Senin, 13 Juli 2020

Tinggal di dusun VI



Tinggal di dusun VI

Pagi itu matahari bersinar dengan terangnya. Walaupun ada segumpalan awan hitam didaerah hulu, namun cuaca saat itu bisa dikatakan sangat cerah. Air sungai memang sedang naik sekitar satu depa sejak tadi malam. Arusnya lumayan deras dan menyulitkan jika dilewati dengan perahu dayung. Akan tetapi, semua itu merupakan hal yang biasa bagi anak-anak nek Jum. Mereka sudah sering mendayung perahu di arus yang deras. Tak ada pilihan lain jika menyusuri sungai karena mereka memang belum memiliki perahu bermesin

Setelah selesai membuat gula merah, siang itu nek Jum bersama kedua anaknya bersiap-siap untuk pulang ke kampung. Barang-barang yang akan dibawa pun sudah diangkut pagi tadi oleh anak-anak ke perahu. Sebuah perahu berukuran cukup besar siap membawa nek Jum beserta kedua anaknya meninggalkan dusun.

Dan memang, bukan hal mudah bagi nek Jum untuk meninggalkan tempat itu. Meskipun sudah mengalami kejadian-kejadian menakutkan, ada begitu banyak kenangan indah yang pernah dilewati bersama almarhum suaminya di sini. Ia merasa seolah-olah hari ini akan menjadi hari terakhir baginya berada didusun.  Mungkin ia takkan pernah kembali.  Membayangkan itu semua, air mata pun meleleh di pipi tuanya yang sudah keriput.

Anak-anak sangat paham dengan perasaan ibunya saat itu. Mereka lalu menasehati dan menguatkan semangatnya. Bahkan anak-anak berjanji jika suatu saat sang ibu ingin ke dusun lagi, mereka juga siap membawa dan menemaninya. Trenyuh hati  nek Jum kala itu. Beruntung baginya memiliki anak-anak yang begitu berbakti kepada orang tua. Nek Jum berusaha menguatkan diri dihadapan kedua putranya. Sambil tersenyum ia menganggukan kepala. Akan tetapi jauh dilubuk hatinya, nek Jum bertekat tidak akan pernah kembali lagi ke dusun. Sudah cukup baginya selama ini merepotkan orang lain. Sudah cukup kiranya baginya merepotkan anak-anaknya.

Perlahan nek Jum bersama kedua anaknya melangkahkan kaki menuju kesungai. Di pinggir sungai nek Jum berhenti sebentar. Sementara kedua anaknya terus melangkah lalu menunggu di perahu yang sedang tertambat. Nek Jum kemudian memalingkan badan. Ia menatap kearah gubuk dengan pandangan sayu. Kiranya nek Jum merasa perlu mengucapkan salam perpisahan pada tempat itu. Sang anak yang berada diperahu hanya bisa memperhatikan ibunya dengan tatapan menerka-nerka. Beberapa saat kemudian terdengar suara sang ibu bergumam seorang diri.

“Kak, hari ni terakhir aku ade sini. Jika benehan ye ku telek hari-hari ngia kau, ku minta kau jengan lagi namui aku. Jengan lagi gengu kluargeku. Etam lah be rede’an, segala salahmu lah kumaafkan. Segela wasiatmu lah kusampaikan ke krawan ngkanak. Permintaan maafmu juge lah kusampaikan keurang lain. Alam etam lah beda. Kau nade beurusan lagi kan dunia. Aku lah ikhlas. Mulai mini mulang hak ke alammu!”

Setelah mengucapkan kata-kata itu nek Jum menunduk sebentar sambil menarik napas berkali-kali. Selang beberapa waktu ia mengangkat kepala dan bergumam lagi. Akan tetapi kali ini ucapannya lebih nyaring, tegas dan sedikit mengancam. Anak-anak yang mendengar sampai merinding.

“Jika memang selama ni ye ku telek iblis, lain lakiku, ingati caranganku ni. Jengan lagi nyerupai lakiku. Jengan genggu aku kan kluargeku. Dunia akherat aku ne rede. Kami nade urusan kan kita. Jengan macam-macam. Selama aku maseh hidup, jengan harap depat ngodei kluargeku.”
Sesudah mengucapkan kata-kata itu nek Jum kembali menuduk sambil bergumam tidak jelas. Mungkin ia sedang membacakan doa-doa atau mantera yang tak dipahami oleh kedua anaknya. Beberapa saat kemudian nek Jum berpaling dan melangkah menuju ke perahu. Ia tak lagi menoleh kebelakang. Langsung duduk diperahu begitu saja dan meminta kedua anaknya mulai mendayung perahu mudik ke kampung halaman.

*Gaess, maaf ya. Khusus pada part  ini, ucapan nek Jum dalam bahasa kutai takkan kami terjemahkan ke bahasa Indonesia. Bagi yang mengerti, alhamdulillah. Bagi yang tidak paham silakan berusaha mencari artinya. Atau …..tanyakan ke admin lain di kolom komentar nanti, heheheee*

**********

Perahu kayu mulai bergerak perlahan menyusuri sungai belayan. Anak-anak nek Jum mendayungnya dengan penuh semangat. Ada kalanya nek Jum sendiri ikut mendayung perahu membantu kedua anaknya. Untuk mengisi waktu sebelum sampai dikampung, mereka mengobrol sepanjang perjalanan. Nek Jum meminta kedua anaknya agar tidak menceritakan semua kejadian yang pernah mereka alami selama berada di dusun kepada orang lain. Tidak semua orang mempercayai cerita aneh semacam itu. Ia tak mau orang lain menganggap keluarganya pembohong. Kedua anaknya pun setuju dengan keinginan ibunya. Akan tetapi, kelak dikemudian hari malah nek Jum sendiri yang bercerita kepada orang lain.

Kurang lebih tiga jam lamanya mendayung perahu tanpa henti sampailah mereka di desa Tuana Tuha. Saat itu waktu menunjukkan sekira jam dua sore. Kedatangan nek Jum disambut  gembira oleh menantu dan cucu-cucunya. Cukup lama mereka tak berjumpa dengan sang nenek. Keadaan nek Jum ketika itu pun baik-baik saja. Ia bahkan tampak lebih sehat dan bersemangat dari sebelumnya. Para tetangga dan kerabat berdatangan kerumah untuk bertamu merasa ikut gembira melihat perubahan nenek tua itu.

Pada hari itu anak pertama nek Jum mengajak kembali istri dan anak-anaknya untuk pindah sementara di rumah sang ibu. Ia ingin ibunya merasa lebih terhibur dengan berkumpulnya seluruh keluarga mereka. Hari-hari pun dilewati oleh nek Jum dengan gembira. Rasa kesepiannya terobati. ia hampir benar-benar melupakan semua kejadian buruk yang menghantui pikirannya selama ini. Anak-anak nek Jum dapat bekerja kembali tanpa rasa khawatir. Kehidupan dikeluarga mereka akhirnya bisa berjalan normal seperti biasa.

Suatu hari, tepatnya dihari keempat puluh sejak meninggalnya suami nek Jum diadakan kembali acara “mecakan”. Khusus hari itu acara diadakan lebih meriah dari biasanya karena anak ketiga sengaja menyembelih dua ekor kambing untuk santapan para undangan. Bagi orang-orang kampung, makanan berupa daging adalah yang paling istimewa. Jarang ada kecuali pada hari raya kurban. Diperkirakan malam nanti akan lebih banyak orang-orang yang hadir. Kerabat dan tetangga berkumpul dirumah keluarga nek Jum. Mereka semua datang membantu memasak dan menyiapkan segala sesuatunya untuk malam nanti. Rumah keluarga nek Jum menjadi lebih ramai daripada biasanya.

Siang harinya nek Jum mengajak seluruh keluarganya untuk berziarah kemakam suaminya. Mereka semua berdoa secara khusus untuk almarhum. Ada rasa haru menyelimuti semua yang hadir ditempat itu. Sesekali nek Jum menyeka air matanya. Tak bisa ditahan, air mata keluar dengan sendirinya. Terbayang kembali masa-masa indah bersama suminya dulu. Terbungkus menjadi satu dalam kenangan yang takkan terlupakan sampai kapan pun. Cukup lama mereka berada di makam. Selesai berdoa mereka pun pulang kerumah. Kembali pada kesibukan bersama kerabat dan tetangga menyiapkan acara mecakan malam nanti.

Sejak sore menjelang maghrib sudah banyak orang berkumpul dirumah nek Jum. Selesai shalat isya dilanjutkan dengan pembacaan doa bagi almarhum. Setelah itu menyantap makanan  istimewa dari daging kambing. Makanan langka bagi orang kampung saat itu. Undangan yang hadir lebih banyak dari biasanya. Walaupun demikian, makanan yang disajikan masih banyak lebihnya. Sisa-sisa itu nantinya akan dibagi-bagi oleh kaum ibu didapur untuk dibawa pulang. Acara mecakan malam itu berjalan dengan lancar berkat bantuan semua pihak yang datang.

Setelah acara selesai para undangan pulang kerumah masing-masing. Tinggal beberapa tetangga perempuan dan keluarganya yang masih tersisa untuk membantu membereskan peralatan dapur. Di sela-sela kesibukan menata letak alat dapur nek Jum malah bercerita kepada semua orang yang masih ada saat itu. Ia menceritakan pengalaman selama berada didusun bersama kedua anaknya. Cerita yang aneh, tidak masuk akal dan menakutkan. Rata-rata percaya karena ditambah kesaksian dari kedua anaknya.

Sejak saat itulah cerita ini menyebar kemana-kemana. Hampir sekampung menjadi tahu. Berbagai tanggapan kembali muncul. Ada yang percaya lalu menjadi takut. Akan tetapi lebih banyak orang yang menganggap cerita ini hanya karangan dan khayalan saja. Karena semua orang juga tahu dan memaklumi kondisi nek Jum saat itu.

**********

Sejak nek Jum dibawa pulang kekampung aktivitas di dusun tetap berjalan seperti biasa. Anak pertama tiap hari pulang-pergi dari kampung ke dusun untuk menyadap aren dan membuat gula merah. Beberapa kali kejadian aneh pernah dialaminya. Anak tertua nek Jum bukan hanya pemberani, tetapi kurang mempercayai hal-hal mistis. Hanya ada dua pengalaman yang pernah diceritakannya pada orang lain. Menurutnya, barang-barang di gubuk yang berada di dusun sering berhamburan dengan sendirinya saat ia tiba. Awalnya dia mengira perbuatan binatang atau mungkin orang lain. Akan tetapi pintu gubuk masih terkunci dengan baik. Barang-barang itu disusunnya kembali. Ketika sore barang-barang itu terhambur lagi.

Anak pertama nek Jum memang jarang berada didalam gubuk. Ia banyak menghabiskan waktu digubuk “nglue’an” saja. Pernah juga baju-baju almarhum ayahnya yang ada digubuk malah berada di ngule’an. Seharusnya baju-baju itu terlipat rapi digubuk. Aneh memang. Apalagi kejadiannya siang hari. Akan tetapi, anak pertama ini tidak menganggap perbuatan hantu karena selama bekerja disini ia belum pernah mendengar maupun melihat ada penampakan aneh ditempat itu.

Konon kata orang gubuk di dusun yang ditinggalkan oleh penghuninya akan dihuni oleh makhluk tak kasat mata sejenis hantu. Apalagi jika penghuninya telah meninggal. Tempat tersebut akan di huni oleh “pengari”. Lebih lengkapnya tentang pengari, silakan baca di 

Ada lagi pengalaman dialami orang lain yang pernah sampai ketempat ini. Cerita berikut kami dapat dari orang lain

Suatu ketika seorang warga pergi menjala ikan malam hari melewati tempat ini. Zaman dulu banyak orang yang menjala ikan malam hari untuk mencari udang. Orang-orang ini sudah pasti bukan penakut. Makanya mereka sampai berani pergi ketempat yang jauh dari perkampungan.
Awalnya ia menjala ikan jauh dari gubuk nek Jum. Dikejauhan ia melihat ada cahaya obor menyala turun dari atas (daratan) kesungai. Perkiraannya seseorang sedang bermalam digubuk. Maka didayunglah perahu ketempat itu. Saat ia mendekat, nyala obor tersebut seperti berlari kembali naik keatas dan menuju kegubuk. Masih penasaran, orang ini lalu menambatkan perahunya ke pian(rakit). Ia lalu naik berjalan kegubuk dengan menggunakan senter.

Saat itu bulan muda. Ketika memasuki malam bulan sabit akan muncul, akan tetapi tengah malam bulan akan tenggelam kembali. Ikan dan udang  sulit didapat bila ada cahaya bulan. Hewan-hewan air ini hanya akan banyak didapat apabila keadaan gelap total. Maka ia pun bermaksud mampir dulu digubuk nek Jum untuk mengobrol mengisi waktu sampai bulan tenggelam. Saat itu dia mengira nek Jum dan anak-anaknya masih bermalam ditempat itu.

Perlahan ia melangkahkan kaki sampai ketangga gubuk. Dari luar terlihat ada kilatan cahaya pelita didalam gubuk yang berarti masih ada penghuninya. Berkali-kali ia memanggil nek Jum dan anak-anaknya dengan harapan supaya dibukakan pintu. Akan tetapi tidak ada sahutan sama sekali. Merasa tidak dihiraukan, orang ini pun berbalik untuk kembali turun keperahunya. Baru beberapa langkah meninggalkan gubuk, tiba-tiba saja terdengar suara perempuan terbatuk-batuk. Pasti nek Jum yang sedang terbatuk, pikirnya. Akan tetapi saat membalikkan badan dan menoleh kegubuk, cahaya pelita yang tadi dilihatnya tidak ada lagi. Gubuk itu gelap gulita.

Orang ini mulai merasa takut. Buru-buru dia melangkah ke perahu. Saat ia akan membuka tali perahu yang tertambat pada “pian” (rakit),  tiba-tiba saja terdengar suara lemparan tanah berhamburan disekitarnya. Ada beberapa yang sampai mengenai tubuhnya. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung mendayung perahu untuk pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Anehnya ketika menoleh kesamping,  ternyata posisi perahu tidak menjauh sama sekali. Ia masih berada ditempat itu-itu juga.

Didayungnya lagi perahu semakin kuat namun tetap tidak berpindah. Akhirnya tahulah ia bahwa tali perahunya rupanya masih terikat. Lemparan tanah kecil-kecil semakin banyak. Karena sangat takutnya orang ini lalu mengambil parang dan memotong tali perahunya. Selamatlah dirinya dapat meninggalkan tempat itu walau dengan dengan tubuh gemetar ketakutan. Sejak saat itu pula dia tidak pernah lagi menjala ikan di dekat gubuk keluarga nek Jum.

Bukan hanya orang ini, siapa saja yang pernah melewati gubuk nek Jum yang berada didusun malam hari pasti akan dilempari oleh penunggunya dengan tanah kecil. Anehnya tanah kecil-kecil itu hanya berupa suara benda berhamburan. Jika diterangi dengan cahaya tidak ada bendanya. Jika disorot dengan senter pun tidak kelihatan wujud makhluk yang melemparkannya. Sejak saat itu gubuk keluarga nek Jum yang berada didusun menjadi tempat paling angker dan harus dijauhi oleh para penjala ikan malam hari.

**********

Sehari setelah acara mecakan keempat puluh, anak pertama nek Jum pindah kembali kerumahnya. Semua itu dilakukan atas izin nek Jum juga. Kondisinya sudah normal. Jika pun rindu dengan cucu-cucunya mudah saja, tinggal mengunjungi karena letak rumah anak pertama tak begitu jauh. Atau minta dikunjungi. Anak pertama menjanjikan siap sedia membawa keluarganya menginap kembali dirumah besar itu jika diperlukan. Mulai hari itulah nek Jum akan tinggal dirumah hanya ditemani oleh anak ketiga saja.

Hari-hari berjalan normal seperti biasanya. Anak-anak nek Jum kembali sibuk dengan pekerjaannya. Pada siang harinya, menantu serta cucu-cucu nek Jum kadang mengunjungi dan bermain dirumah sang nenek. Nek Jum tentu senang sekali. Akan tetapi kalau menjelang malam, mereka pulang kerumahnya. Dari sinilah rasa kesepian kembali menghantui nek Jum. Tidak ada yang menyadarinya, bahkan nek Jum sendiri.

Suatu malam, anak ketiga yang tinggal bersama merasa heran pada ibunya. Nek Jum mengigau dalam tidurnya. Ia menyebut-nyebut  kata “dusun” berkali-kali sambil tertawa. Buru-buru sang ibu dibangunkan. Kata nek Jum ia hanya bermimpi masih berada di dusun bersama suaminya sambil bercanda. Yah, mungkin memori bahagia saat dulu masih bersama suaminya terbuka dalam bentuk mimpi. Hal yang wajar, menurut anak pertama. Ia tidak khawatir sama sekali. Mereka pun tidur kembali sampai pagi.

Pada pagi harinya anak ketiga yang bangun merasa heran dengan keadaan rumahnya. Sepi sekali. Nek Jum yang biasanya memasak makanan pagi-pagi tidak terdengar suaranya didapur. Setelah dicari pada sekeliling rumah pun tidak ada. Hampir saja anak ketiga mencari kekuburan. Ia khawatir kejadian beberapa minggu yang lalu terulang lagi. Ketika keluar rumah, alangkah kagetnya ia melihat ibunya sedang tiduran di luar rumah. Ibunya tidur dilantai tanpa alas dan bantal. Sang ibu pun segera dibangunkan. Nek Jum sendiri mengaku tidak tahu awal mulanya bisa berada di luar rumah saat itu.
Bukan sekali dua kali peristiwa ini terjadi. Walau pu tidak setiap malam, nek Jum sering ditemukan tidur diluar rumah. Bahkan pernah juga diluaran rumah tetangga. Setiap ditanya nek Jum hanya menjawab tidak tahu. Anak-anak mulai khawatir. Sang ibu bisa saja berbohong. Mungkin saja nek Jum menutup-nutupi masalahnya. Apa yang terjadi pada nek Jum

Pernah ada tetangga yang menanyakan, apakah nek Jum masih merindukan suaminya? Ya, nek Jum menjawab dengan terus terang. Tapi, katanya tidak separah diawal. Walaupun mulut mengikhlaskan, semua orang tahu nek Jum sebenarnya sangat merindukan suaminya itu. Penyakit breii yang dulu sepertinya kambuh kembali, atau memang  belum hilang. Nek Jum hanya menutup-nutupi agar orang lain tidak khawatir padanya. Bukan dugaan saja, bukti nyata dapat dilihat dari sikap kesehariannya yang sering melamun. Hanya bedanya nek Jum tidak pernah lagi ketiduran dikuburan.

Dikemudian hari, orang-orang mengatakan nek Jum menjadi tidak waras akibat breii. Saat itulah nenekku masuk dan mengambil peran dalam kehidupan keluarga nek Jum.


Next.

Maaf ya jika bagian ini berputar-putar dan gak greget.
Mau gimana lagi, kemampuan kami menulis cuma segitu.
Terima kasih masih mau membacanya dalam hati.


Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar