Tinggal di
dusun VI
Pagi itu
matahari bersinar dengan terangnya. Walaupun ada segumpalan awan hitam didaerah
hulu, namun cuaca saat itu bisa dikatakan sangat cerah. Air sungai memang
sedang naik sekitar satu depa sejak tadi malam. Arusnya lumayan deras dan
menyulitkan jika dilewati dengan perahu dayung. Akan tetapi, semua itu
merupakan hal yang biasa bagi anak-anak nek Jum. Mereka sudah sering mendayung
perahu di arus yang deras. Tak ada pilihan lain jika menyusuri sungai karena
mereka memang belum memiliki perahu bermesin
Setelah
selesai membuat gula merah, siang itu nek Jum bersama kedua anaknya
bersiap-siap untuk pulang ke kampung. Barang-barang yang akan dibawa pun sudah
diangkut pagi tadi oleh anak-anak ke perahu. Sebuah perahu berukuran cukup
besar siap membawa nek Jum beserta kedua anaknya meninggalkan dusun.
Dan memang,
bukan hal mudah bagi nek Jum untuk meninggalkan tempat itu. Meskipun sudah
mengalami kejadian-kejadian menakutkan, ada begitu banyak kenangan indah yang
pernah dilewati bersama almarhum suaminya di sini. Ia merasa seolah-olah hari
ini akan menjadi hari terakhir baginya berada didusun. Mungkin ia takkan pernah kembali. Membayangkan itu semua, air mata pun meleleh
di pipi tuanya yang sudah keriput.
Anak-anak
sangat paham dengan perasaan ibunya saat itu. Mereka lalu menasehati dan
menguatkan semangatnya. Bahkan anak-anak berjanji jika suatu saat sang ibu
ingin ke dusun lagi, mereka juga siap membawa dan menemaninya. Trenyuh
hati nek Jum kala itu. Beruntung baginya
memiliki anak-anak yang begitu berbakti kepada orang tua. Nek Jum berusaha
menguatkan diri dihadapan kedua putranya. Sambil tersenyum ia menganggukan
kepala. Akan tetapi jauh dilubuk hatinya, nek Jum bertekat tidak akan pernah kembali
lagi ke dusun. Sudah cukup baginya selama ini merepotkan orang lain. Sudah
cukup kiranya baginya merepotkan anak-anaknya.
Perlahan
nek Jum bersama kedua anaknya melangkahkan kaki menuju kesungai. Di pinggir
sungai nek Jum berhenti sebentar. Sementara kedua anaknya terus melangkah lalu
menunggu di perahu yang sedang tertambat. Nek Jum kemudian memalingkan badan.
Ia menatap kearah gubuk dengan pandangan sayu. Kiranya nek Jum merasa perlu
mengucapkan salam perpisahan pada tempat itu. Sang anak yang berada diperahu
hanya bisa memperhatikan ibunya dengan tatapan menerka-nerka. Beberapa saat
kemudian terdengar suara sang ibu bergumam seorang diri.
“Kak, hari
ni terakhir aku ade sini. Jika benehan ye ku telek hari-hari ngia kau, ku minta
kau jengan lagi namui aku. Jengan lagi gengu kluargeku. Etam lah be rede’an,
segala salahmu lah kumaafkan. Segela wasiatmu lah kusampaikan ke krawan
ngkanak. Permintaan maafmu juge lah kusampaikan keurang lain. Alam etam lah
beda. Kau nade beurusan lagi kan dunia. Aku lah ikhlas. Mulai mini mulang hak
ke alammu!”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu nek Jum menunduk sebentar sambil menarik napas
berkali-kali. Selang beberapa waktu ia mengangkat kepala dan bergumam lagi.
Akan tetapi kali ini ucapannya lebih nyaring, tegas dan sedikit mengancam.
Anak-anak yang mendengar sampai merinding.
“Jika
memang selama ni ye ku telek iblis, lain lakiku, ingati caranganku ni. Jengan
lagi nyerupai lakiku. Jengan genggu aku kan kluargeku. Dunia akherat aku ne
rede. Kami nade urusan kan kita. Jengan macam-macam. Selama aku maseh hidup,
jengan harap depat ngodei kluargeku.”
Sesudah
mengucapkan kata-kata itu nek Jum kembali menuduk sambil bergumam tidak jelas.
Mungkin ia sedang membacakan doa-doa atau mantera yang tak dipahami oleh kedua
anaknya. Beberapa saat kemudian nek Jum berpaling dan melangkah menuju ke
perahu. Ia tak lagi menoleh kebelakang. Langsung duduk diperahu begitu saja dan
meminta kedua anaknya mulai mendayung perahu mudik ke kampung halaman.
*Gaess, maaf
ya. Khusus pada part ini, ucapan nek Jum
dalam bahasa kutai takkan kami terjemahkan ke bahasa Indonesia. Bagi yang
mengerti, alhamdulillah. Bagi yang tidak paham silakan berusaha mencari
artinya. Atau …..tanyakan ke admin lain di kolom komentar nanti, heheheee*
**********
Perahu kayu
mulai bergerak perlahan menyusuri sungai belayan. Anak-anak nek Jum
mendayungnya dengan penuh semangat. Ada kalanya nek Jum sendiri ikut mendayung
perahu membantu kedua anaknya. Untuk mengisi waktu sebelum sampai dikampung,
mereka mengobrol sepanjang perjalanan. Nek Jum meminta kedua anaknya agar tidak
menceritakan semua kejadian yang pernah mereka alami selama berada di dusun
kepada orang lain. Tidak semua orang mempercayai cerita aneh semacam itu. Ia
tak mau orang lain menganggap keluarganya pembohong. Kedua anaknya pun setuju
dengan keinginan ibunya. Akan tetapi, kelak dikemudian hari malah nek Jum
sendiri yang bercerita kepada orang lain.
Kurang lebih
tiga jam lamanya mendayung perahu tanpa henti sampailah mereka di desa Tuana
Tuha. Saat itu waktu menunjukkan sekira jam dua sore. Kedatangan nek Jum
disambut gembira oleh menantu dan
cucu-cucunya. Cukup lama mereka tak berjumpa dengan sang nenek. Keadaan nek Jum
ketika itu pun baik-baik saja. Ia bahkan tampak lebih sehat dan bersemangat
dari sebelumnya. Para tetangga dan kerabat berdatangan kerumah untuk bertamu
merasa ikut gembira melihat perubahan nenek tua itu.
Pada hari
itu anak pertama nek Jum mengajak kembali istri dan anak-anaknya untuk pindah
sementara di rumah sang ibu. Ia ingin ibunya merasa lebih terhibur dengan
berkumpulnya seluruh keluarga mereka. Hari-hari pun dilewati oleh nek Jum
dengan gembira. Rasa kesepiannya terobati. ia hampir benar-benar melupakan
semua kejadian buruk yang menghantui pikirannya selama ini. Anak-anak nek Jum
dapat bekerja kembali tanpa rasa khawatir. Kehidupan dikeluarga mereka akhirnya
bisa berjalan normal seperti biasa.
Suatu hari,
tepatnya dihari keempat puluh sejak meninggalnya suami nek Jum diadakan kembali
acara “mecakan”. Khusus hari itu acara diadakan lebih meriah dari biasanya
karena anak ketiga sengaja menyembelih dua ekor kambing untuk santapan para
undangan. Bagi orang-orang kampung, makanan berupa daging adalah yang paling
istimewa. Jarang ada kecuali pada hari raya kurban. Diperkirakan malam nanti
akan lebih banyak orang-orang yang hadir. Kerabat dan tetangga berkumpul
dirumah keluarga nek Jum. Mereka semua datang membantu memasak dan menyiapkan
segala sesuatunya untuk malam nanti. Rumah keluarga nek Jum menjadi lebih ramai
daripada biasanya.
Siang
harinya nek Jum mengajak seluruh keluarganya untuk berziarah kemakam suaminya. Mereka
semua berdoa secara khusus untuk almarhum. Ada rasa haru menyelimuti semua yang
hadir ditempat itu. Sesekali nek Jum menyeka air matanya. Tak bisa ditahan, air
mata keluar dengan sendirinya. Terbayang kembali masa-masa indah bersama suminya
dulu. Terbungkus menjadi satu dalam kenangan yang takkan terlupakan sampai
kapan pun. Cukup lama mereka berada di makam. Selesai berdoa mereka pun pulang
kerumah. Kembali pada kesibukan bersama kerabat dan tetangga menyiapkan acara
mecakan malam nanti.
Sejak sore
menjelang maghrib sudah banyak orang berkumpul dirumah nek Jum. Selesai shalat
isya dilanjutkan dengan pembacaan doa bagi almarhum. Setelah itu menyantap
makanan istimewa dari daging kambing.
Makanan langka bagi orang kampung saat itu. Undangan yang hadir lebih banyak
dari biasanya. Walaupun demikian, makanan yang disajikan masih banyak lebihnya.
Sisa-sisa itu nantinya akan dibagi-bagi oleh kaum ibu didapur untuk dibawa
pulang. Acara mecakan malam itu berjalan dengan lancar berkat bantuan semua
pihak yang datang.
Setelah
acara selesai para undangan pulang kerumah masing-masing. Tinggal beberapa
tetangga perempuan dan keluarganya yang masih tersisa untuk membantu
membereskan peralatan dapur. Di sela-sela kesibukan menata letak alat dapur nek
Jum malah bercerita kepada semua orang yang masih ada saat itu. Ia menceritakan
pengalaman selama berada didusun bersama kedua anaknya. Cerita yang aneh, tidak
masuk akal dan menakutkan. Rata-rata percaya karena ditambah kesaksian dari
kedua anaknya.
Sejak saat
itulah cerita ini menyebar kemana-kemana. Hampir sekampung menjadi tahu.
Berbagai tanggapan kembali muncul. Ada yang percaya lalu menjadi takut. Akan
tetapi lebih banyak orang yang menganggap cerita ini hanya karangan dan
khayalan saja. Karena semua orang juga tahu dan memaklumi kondisi nek Jum saat
itu.
**********
Sejak nek
Jum dibawa pulang kekampung aktivitas di dusun tetap berjalan seperti biasa.
Anak pertama tiap hari pulang-pergi dari kampung ke dusun untuk menyadap aren
dan membuat gula merah. Beberapa kali kejadian aneh pernah dialaminya. Anak tertua
nek Jum bukan hanya pemberani, tetapi kurang mempercayai hal-hal mistis. Hanya
ada dua pengalaman yang pernah diceritakannya pada orang lain. Menurutnya,
barang-barang di gubuk yang berada di dusun sering berhamburan dengan
sendirinya saat ia tiba. Awalnya dia mengira perbuatan binatang atau mungkin
orang lain. Akan tetapi pintu gubuk masih terkunci dengan baik. Barang-barang
itu disusunnya kembali. Ketika sore barang-barang itu terhambur lagi.
Anak pertama
nek Jum memang jarang berada didalam gubuk. Ia banyak menghabiskan waktu
digubuk “nglue’an” saja. Pernah juga baju-baju almarhum ayahnya yang ada
digubuk malah berada di ngule’an. Seharusnya baju-baju itu terlipat rapi
digubuk. Aneh memang. Apalagi kejadiannya siang hari. Akan tetapi, anak pertama
ini tidak menganggap perbuatan hantu karena selama bekerja disini ia belum pernah
mendengar maupun melihat ada penampakan aneh ditempat itu.
Konon kata
orang gubuk di dusun yang ditinggalkan oleh penghuninya akan dihuni oleh
makhluk tak kasat mata sejenis hantu. Apalagi jika penghuninya telah meninggal.
Tempat tersebut akan di huni oleh “pengari”. Lebih lengkapnya tentang pengari,
silakan baca di
Ada lagi
pengalaman dialami orang lain yang pernah sampai ketempat ini. Cerita berikut
kami dapat dari orang lain
Suatu ketika
seorang warga pergi menjala ikan malam hari melewati tempat ini. Zaman dulu
banyak orang yang menjala ikan malam hari untuk mencari udang. Orang-orang ini
sudah pasti bukan penakut. Makanya mereka sampai berani pergi ketempat yang jauh
dari perkampungan.
Awalnya ia
menjala ikan jauh dari gubuk nek Jum. Dikejauhan ia melihat ada cahaya obor
menyala turun dari atas (daratan) kesungai. Perkiraannya seseorang sedang bermalam
digubuk. Maka didayunglah perahu ketempat itu. Saat ia mendekat, nyala obor
tersebut seperti berlari kembali naik keatas dan menuju kegubuk. Masih
penasaran, orang ini lalu menambatkan perahunya ke pian(rakit). Ia lalu naik
berjalan kegubuk dengan menggunakan senter.
Saat itu
bulan muda. Ketika memasuki malam bulan sabit akan muncul, akan tetapi tengah
malam bulan akan tenggelam kembali. Ikan dan udang sulit didapat bila ada cahaya bulan.
Hewan-hewan air ini hanya akan banyak didapat apabila keadaan gelap total. Maka
ia pun bermaksud mampir dulu digubuk nek Jum untuk mengobrol mengisi waktu
sampai bulan tenggelam. Saat itu dia mengira nek Jum dan anak-anaknya masih
bermalam ditempat itu.
Perlahan ia
melangkahkan kaki sampai ketangga gubuk. Dari luar terlihat ada kilatan cahaya pelita
didalam gubuk yang berarti masih ada penghuninya. Berkali-kali ia memanggil nek
Jum dan anak-anaknya dengan harapan supaya dibukakan pintu. Akan tetapi tidak
ada sahutan sama sekali. Merasa tidak dihiraukan, orang ini pun berbalik untuk
kembali turun keperahunya. Baru beberapa langkah meninggalkan gubuk, tiba-tiba
saja terdengar suara perempuan terbatuk-batuk. Pasti nek Jum yang sedang
terbatuk, pikirnya. Akan tetapi saat membalikkan badan dan menoleh kegubuk,
cahaya pelita yang tadi dilihatnya tidak ada lagi. Gubuk itu gelap gulita.
Orang ini
mulai merasa takut. Buru-buru dia melangkah ke perahu. Saat ia akan membuka
tali perahu yang tertambat pada “pian” (rakit), tiba-tiba saja terdengar suara lemparan tanah
berhamburan disekitarnya. Ada beberapa yang sampai mengenai tubuhnya. Tanpa
pikir panjang lagi ia langsung mendayung perahu untuk pergi sejauh-jauhnya dari
tempat itu. Anehnya ketika menoleh kesamping,
ternyata posisi perahu tidak menjauh sama sekali. Ia masih berada
ditempat itu-itu juga.
Didayungnya
lagi perahu semakin kuat namun tetap tidak berpindah. Akhirnya tahulah ia bahwa
tali perahunya rupanya masih terikat. Lemparan tanah kecil-kecil semakin
banyak. Karena sangat takutnya orang ini lalu mengambil parang dan memotong
tali perahunya. Selamatlah dirinya dapat meninggalkan tempat itu walau dengan dengan
tubuh gemetar ketakutan. Sejak saat itu pula dia tidak pernah lagi menjala ikan
di dekat gubuk keluarga nek Jum.
Bukan hanya
orang ini, siapa saja yang pernah melewati gubuk nek Jum yang berada didusun
malam hari pasti akan dilempari oleh penunggunya dengan tanah kecil. Anehnya
tanah kecil-kecil itu hanya berupa suara benda berhamburan. Jika diterangi
dengan cahaya tidak ada bendanya. Jika disorot dengan senter pun tidak
kelihatan wujud makhluk yang melemparkannya. Sejak saat itu gubuk keluarga nek
Jum yang berada didusun menjadi tempat paling angker dan harus dijauhi oleh
para penjala ikan malam hari.
**********
Sehari
setelah acara mecakan keempat puluh, anak pertama nek Jum pindah kembali
kerumahnya. Semua itu dilakukan atas izin nek Jum juga. Kondisinya sudah
normal. Jika pun rindu dengan cucu-cucunya mudah saja, tinggal mengunjungi
karena letak rumah anak pertama tak begitu jauh. Atau minta dikunjungi. Anak
pertama menjanjikan siap sedia membawa keluarganya menginap kembali dirumah
besar itu jika diperlukan. Mulai hari itulah nek Jum akan tinggal dirumah hanya
ditemani oleh anak ketiga saja.
Hari-hari
berjalan normal seperti biasanya. Anak-anak nek Jum kembali sibuk dengan
pekerjaannya. Pada siang harinya, menantu serta cucu-cucu nek Jum kadang
mengunjungi dan bermain dirumah sang nenek. Nek Jum tentu senang sekali. Akan
tetapi kalau menjelang malam, mereka pulang kerumahnya. Dari sinilah rasa
kesepian kembali menghantui nek Jum. Tidak ada yang menyadarinya, bahkan nek
Jum sendiri.
Suatu malam,
anak ketiga yang tinggal bersama merasa heran pada ibunya. Nek Jum mengigau
dalam tidurnya. Ia menyebut-nyebut kata “dusun”
berkali-kali sambil tertawa. Buru-buru sang ibu dibangunkan. Kata nek Jum ia
hanya bermimpi masih berada di dusun bersama suaminya sambil bercanda. Yah,
mungkin memori bahagia saat dulu masih bersama suaminya terbuka dalam bentuk
mimpi. Hal yang wajar, menurut anak pertama. Ia tidak khawatir sama sekali.
Mereka pun tidur kembali sampai pagi.
Pada pagi
harinya anak ketiga yang bangun merasa heran dengan keadaan rumahnya. Sepi
sekali. Nek Jum yang biasanya memasak makanan pagi-pagi tidak terdengar
suaranya didapur. Setelah dicari pada sekeliling rumah pun tidak ada. Hampir
saja anak ketiga mencari kekuburan. Ia khawatir kejadian beberapa minggu yang
lalu terulang lagi. Ketika keluar rumah, alangkah kagetnya ia melihat ibunya
sedang tiduran di luar rumah. Ibunya tidur dilantai tanpa alas dan bantal. Sang
ibu pun segera dibangunkan. Nek Jum sendiri mengaku tidak tahu awal mulanya
bisa berada di luar rumah saat itu.
Bukan
sekali dua kali peristiwa ini terjadi. Walau pu tidak setiap malam, nek Jum
sering ditemukan tidur diluar rumah. Bahkan pernah juga diluaran rumah
tetangga. Setiap ditanya nek Jum hanya menjawab tidak tahu. Anak-anak mulai
khawatir. Sang ibu bisa saja berbohong. Mungkin saja nek Jum menutup-nutupi
masalahnya. Apa yang terjadi pada nek Jum
Pernah ada
tetangga yang menanyakan, apakah nek Jum masih merindukan suaminya? Ya, nek Jum
menjawab dengan terus terang. Tapi, katanya tidak separah diawal. Walaupun
mulut mengikhlaskan, semua orang tahu nek Jum sebenarnya sangat merindukan
suaminya itu. Penyakit breii yang dulu sepertinya kambuh kembali, atau
memang belum hilang. Nek Jum hanya
menutup-nutupi agar orang lain tidak khawatir padanya. Bukan dugaan saja, bukti
nyata dapat dilihat dari sikap kesehariannya yang sering melamun. Hanya bedanya
nek Jum tidak pernah lagi ketiduran dikuburan.
Dikemudian
hari, orang-orang mengatakan nek Jum menjadi tidak waras akibat breii. Saat
itulah nenekku masuk dan mengambil peran dalam kehidupan keluarga nek Jum.
Next.
Maaf ya
jika bagian ini berputar-putar dan gak greget.
Mau gimana
lagi, kemampuan kami menulis cuma segitu.
Terima kasih
masih mau membacanya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar