Minggu, 05 Juli 2020

Tinggal di dusun II


Tinggal di dusun II


Jika kita menyusuri Sungai Belayan ke arah hilir maka akan berujung di Muara Belayan Desa Liang, kecamatan Kota Bangun. Di sanalah perbatasan antara sungai belayan dan sungai mahakam. Dulu, sungai belayan merupakan satu-satunya jalur yang bisa di lewati oleh warga Tuana Tuha apabila ingin pergi ke Kota Bangun atau Samarinda. Sarana transfortasinya menggunakan Perahu Ketinting dan Kapal Motor. Saat itu belum ada jalan darat sebagai penghubung antar kecamatan.

Jaraknya antara Tuana Tuha-Kota Bangun melalui sungai sekitar 100 km. Sebelum sampai ke Kota Bangun kita akan melewati Desa Pendamaran, Desa Teluk Muda, Desa Sebelimbingan, Desa Muhuran dan Desa Liang.

Bagi orang yang melewati sungai belayan, baik dengan perahu atau kapal akan dapat menyaksikan gubuk-gubuk warga yang berdiri di pinggir sungai jauh dari perkampungan. Jarak antar gubuk tersebut biasanya saling berjauhan. Sampai saat ini pun masih ada saja warga tinggal di dusun sepanjang sungai belayan. Akan tetapi,  jumlahnya tak sebanyak dulu. Lebih sering kita melihat gubuk yang sudah rapuh tak terawat karena di tinggal penghuninya.

Untuk kelanjutan cerita “suami – istri yang tinggal di dusun” kemarin malam, penulis di sini akan memposisikan diri sebagai orang keempat (diriku sendiri). Tentu tetap berdasarkan sumbernya, ibuku. Untuk apa?..... ya, biar beda aja dari penulis yang lain.  Kiranya tak masalah siapapun yang bercerita selama pembaca bisa paham jalan ceritanya.

Perlu di ketahui,  suami istri yang dimaksud pada tulisan sebelumnya akan kami perjelas. Sang suami bernama Am**, dan Istrinya bernama Jum**. Sebagai orang yang lebih muda, alangkah baiknya kita memanggil dengan sebutan “anek/nek” (nenek). Sudah menjadi kebiasaan bagi warga desa untuk orang yang sudah tua (sepuh) laki-laki atau perempuan di panggil sebagai “anek/nek” (nenek) diawal namanya sebagai bentuk penghormatan walaupun tak ada hubungan kerabat.

Oke gaess, cukuplah basa-basi kali ini. Saatnya kita memasuki lanjutan ceritanya.
Siapkan dirimu, fokuslah dengan menajamkan pikiran, penglihatan dan pendengaran. Bukankah dapat mendengar atau melihat makhluk ghaib merupakan impian semua orang?

‘**********

Suara orang-orang yang berzikir “laa illa haa illallah” itu terdengar berputar beberapa kali mengelilingi gubuk. Anehnya, suara ini diselingi dengan tawa cekikikan sambil sesekali menepuk dinding gubuk. Ada kalanya terdengar suara minta dibukakan pintu. Bukan main takutnya nek Jum. Tubuhnya sampai gemetar. Saking takutnya, ia malah menjadi berani dan nekat. Parang panjang yang sudah ada ditangan ia siapkan untuk menebas makhluk apa saja bila sampai memasuki gubuknya.

Dengan rasa penasaran, Nek Jum lalu mencoba mengintip dari celah dinding gubuk. Sungguh aneh. Tidak ada penampakan manusia bergerak selain hanya beberapa kelebat kain putih terbang saja. Hampir sejam lamanya peristiwa itu berlangsung. Hingga akhirnya suara orang-orang berzikir itu berhenti persis di depan tangga gubuk. Suasana mendadak hening sekali tanpa ada suara serangga malam apa pun.

Di tengah keheningan yang mencekam, terdengar langkah seseorang menaiki tangga gubuk lalu mengetuk pintu dengan pelan sekali. Nek Jum berusaha menenangkan diri. Ia mencoba menganggap bahwa kejadian saat itu hanya ilusi dipikrannya yang sedang kacau saja. Akan tetapi semakin diperhatikan, suara ketukan itu benar-benar nyata adanya. Bahkan semakin keras terdengar. Makhluk apakah yang sedang mengetuk pintu? Yang pasti bukan manusia.

Nek Jum kebingungan antara mau membuka pintu atau dibiarkan saja. Jika dibiarkan, gangguan itu takkan berakhir. Cepat atau lambat nantinya mereka yang berada diluar akan masuk juga. Maka pilihan terakhir nek Jum adalah nekat menghadapinya. Apa pun yang terjadi ia sudah siap melawan semampunya.

Dengan parang panjang  tergenggam ditangan, nek Jum bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. Belum sempat ia melangkah, tiba-tiba satu-satunya pelita yang sedang menyala disamping jasad suaminya terpadam seperti ditiup orang. Ditengah kegelapan Nek Jum buru-buru mengambil korek disamping pelita untuk menyalakannya kembali.

Sebelum nek Jum benar-benar menyalakan pelita alangkah kagetnya ia karena tiba-tiba juga terdengar sayup suara orang terbatuk-batuk dihadapannya. Bersamaan dengan suara batuk itu pula suara ketukan dipintu menghilang seketika. Kini ketakutan nek Jum sudah mencapai puncaknya. Ia khawatir jangan-jangan jasad suaminya sekarang di rasuki hantu. Dalam keadaan gelap nek Jum mencoba berbicara dengan suara batuk dihadapannya.

“Kak, kau ni hidup lagi benehan  atau hanek nakuti aku maha. Ne mungkin kiranya urang mati hidup pulang. Mun kau ni hantu, nade jelan lain, ku timpas kau kan parang ni” uje nek Jum.
(kak, kau hidup lagi atau cuma menakuti aku saja. Tak mungkin orang mati hidup kembali. Kalau kau ini hantu, tak ada jalan lain, aku akan menebasmu dengan parang ini) kata nek Jum.

Suasana sepi beberapa saat. Di tengah kegelapan, nek Jum masih menunggu jawaban sebelum benar-benar mengayunkan parangnya. Lalu kemudian, pelan sekali terdengar suara balasan orang berbicara.

“Dek, aku ni benehan lakimu. Lain hantu. Aku belik pulang karna sihan, kau sorangan. Kau jengan takut. Hidupi hak plita ye pajeh ngia. Jengan hak takut. “
(dek, aku benar-benar suamimu. Bukan hantu. Aku hidup lagi karena kasihan, kau kan sendirian. Jangan takut. Nyalakan pelita. Janganlah takut).

Mendengar suara jawaban itu Nek jum sedikit lega. Parang ditangan kini sudah ditaruhnya ketempat semula. Dengan perasaan masih ketakutan, nek Jum segera menyalakan korek untuk menghidupkan pelita di hadapannya. Keadaan didalam gubuk menjadi terang temaram. Ia kemudian duduk kembali disamping jasad suaminya yang masih tertutup kain batik. Saat itu terdengar olehnya suara napas orang kelelahan. Mungkinkah suaminya hidup kembali?

Perlahan dengan perasaan ragu-ragu Nek Jum lalu membuka “ruhup” (kain penutup mayat) suaminya itu. Benar saja, mata suaminya sekarang sedang terbuka. Suara napasnya pun normal seperti biasanya. Seperti orang baru bangun tidur. Hanya saja tampak lemas sekali. Tak ada kesan kalau nek Am** (suaminya) sebenarnya bangkit dari kematiannya. Suatu kejadian yang tidak masuk akal, sulit dipercaya dan di luar nalar. Akan tetapi, demikianlah keyataannya. Percaya atau tidak sang suami hidup kembali atas izin tuhan.

Untuk lebih meyakinkan lagi, nek Jum meraba tangan suaminya. Tangan itu ternyata hangat seperti suhu tubuh orang hidup. Tahulah ia sekarang bahwa sang suami telah hidup kembali sebagai manusia. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Rasa senang dan haru bercampur jadi satu. Nek Jum hanya bisa sesenggukan dengan kenyataan yang sedang dialaminya. Diangkatnya kepala suaminya itu lalu ditaruh pada pangkuannya. Diusapnya pelan-pelan rambut suaminya yang sudah memutih sambil menangis. Sang suami pun ikut terharu dalam suasana itu. Ia pun ikut menangis.

Cukup lama suami istri itu hanyut dalam susana yang haru. Jam diperkirakan sekitar pukul tiga subuh. Cahaya bulan sabit sedang tepat berada diatas kepala. Suara-suara aneh dan burung hantu kembali terdengar agak jauh dari gubuk. Nek Jum seolah pura-pura tidak memperdulikan lagi gangguan-gangguan itu. Ia sudah cukup lega dengan adanya sang suami yang menemani.

Beberapa saat kemudian, suaminya minta di dudukkan dan bersandar pada dinding.  Dengan bantuan Nek Jum tubuh suaminya yang masih lemas itu dapat duduk dengan tegak. Ia merasa sangat kehausan. Nek Jum buru-buru mengambilkan segelas air. Sayangnya air digelas hanya mampu dihabiskan setengahnya saja. Sempat juga Nek Jum menawarkan untuk makan, namun suaminya hanya menggeleng. Ia malah meminta Nek Jum segera menghidupkan api kembali.

“Dek, hidupi ge api di hige pondok etam. Ne kau lagi genggui suara-suara aneh. Makanya aku belik. Sihan kan kau. Aku tadi tahu kau benyak takuti suara macam-macam. Genguan macam mia bejeuh bile nelek cahaya api.” Uje lakinya.
(dek, nyalakan kembali api disamping gubuk. supaya tidak ada lagi suara-suara aneh. makanya aku kembali. kasihan dengan dirimu. aku tahu kau tadi diganggu berbagai macam suara. gangguan seperti itu akan menjauh bila ada cahaya api). Kata suaminya.

“ Kak, bukannya aku ne mau. Tapi aku copa takut keluar pondok.” Uje nek Jum.
(kak, bukannya tak mau. tapi aku terlalu takut keluar dari gubuk ini). Kata nek Jum.

“Mun mia, kala hak ku nengani kau. Mun jelan kan turun maha aku ne depat. Kala ku ngawasi kau tumat luaran. Bentu aku bekesor kluar. Ntik kau takut. “Uje lakinya.
(kalau begitu , nanti aku temani. untuk berjalan dan turun aku tak bisa. nanti aku akan mengawasimu dari luaran(teras gubuk). bantu aku “ngesot” keluar. Jangan takut). Balas suaminya.

Nek Jum hanya mengangguk kearah suaminya. Pintu lalu dibuka. Obor besar ia nyalakan sebagai penerangan. Dengan susah payah, nek Jum membantu suaminya untuk berjalan “ngesot” keluar dan duduk diteras gubuk. Di temani suaminya nek Jum sama sekali tidak lagi merasa takut. Secepatnya ia menghidupkan api di tanah. Api berkobar membakar timbunan kayu kering. Suasana disekitar gubuk berubah menjadi terang benderang. Asap api mengepul keudara membuat nyamuk-nyamuk terusir ketempat lain.

Bulan sabit semakin condong kearah barat. Perlahan suara-suara aneh makin menjauh sampai akhirnya benar-benar hilang ditelan malam . Suasana pun kembali seperti malam-malam sebelumnya. Nek Jum cukup merasa lega dengan keadaan itu.

Dari arah seberang sungai, terdengar  suara burung pungguk bersahut-sahutan mengusik keheningan. Bukan hal yang menakutkan bagi nek Jum. Sejak dulu burung pungguk memang menghuni tempat tersebut. Kata orang zaman dulu, saat bulan bersinar burung pungguk akan mengeluarkan suara nyanyiannya sebagai bentuk kerinduannya pada bulan (kekasihnya).

Next.


Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar