Tinggal
di dusun II
Jika kita
menyusuri Sungai Belayan ke arah hilir maka akan berujung di Muara Belayan Desa
Liang, kecamatan Kota Bangun. Di sanalah perbatasan antara sungai belayan dan
sungai mahakam. Dulu, sungai belayan merupakan satu-satunya jalur yang bisa di
lewati oleh warga Tuana Tuha apabila ingin pergi ke Kota Bangun atau Samarinda.
Sarana transfortasinya menggunakan Perahu Ketinting dan Kapal Motor. Saat itu
belum ada jalan darat sebagai penghubung antar kecamatan.
Jaraknya
antara Tuana Tuha-Kota Bangun melalui sungai sekitar 100 km. Sebelum sampai ke
Kota Bangun kita akan melewati Desa Pendamaran, Desa Teluk Muda, Desa Sebelimbingan,
Desa Muhuran dan Desa Liang.
Bagi orang
yang melewati sungai belayan, baik dengan perahu atau kapal akan dapat
menyaksikan gubuk-gubuk warga yang berdiri di pinggir sungai jauh dari
perkampungan. Jarak antar gubuk tersebut biasanya saling berjauhan. Sampai saat
ini pun masih ada saja warga tinggal di dusun sepanjang sungai belayan. Akan
tetapi, jumlahnya tak sebanyak dulu. Lebih
sering kita melihat gubuk yang sudah rapuh tak terawat karena di tinggal
penghuninya.
Untuk
kelanjutan cerita “suami – istri yang tinggal di dusun” kemarin malam, penulis
di sini akan memposisikan diri sebagai orang keempat (diriku sendiri). Tentu tetap
berdasarkan sumbernya, ibuku. Untuk apa?..... ya, biar beda aja dari penulis
yang lain. Kiranya tak masalah siapapun
yang bercerita selama pembaca bisa paham jalan ceritanya.
Perlu di
ketahui, suami istri yang dimaksud pada
tulisan sebelumnya akan kami perjelas. Sang suami bernama Am**, dan Istrinya
bernama Jum**. Sebagai orang yang lebih muda, alangkah baiknya kita memanggil
dengan sebutan “anek/nek” (nenek). Sudah menjadi kebiasaan bagi warga desa
untuk orang yang sudah tua (sepuh) laki-laki atau perempuan di panggil sebagai “anek/nek”
(nenek) diawal namanya sebagai bentuk penghormatan walaupun tak ada hubungan
kerabat.
Oke
gaess, cukuplah basa-basi kali ini. Saatnya kita memasuki lanjutan ceritanya.
Siapkan dirimu,
fokuslah dengan menajamkan pikiran, penglihatan dan pendengaran. Bukankah dapat
mendengar atau melihat makhluk ghaib merupakan impian semua orang?
‘**********
Suara
orang-orang yang berzikir “laa illa haa illallah” itu terdengar berputar
beberapa kali mengelilingi gubuk. Anehnya, suara ini diselingi dengan tawa
cekikikan sambil sesekali menepuk dinding gubuk. Ada kalanya terdengar suara minta
dibukakan pintu. Bukan main takutnya nek Jum. Tubuhnya sampai gemetar. Saking takutnya,
ia malah menjadi berani dan nekat. Parang panjang yang sudah ada ditangan ia
siapkan untuk menebas makhluk apa saja bila sampai memasuki gubuknya.
Dengan
rasa penasaran, Nek Jum lalu mencoba mengintip dari celah dinding gubuk. Sungguh
aneh. Tidak ada penampakan manusia bergerak selain hanya beberapa kelebat kain
putih terbang saja. Hampir sejam lamanya peristiwa itu berlangsung. Hingga akhirnya
suara orang-orang berzikir itu berhenti persis di depan tangga gubuk. Suasana
mendadak hening sekali tanpa ada suara serangga malam apa pun.
Di tengah
keheningan yang mencekam, terdengar langkah seseorang menaiki tangga gubuk lalu
mengetuk pintu dengan pelan sekali. Nek Jum berusaha menenangkan diri. Ia mencoba
menganggap bahwa kejadian saat itu hanya ilusi dipikrannya yang sedang kacau saja.
Akan tetapi semakin diperhatikan, suara ketukan itu benar-benar nyata adanya. Bahkan
semakin keras terdengar. Makhluk apakah yang sedang mengetuk pintu? Yang pasti
bukan manusia.
Nek Jum
kebingungan antara mau membuka pintu atau dibiarkan saja. Jika dibiarkan,
gangguan itu takkan berakhir. Cepat atau lambat nantinya mereka yang berada
diluar akan masuk juga. Maka pilihan terakhir nek Jum adalah nekat
menghadapinya. Apa pun yang terjadi ia sudah siap melawan semampunya.
Dengan
parang panjang tergenggam ditangan, nek
Jum bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. Belum sempat ia melangkah,
tiba-tiba satu-satunya pelita yang sedang menyala disamping jasad suaminya terpadam
seperti ditiup orang. Ditengah kegelapan Nek Jum buru-buru mengambil korek disamping
pelita untuk menyalakannya kembali.
Sebelum nek
Jum benar-benar menyalakan pelita alangkah kagetnya ia karena tiba-tiba juga terdengar
sayup suara orang terbatuk-batuk dihadapannya. Bersamaan dengan suara batuk itu
pula suara ketukan dipintu menghilang seketika. Kini ketakutan nek Jum sudah
mencapai puncaknya. Ia khawatir jangan-jangan jasad suaminya sekarang di rasuki
hantu. Dalam keadaan gelap nek Jum mencoba berbicara dengan suara batuk
dihadapannya.
“Kak,
kau ni hidup lagi benehan atau hanek
nakuti aku maha. Ne mungkin kiranya urang mati hidup pulang. Mun kau ni hantu,
nade jelan lain, ku timpas kau kan parang ni” uje nek Jum.
(kak,
kau hidup lagi atau cuma menakuti aku saja. Tak mungkin orang mati hidup
kembali. Kalau kau ini hantu, tak ada jalan lain, aku akan menebasmu dengan
parang ini) kata nek Jum.
Suasana sepi
beberapa saat. Di tengah kegelapan, nek Jum masih menunggu jawaban sebelum benar-benar
mengayunkan parangnya. Lalu kemudian, pelan sekali terdengar suara balasan
orang berbicara.
“Dek,
aku ni benehan lakimu. Lain hantu. Aku belik pulang karna sihan, kau sorangan. Kau
jengan takut. Hidupi hak plita ye pajeh ngia. Jengan hak takut. “
(dek,
aku benar-benar suamimu. Bukan hantu. Aku hidup lagi karena kasihan, kau kan sendirian.
Jangan takut. Nyalakan pelita. Janganlah takut).
Mendengar
suara jawaban itu Nek jum sedikit lega. Parang ditangan kini sudah ditaruhnya
ketempat semula. Dengan perasaan masih ketakutan, nek Jum segera menyalakan
korek untuk menghidupkan pelita di hadapannya. Keadaan didalam gubuk menjadi
terang temaram. Ia kemudian duduk kembali disamping jasad suaminya yang masih
tertutup kain batik. Saat itu terdengar olehnya suara napas orang kelelahan.
Mungkinkah suaminya hidup kembali?
Perlahan
dengan perasaan ragu-ragu Nek Jum lalu membuka “ruhup” (kain penutup mayat)
suaminya itu. Benar saja, mata suaminya sekarang sedang terbuka. Suara napasnya
pun normal seperti biasanya. Seperti orang baru bangun tidur. Hanya saja tampak
lemas sekali. Tak ada kesan kalau nek Am** (suaminya) sebenarnya bangkit dari
kematiannya. Suatu kejadian yang tidak masuk akal, sulit dipercaya dan di luar
nalar. Akan tetapi, demikianlah keyataannya. Percaya atau tidak sang suami
hidup kembali atas izin tuhan.
Untuk lebih
meyakinkan lagi, nek Jum meraba tangan suaminya. Tangan itu ternyata hangat
seperti suhu tubuh orang hidup. Tahulah ia sekarang bahwa sang suami telah
hidup kembali sebagai manusia. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Rasa senang
dan haru bercampur jadi satu. Nek Jum hanya bisa sesenggukan dengan kenyataan
yang sedang dialaminya. Diangkatnya kepala suaminya itu lalu ditaruh pada
pangkuannya. Diusapnya pelan-pelan rambut suaminya yang sudah memutih sambil
menangis. Sang suami pun ikut terharu dalam suasana itu. Ia pun ikut menangis.
Cukup
lama suami istri itu hanyut dalam susana yang haru. Jam diperkirakan sekitar
pukul tiga subuh. Cahaya bulan sabit sedang tepat berada diatas kepala. Suara-suara
aneh dan burung hantu kembali terdengar agak jauh dari gubuk. Nek Jum seolah
pura-pura tidak memperdulikan lagi gangguan-gangguan itu. Ia sudah cukup lega
dengan adanya sang suami yang menemani.
Beberapa
saat kemudian, suaminya minta di dudukkan dan bersandar pada dinding. Dengan bantuan Nek Jum tubuh suaminya yang
masih lemas itu dapat duduk dengan tegak. Ia merasa sangat kehausan. Nek Jum
buru-buru mengambilkan segelas air. Sayangnya air digelas hanya mampu
dihabiskan setengahnya saja. Sempat juga Nek Jum menawarkan untuk makan, namun
suaminya hanya menggeleng. Ia malah meminta Nek Jum segera menghidupkan api
kembali.
“Dek,
hidupi ge api di hige pondok etam. Ne kau lagi genggui suara-suara aneh. Makanya
aku belik. Sihan kan kau. Aku tadi tahu kau benyak takuti suara macam-macam. Genguan
macam mia bejeuh bile nelek cahaya api.” Uje lakinya.
(dek,
nyalakan kembali api disamping gubuk. supaya tidak ada lagi suara-suara aneh. makanya
aku kembali. kasihan dengan dirimu. aku tahu kau tadi diganggu berbagai macam
suara. gangguan seperti itu akan menjauh bila ada cahaya api). Kata suaminya.
“ Kak,
bukannya aku ne mau. Tapi aku copa takut keluar pondok.” Uje nek Jum.
(kak,
bukannya tak mau. tapi aku terlalu takut keluar dari gubuk ini). Kata nek Jum.
“Mun
mia, kala hak ku nengani kau. Mun jelan kan turun maha aku ne depat. Kala ku
ngawasi kau tumat luaran. Bentu aku bekesor kluar. Ntik kau takut. “Uje
lakinya.
(kalau
begitu , nanti aku temani. untuk berjalan dan turun aku tak bisa. nanti aku
akan mengawasimu dari luaran(teras gubuk). bantu aku “ngesot” keluar. Jangan
takut). Balas suaminya.
Nek Jum
hanya mengangguk kearah suaminya. Pintu lalu dibuka. Obor besar ia nyalakan
sebagai penerangan. Dengan susah payah, nek Jum membantu suaminya untuk
berjalan “ngesot” keluar dan duduk diteras gubuk. Di temani suaminya nek Jum
sama sekali tidak lagi merasa takut. Secepatnya ia menghidupkan api di tanah. Api
berkobar membakar timbunan kayu kering. Suasana disekitar gubuk berubah menjadi
terang benderang. Asap api mengepul keudara membuat nyamuk-nyamuk terusir ketempat
lain.
Bulan sabit
semakin condong kearah barat. Perlahan suara-suara aneh makin menjauh sampai
akhirnya benar-benar hilang ditelan malam . Suasana pun kembali seperti
malam-malam sebelumnya. Nek Jum cukup merasa lega dengan keadaan itu.
Dari arah
seberang sungai, terdengar suara burung pungguk
bersahut-sahutan mengusik keheningan. Bukan hal yang menakutkan bagi nek Jum. Sejak
dulu burung pungguk memang menghuni tempat tersebut. Kata orang zaman dulu, saat
bulan bersinar burung pungguk akan mengeluarkan suara nyanyiannya sebagai
bentuk kerinduannya pada bulan (kekasihnya).
Next.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar