Prosesi menguburkan
jenazah di desa
Agama
islam masuk ke desa Tuana Tuha diperkirakan sekitar abad ke – 18. Sampai saat
ini 99,999% penduduknya adalah muslim. Kalau pun ada nonmuslim, mereka adalah
pendatang yang berasal dari tempat lain untuk bekerja atau menetap di sini. Jauh
sebelum masuknya ajaran islam, nenek moyang kami dulu menganut agama
kepercayaan dan Hindu. Ada juga yang
tidak beragama sama sekali. Beberapa ajaran agama Hindu masih menjadi tradisi
bagi warga turun-temurun hingga sekarang. Kami belum menemukan sumber bagaimana
proses pemakaman orang meninggal pada zaman dahulu. Yang akan kita bahas
nantinya adalah proses pemakaman sejak masuknya ajaran islam hingga saat ini.
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk mengarahkan pada sentimen agama. Sama sekali tidak. Di
negara kita, setiap orang bebas memilih agama berdasarkan keyakinannya.
“kau
yang bukan saudaraku dalam iman adalah saudaraku dalam kemanusiaan”, kata Imam
Ali.
Begitu juga
dengan uraian berikut, bebas dibaca oleh siapa saja. Hitung-hitung buat nambah
wawasan. Supaya teman-teman tahu bagaimana prosesi pemakaman dikampung kami.
Jika ada
orang meninggal di kampung kami ada tradisi yang masih berjalan dengan baik
hingga sekarang. Kalau zaman dulu, berita kematian akan menyebar dari mulut
kemulut hingga orang sekampung akan tahu. Bedanya dengan zaman sekarang,
biasanya berita kematian warga diumumkan lewat masjid menggunakan pengeras
suara (toa).
Apabila ada
orang meninggal, warga yang mengetahui berbondong-bondong datang melayat, ikut
berduka, menghibur, berdoa dan memberikan bantuan kepada keluarga si fulan. Dari
bantuan bahan makanan, uang dan tenaga. Tidak ada panitia khusus, warga membantu
sukarela. Kelompok kerja terbentuk dengan sendirinya. Dari kerabat, tetangga
sampai orang lain pun akan meluangkan waktunya secara khusus hari itu demi
membantu sesuai kemampuannya masing-masing.
Ada kelompok
yang bertugas mengambil kayu bakar dan memasak makanan guna makan bersama hari
itu. Proses memasak makanan ini dilakukan ditanah menggunakan tenda. Kaum ibu
menyiapkan berbagai keperluan dapur. Laki-laki, perempuan, sampai anak-anak bekerja
secara gotong royong. Sedikit banyak bantuan-bantuan itu dapat
meringankan beban bagi keluarga yang sedang dilanda musibah kematian.
Tradisi dalam
kepengurusan jenazah pun dilakukan secara islam. Maka untuk mengurus jenazah,
dari mulai memandikan, mengkafani, menyolatkan sampai menguburkan ada
orang-orang yang sudah dipercaya secara khusus. Kami menyebutnya “Prewa”. Prewa
adalah orang-orang yang mengerti dalam urusan agama dan cara mengurus mayat. Mereka
rata-rata orang tua yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Tugas prewa
biasanya dibantu oleh pihak keluarga terdekat orang yang meninggal, misalnya
anak atau istrinya. Apabila orang yang meninggal adalah laki-laki, maka yang
memandikannya adalah prewa laki-laki. Untuk jenazah perempuan akan ditangani
oleh prewa perempuan. Boleh juga yang memandikan jenazah pihak keluarga saja.
Jika kurang mengerti, maka para prewa akan memberikan petunjuk. Setelah
dimandikan, jenazah kemudian dibungkus kain putih (kafan) untuk selanjutnya
disholatkan oleh prewa bersama warga yang lain di rumah itu juga. Bisa juga
jenazah disholatkan pada masjid atau langgar jika jaraknya dekat. Selesai
disholatkan, jenazah siap untuk dibawa kepemakaman.
Tak jarang
sebelum benar-benar dibawa ke kubur jenazah harus menunggu beberapa waktu,
tergantung keputusan pihak keluarganya. Kadang harus menunggu kedatangan sanak
family pihak keluarga yang berada ditempat lain atau kebetulan berumah ditempat
jauh. Proses penguburan juga bisa
tertunda jika sedang hujan deras atau lubang kubur belum selesai digali. Apabila
semuanya beres, jenazah dimasukkan kedalam “engongan” (keranda) lalu di tandu
menuju tanah pemakaman.
Di desa
kami terdapat tiga lokasi khusus pemakaman. Yaitu pada bagian hulu, tengah, dan
hilir kampung. Ketika orang meninggal, ada warga yang bekerja di pemakaman
membuat lubang kubur. Mereka adalah para tetangga dan orang lain yang juga
tidak ditunjuk secara khusus. Siapa saja boleh ikut membantu menggali tanah. Biasanya
orang-orang yang menggali kubur adalah orang tua dan kaum remaja. Letak lubang ini
digali berdasarkan keinginan pihak keluarga almarhum. Tanah digali memakai
cangkul dan sekop dengan ukuran kurang lebih 2 x 1 meter. Kedalamannya sekitar
2 meter atau setinggi orang dewasa untuk menghindari di bongkar oleh binatang
hutan, misalnya babi. Hal ini dilakukan karena tanah pemakaman di desa kami
(hulu dan hilir) posisinya berada di hutan.
Khusus untuk
lubang kubur anak-anak dibuat lebih kecil dan dangkal tergantung ukuran
tubuhnya. Untuk orang dewasa dan orang
tua ada yang dibuat berdasarkan ukuran panjang tubuh almarhum yang sudah
meninggal namun tetap dengan kedalaman kurang lebih 2 meter.
Setelah proses
penggalian selesai, selanjutnya akan diberitahukan pada orang-orang yang sedang
berada dirumah almarhum jika lubang kubur telah siap.
Atas izin
dari pihak keluarga, jenazah dalam keranda lalu di bawa menuju kuburan dengan berjalan
kaki. Keranda di angkat oleh empat sampai enam orang dewasa. Ada hal unik yang
dilakukan saat keranda ditandu keluar rumah. Pihak keluarga biasanya akan
membagikan kue “serabai” dan “tumpi”pada anak-anak yang ada ditempat itu. Orang
dewasa pun boleh juga mengambilnya. Penulis kurang tahu tujuannya untuk apa. Selanjutnya
berduyun-duyunlah orang-orang mengantarkan jenazah si fulan menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Setibanya
diatas lubang kubur, jenazah lalu dimasukkan kedalam tanah oleh keluarga
terdekatnya sendiri. Biasanya oleh anak, saudara, kerabat, atau orang lain yang
dipercaya. Seorang prewa lalu mengumandangkan adzan diatas kubur. Posisi jenzah
dibaringkan miring menghadap kearah kiblat. Kain kafan dibuka ikatannya. Ditutup
dengan papan yang disebut “dinding ari”. Perlahan lubang kubur diisi dengan
tanah sampai dinding ari tertutup. Setelah itu orang-orang yang berada didalam
kubur keluar, lubang lalu ditumpuk dengan tanah lagi hingga benar-benar penuh
dan padat.
Selanjutnya
diatas gundukan tanah ditancapkan sebuah nisan bertuliskan nama almarhum dan
tanggal meninggalnya. Nisan dibuat dari papan atau balok kayu ulin. Untuk nisan
laki-laki bentuknya bulat panjang sedangkan perempuan bentuknya pipih. Setelah itu
gundukan tanah disiram dengan air yang disebut orang “ngucur”. Air untuk ngucur
merupakan campuran dari air biasa, bunga dan daun pandan.
Selesai ngucur,
mulailah proses mendoakan almarhum yang dipimpin oleh tokoh agama(prewa) tadi. Diawali
dari berzikir bersama, pembacaan nasehat kematian dan pembacaan doa yang diaminkan
oleh semua orang yang hadir. Selesailah proses pemakaman dan orang-orang akan
pulang. Perlu diketahui bahwa semua prosesi kematian diatas dilakukan secara
gotong-royong. Tidak ada yang diberi upah atas bantuannya.
Apakah ada
orang melakukan penguburan pada malam hari? Jawabnya ada, walapun jarang
sekali. Kami sudah berkali-kali menghadirinya. Proses penguburan malam hari
dilakukan pada jenazah yang butuh perlakuan khusus dan darurat. Misalnya jika
ada orang meninggal karena terjatuh keair atau kecelakaan. Pada saat ditemukan
dalam keadaan rusak membutuhkan penguburan secepatnya supaya tidak busuk
diudara terbuka.
Sebelum benar-benar
menuju rumah masing-masing, orang-orang yang telah hadir dan membantu prose pemakaman
selalu diundang pihak keluarga kerumah duka untuk mencicipi makan. Semua itu dilakukan
sebagai bentuk rasa terima kasih kepada semua pihak. Sejak siang itu pula
dimulailah acara “mecakan” selama tiga malam berturut-turut, lalu dilakukan
lagi pada malam ke 7, 14,25,40,70 dan 100. Masih ada lagi acara mecakan yang
dilaksanakan setiap tahun pada tanggal kematian almarhum. Mecakan setiap tahun
ini disebut “ mhaul” (haulan). Haulan boleh dilaksanakan boleh juga tidak
tergantung kemauan dan ekonomi pihak keluarga. Seringkali acara haulan
dilakukan pada malam hari raya idul fitri atau hari raya idul adha. Makanan yang
dihidangkan berupa soto, sop, nasi ayam atau kue.
Acara mecakan
sudah pernah kami jelaskan pada tulisan sebelumnya. Secara umum, mecakan
berarti mengundang kerabat, tetangga, atau siapa saja untuk berdoa dirumah
almarhum setelah shalat Isya. Mecakan bisa juga diadakan siang hari. Setelah selesai
pembacaan doa, orang-orang yang hadir diberi makan oleh tuan rumah.
Semua biaya
pengadaan makanan selama mecakan ditanggung oleh tuan rumah ditambah sumbangan
dari warga. Kalau zaman sekarang, pihak keluarga yang meninggal mendapat
bantuan dana dari sumbangan wajib warga melalui panitia khusus yang sudah cukup
lama dibentuk. Sumbangan ini disebut “rukun kematian”. Petugasnya adalah ketua
RT masing-masing.
Ketika ada
orang meninggal, semua ketua RT akan memungut uang rukun kematian dari
warganya. Jika yang meninggal orang dewasa, per KK dipungut biaya tiga ribu
rupiah. Untuk anak-anak, dua ribu rupiah. Setelah semua terkumpul, lalu
diserahkan pada keluarga si fulan. Selain menyumbang melalui panitia, kita juga
boleh menyumbang lagi langsung kerumah almarhum. Bisa berupa beras, minyak,
gula dll. Bantuan-bantuan ini diharapkan dapat sedikit meringankan beban pihak
keluarga yang sedang mengalami musibah kematian.
Ada hal
unik dan terkesan lucu dalam acara mecakan ini. Berlaku bagi anak-anak masih
kecil pada masa kami dulu. Sebuah momen yang ditunggu-tunggu. Bagi anak seusia
kami yang belum terlalu mengerti berduka, mecakan berarti makan-makan enak
secara gratis. Makanan yang dihidangkan untuk undangan berupa soto, sop, ayam
dan nasi atau bisa juga kue. Jenis makanan itu juga tergantung keinginan pihak
keluarga yang meninggal. Untuk jenis kue biasanya berupa kue “bingkak, bubur
susu, dan mesung”.
Waktu masih
bocah dulu aku sendiri kurang menyukai kue. Teman-teman yang lain juga sama. Bagi
kami, hidangan berupa kue tidak mengeyangkan dan tidak istimewa. Jadi, bila ada
orang yang mengadakan acara mecakan, kami akan memantau secara langsung atau
mencari tahu makanan apa yang akan dimasak nantinya. Bila yang dimasak sejenis
nasi sop, soto, atau nasi ayam kami pasti datang dengan penuh semangat. Akan tetapi,
apabila pihak tuan rumah hanya memasak kue, kami jarang datang bahkan tidak
hadir sama sekali.
Yah,
begitulah masa kecil kami. Sop, soto, nasi ayam merupakan makanan istimewa dan
langka. Sangat jarang sekali orang tua memasaknya dirumah karena rata-rata
warga desa memang hidup dalam kemiskinan. Beda jauh dengan zaman sekarang. Semua
serba ada. Bahkan kalau mau makan enak kita bisa membelinya diwarung saat ini
juga.
Mengingat-ingat
itu semua jadi ketawa-ketawa sendiri. Boleh dibilang “gak ada akhlak”.
Demikanlah
proses pemakaman di desa kami. Kalau ada kekurangan dalam tulisan ini silakan
di koreksi. Untuk cerita “tinggal di dusun part IV” saat ini masih berbentuk
konsep. Mudah-mudah bisa diposting besok malam.
Terima
kasih telah membaca dalam hati.
Salam,
TF 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar