzan diatas kubur. Posisi jenzah dibaringkan miring menghadap kearah kiblat. Kain kafan dibuka ikatannya. Ditutup dengan papan yang disebut “dinding ari”. Perlahan lubang kubur diisi dengan tanah sampai dinding ari tertutup. Setelah itu orang-orang yang berada didalam kubur keluar, lubang lalu ditumpuk dengan tanah lagi hingga benar-benar penuh dan padat.

Selanjutnya diatas gundukan tanah ditancapkan sebuah nisan bertuliskan nama almarhum dan tanggal meninggalnya. Nisan dibuat dari papan atau balok kayu ulin. Untuk nisan laki-laki bentuknya bulat panjang sedangkan perempuan bentuknya pipih. Setelah itu gundukan tanah disiram dengan air yang disebut orang “ngucur”. Air untuk ngucur merupakan campuran dari air biasa, bunga dan daun pandan.

Selesai ngucur, mulailah proses mendoakan almarhum yang dipimpin oleh tokoh agama(prewa) tadi. Diawali dari berzikir bersama, pembacaan nasehat kematian dan pembacaan doa yang diaminkan oleh semua orang yang hadir. Selesailah proses pemakaman dan orang-orang akan pulang. Perlu diketahui bahwa semua prosesi kematian diatas dilakukan secara gotong-royong. Tidak ada yang diberi upah atas bantuannya.

Apakah ada orang melakukan penguburan pada malam hari? Jawabnya ada, walapun jarang sekali. Kami sudah berkali-kali menghadirinya. Proses penguburan malam hari dilakukan pada jenazah yang butuh perlakuan khusus dan darurat. Misalnya jika ada orang meninggal karena terjatuh keair atau kecelakaan. Pada saat ditemukan dalam keadaan rusak membutuhkan penguburan secepatnya supaya tidak busuk diudara terbuka.

Sebelum benar-benar menuju rumah masing-masing, orang-orang yang telah hadir dan membantu prose pemakaman selalu diundang pihak keluarga kerumah duka untuk mencicipi makan. Semua itu dilakukan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada semua pihak. Sejak siang itu pula dimulailah acara “mecakan” selama tiga malam berturut-turut, lalu dilakukan lagi pada malam ke 7, 14,25,40,70 dan 100. Masih ada lagi acara mecakan yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal kematian almarhum. Mecakan setiap tahun ini disebut “ mhaul” (haulan). Haulan boleh dilaksanakan boleh juga tidak tergantung kemauan dan ekonomi pihak keluarga. Seringkali acara haulan dilakukan pada malam hari raya idul fitri atau hari raya idul adha. Makanan yang dihidangkan berupa soto, sop, nasi ayam atau kue.


Acara mecakan sudah pernah kami jelaskan pada tulisan sebelumnya. Secara umum, mecakan berarti mengundang kerabat, tetangga, atau siapa saja untuk berdoa dirumah almarhum setelah shalat Isya. Mecakan bisa juga diadakan siang hari. Setelah selesai pembacaan doa, orang-orang yang hadir diberi makan oleh tuan rumah.

Semua biaya pengadaan makanan selama mecakan ditanggung oleh tuan rumah ditambah sumbangan dari warga. Kalau zaman sekarang, pihak keluarga yang meninggal mendapat bantuan dana dari sumbangan wajib warga melalui panitia khusus yang sudah cukup lama dibentuk. Sumbangan ini disebut “rukun kematian”. Petugasnya adalah ketua RT masing-masing.

Ketika ada orang meninggal, semua ketua RT akan memungut uang rukun kematian dari warganya. Jika yang meninggal orang dewasa, per KK dipungut biaya tiga ribu rupiah. Untuk anak-anak, dua ribu rupiah. Setelah semua terkumpul, lalu diserahkan pada keluarga si fulan. Selain menyumbang melalui panitia, kita juga boleh menyumbang lagi langsung kerumah almarhum. Bisa berupa beras, minyak, gula dll. Bantuan-bantuan ini diharapkan dapat sedikit meringankan beban pihak keluarga yang sedang mengalami musibah kematian.

Ada hal unik dan terkesan lucu dalam acara mecakan ini. Berlaku bagi anak-anak masih kecil pada masa kami dulu. Sebuah momen yang ditunggu-tunggu. Bagi anak seusia kami yang belum terlalu mengerti berduka, mecakan berarti makan-makan enak secara gratis. Makanan yang dihidangkan untuk undangan berupa soto, sop, ayam dan nasi atau bisa juga kue. Jenis makanan itu juga tergantung keinginan pihak keluarga yang meninggal. Untuk jenis kue biasanya berupa kue “bingkak, bubur susu, dan mesung”.

Waktu masih bocah dulu aku sendiri kurang menyukai kue. Teman-teman yang lain juga sama. Bagi kami, hidangan berupa kue tidak mengeyangkan dan tidak istimewa. Jadi, bila ada orang yang mengadakan acara mecakan, kami akan memantau secara langsung atau mencari tahu makanan apa yang akan dimasak nantinya. Bila yang dimasak sejenis nasi sop, soto, atau nasi ayam kami pasti datang dengan penuh semangat. Akan tetapi, apabila pihak tuan rumah hanya memasak kue, kami jarang datang bahkan tidak hadir sama sekali.

Yah, begitulah masa kecil kami. Sop, soto, nasi ayam merupakan makanan istimewa dan langka. Sangat jarang sekali orang tua memasaknya dirumah karena rata-rata warga desa memang hidup dalam kemiskinan. Beda jauh dengan zaman sekarang. Semua serba ada. Bahkan kalau mau makan enak kita bisa membelinya diwarung saat ini juga.

Mengingat-ingat itu semua jadi ketawa-ketawa sendiri. Boleh dibilang “gak ada akhlak”.


Demikanlah proses pemakaman di desa kami. Kalau ada kekurangan dalam tulisan ini silakan di koreksi. Untuk cerita “tinggal di dusun part IV” saat ini masih berbentuk konsep. Mudah-mudah bisa diposting besok malam.

Terima kasih telah membaca dalam hati.


Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar