Rabu, 22 Januari 2020

Retha 5: mimpi dalam mimpi

Kutundukkan kepalaku sampai mencapai lantai meja didepanku. Dari rumah tetangga, sayup-sayup terdengar alunan lagu “pembaringan terakhir” yang sangat menyayat hati. Tanpa kusadari beberapa butir air mataku berjatuhan kelantai. 😭😭

Ditengah-tengah semua rasa yang membuncah, aku terperanjat oleh sesuatu yang menyentuh dan mengusap-usap pundakku. Aku pun menoleh. Rupanya, tanpa aku sadari ibuku telah ada dibelakangku. Ia lalu duduk pada kursi disampingku. Buru-buru aku menghapus air mata dengan tangan. Kutatap wajahnya yang sudah nampak keriput. Aku tahu ia juga bersedih. Sedihnya tentu karena melihat anaknya yang menderita batin ini. Aku pun berusaha menguat-nguatkan diri didepannya. 😭😭

Memang, ibuku yang sekarang sudah tua. Umurnya hampir mendekati 60 tahun. Sering sakit-sakitan.
Walaupun diusianya yang telah senja, semangatnya masih tinggi. Terbukti, walaupun penglihatannya tak sebaik dulu, ia masih memiliki kegiatan mengajari anak-anak kecil mengaji. Aku sendiri dulu tamat mengaji dari ibuku.

Beliau juga perempuan yang sangat sabar dan penyayang. Sangat jarang sekali beliau memarahi aku ketika melakukan kesalahan. Yang ada, apabila aku berbuat salah beliau hanya mengingatkan, menasehati dengan lemah lembut. Setiap kami anaknya mengalami masalah dan mengadu padanya, tak pernah ibuku cuek. Ia tempat curhat terbaik. Dengan pengalaman hidup yang pernah dijalani, ia selalu mampu memberikan solusi-solusi yang menenangkan.

Benarlah kata pepatah, Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.

Up dulu gaess.
Kalian tahu istilah malaikat pelindung?
Malaikat Pelindung bukanlah seperti wujud malaikat yang kita bayangkan. Setiap orang yang lahir kedunia ini memiliki hanya satu malaikat pelindung. DIA ADALAH SEORANG IBU. Apabila malaikat pelindung ini telah tiada, tak ada lagi yang bisa menggantikan. Ia dikirim tuhan dengan tugas khusus untuk merawat, menjaga, dan menyayangi orang yang dilindungi selama hidupnya. Tugas ini sangat berat. Oleh karena itu tuhan janjikan balasan surga baginya. Begitu juga seorang anak, ketika seorang anak mau menuruti semua nasehat-nasehat baik dari ibunya, menyayangi, melindungi, menghormati dan merawatnya, balasannya adalah bahagia didunia dan diakhirat.

Kita semua tentu ingin hidup bahagia. Oleh karena itu mulai saat ini marilah kita berbakti kepada orang tua selama mereka masih ada. Apabila mereka telah tiada, sekali-kali kunjungi makamnya dan kirimkan doa. Tidak hanya datang disaat-saat perlu saja, lalu disaat-saat gembira kita lupa dan hilang entah kemana. Jangan sampai kita menjadi anak yang durhaka.

Maaf ya, bukan menggurui, hanya mengingatkan diri sendiri. 😁😁
Malaikat pelindungku, ya dia sekarang sedang ada disampingku.
Menatap wajahnya membuat aku menerawang mengingat bahwa selama ini aku banyak melakukan kesalahan. Aku termasuk anak yang bandel dan sering melanggar nasehat-nasehatnya. Kupeluk tubuhnya yang sudah ringkih itu dengan berlinangan air mata kembali. Aku benar-benar merasa seperti anak kecil usia 5 tahun. Dengan sesenggukan aku meminta maaf atas semua yang telah kulakukan selama ini padanya. Kutumpahkan semua gundah dihatiku padanya dengan menangis sejadi-jadinya.

Ibuku yang baik hati hanya mengangguk-nganguk dengan terharu. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya matanya saja nampak berkaca-kaca. Beliau menepuk-nepuk pundakku, membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku tahu walaupun tanpa meminta maaf sekalipun ia sudah lama memaafkan aku.

Beberapa saat kemudian dinasehatinya aku dengan bahasa yang lemah lembut. Terutama agar aku bersabar dan ikhlas. Relakan kepergian Retha

Menurut ibuku, perihal yang menimpa Retha, merupakan bagian dari rencana tuhan yang tak bisa kita rubah. Garis hidup seseorang telah tertulis jauh sebelum ia lahir kedunia ini. Semua yang telah digariskan tuhan tak ada makhluk yang bisa menolaknya. Sisi kehidupan Retha entah baik atau buruk hanyalah bagian dari cara-Nya untuk menyempurnakan Takdir. Suka atau tidak suka tetap saja semua akan terjadi. Pada akhirnya nanti setiap makhluk juga akan merasakan kematian. Biarpun aku menangis darah, Retha tidak akan pernah kembali. Aku harus bisa merelakannya. Selalu ada hikmah disetiap kejadian. Tuhan takkan memberi ujian melewati kemampuan hambanya.

Bersedih boleh saja. Berlebihan itu yang tidak baik. Tidak baik bagi kesehatan. Tidak baik juga untuk Retha. Seandainya saja Retha mengetahui kalau sekarang aku bersedih untuknya ia pasti takkan suka. Sebagai teman jika memang aku menyayanginya, tugasku bukan bersedih, tetapi merelakan dan mendoakannya

Nasehat dari ibuku kali ini benar-benar langsung masuk menghujam jauh kedalam hatiku. Sudah lama aku tak dinasehatinya seperti ini. Akupun menjadi tersadar. Kini aku merasa benar-benar damai sekali. Kiranya hampir seluruh beban serasa terhapus.

Setelah aku tenang, kemudian ibuku mengajak aku kedapur untuk makan. Disana sudah ada sepiring nasi goreng yang memang khusus disiapkan untukku. Ia tahu aku sangat menyukai nasi goreng. Ia juga tahu bahwa saat itu aku tentu belum sepenuhnya melupakan hal tentang Retha. Butuh proses dan waktu. Beliau dapat memaklumi ketika makanan yang ada didepanku hanya dapat kuhabiskan setengahnya saja.

Up sebentar ya, penulis mau mewek dulu. 😭😭
Kalian baik-baik saja kan?

Selesai makan, akupun segera mandi. Waktu shalat maghrib sebentar lagi. Suara adzan maghrib berkumandang dari masjid yang berada ditengah-tengah kampung kami. Setelah selesai berpakaian aku pun segera menuju masjid dengan mengendarai sepeda motor.

Maaf ya, bukannya pamer, selama ini aku memang termasuk anak yang rajin shalat. Namun selama ini harus kuakui bahwa ibadahku itu kebanyakan kulakukan asal-asalan karena terpaksa menuruti perintah ibuku. Kadang juga hanya ikut-ikutan teman. Biar ada yang menganggap sebagai anak alim. Biar cewek-cewek pada kagum dan memuji. Parah memang. Sama sekali bukan murni karena menunaikan perintah Tuhan. Mengingat-ingat itu semua, rasanya aku benar-benar sangat malu dan menyesal. Jadi pantaslah tuhan menegur aku dengan musibah ini

Mulai malam ini aku berjanji akan belajar dari semula lagi. Memperbaiki semua yang selama ini kulakukan asal-asalan. Saat itu maghrib dan isya dapat kulakukan dengan lebih baik dari sebelumnya. Seperti pesan ibuku selesai shalat tak lupa juga aku mengirimkan do’a-doa untuk Retha.

Pukul 20.00 aku sudah ada dirumah. Kalau biasanya, tidurku jam 24.00. Waktu banyak kuhabiskan dengan bermain online dan berselancar didunia maya. Jam segitulah biasanya juga aku dan Retha terhubung di WA dan FB. Malam itu hapeku benar-benar sepi. Sekedar pesan dari teman lain pun sama sekali tidak ada. Hape segera kumatikan dan memilih telentang diatas kasur sambil merenung. Mungkin karena dorongan rasa capek yang sangat besar, akupun tertidur. Disinilah terjadi peristiwa yang kusebut Mimpi dalam Mimpi.

*Ya, aku bermimpi didalam mimpi. Peristiwa semacam ini memang benar-benar ada. Aku pernah mengalami berkali-kali. Apa kalian pernah mengalaminya??
Lagunya juga ada, gak percaya silakan cek youtube, judulnya “umpama mimpi dalam mimpi”* 😁😁

Bermula dari ketika itu aku merasa seperti sedang berada di pinggir sungai belayan yang tak jauh dari rumahku. Aku menatap keseberang sungai. Dari kejauhan nampaklah seorang perempuan, Retha. Aku mengenalinya walaupun hanya nampak samar-samar karena terhalang kabut. Retha terlihat melambaikan tangan kearahku. Akupun segera menceburkan diri kesungai, berenang menuju kearahnya. Dengan susah payah aku berhasil juga mencapai tepi sungai. Retha tersenyum kearahku. Namun saat aku mendekatinya, ia malah berlari menjauh. Aku mengejarnya dengan napas yang masih kelelahan.

Semakin jauh aku mengejarnya, namun Retha seperti tak juga berhenti. Sampai pada akhirnya akupun tak mampu lagi berlari. Aku tersungkur diatas padang rumput. Saat aku mengangkat kepala, ternyata Retha sudah berdiri didepanku. Ia menundukkan badannya, mengulurkan tangan kearahku dengan tersenyum. Aku berusaha menggapai tangannya. Namun seperti terhalang oleh sesuatu mirip dinding yang sangat tebal. Dinding itu bening bagai kaca. Kulihat Retha berjalan mundur menjauhiku.

Sesaat kemudian terdengar suara gemuruh menggelegar dari atas langit. Suara itu benar-benar memekakkan telinga. Sebuah bola api raksasa jatuh tepat diantara aku dan Retha yang sekarang dibatasi oleh dinding kaca. Bola api itupun hancur membakar padang rumput ditempat itu. Api besar berkobar membakar padang rumput dihadapanku. Panas sekali. Aku yang berada dibalik dinding dapat merasakan panasnya dikulitku. Kulihat tubuh Retha telah terbakar api sebagian. Ia berteriak menjerit-jerit kesakitan. Jeritannya benar-benar memilukan hati. Ia meronta-ronta diatas rerumputan yang telah dipenuhi kobaran api. Belum cukup sampai disitu, dari dalam tanah keluar banyak sekali ular berkepala api.

Ular-ular itu membelit tubuh Retha yang sedang terbakar sebagian. Kali ini jeritan Retha sepertinya sudah hilang. Ular yang tadinya membelit Retha segera mencabik-cabik tubuhnya. Kepala dan tangannya sampai terlepas dari badan.

Aku yang menyaksikan kejadian itu menangis sejadi-jadinya dari balik dinding. Aku berteriak-teriak memanggil namanya sekeras-kerasnya, sampai suaraku habis. Kupukul dinding tebal didepanku berkali-kali sampai tanganku berlumuran darah. Dinding itu terlalu kuat untuk ditembus. Pada akhirnya akupun tak lagi mampu bertahan menyaksikan peristiwa itu. Aku tak ingat dan tak merasakan apa-apa lagi. Tubuhku lunglai ketanah. Sepertinya aku telah pingsan, lama sekali.

Ketika tersadar, ternyata aku masih berada ditempat itu. Namun pemandangan kali ini jauh berbeda dari sebelumnya. Kali ini kulihat ada sebuah rumah besar dibalik dinding itu. Disekelilingnya banyak tumbuh bunga-bunga yang sedang bermekaran. Pemandangan ditempat itu benar-benar asri. Aku berdiri terkagum-kagum melihat pemandangan yang ada didepanku. Pada sebuah taman bunga disamping rumah itu kulihat Retha sedang asyik bermain kejar-kejaran dengan banyak sekali anak perempuan. Tidak ada anak laki-laki disana. Suara riuh tawa Retha dan anak-anak itu berbaur jadi satu. Mereka tampaknya sedang bergembira

Dari balik dinding, aku berteriak-teriak memanggil Retha sambil memukul-mukul dinding yang ada didepanku. Aku berharap Retha mau mendekat kearahku. Namun sepertinya ia tidak mendengar panggilanku itu. Pada akhirnya aku hanya bisa berdiri terpaku melihat kegembiraan mereka

Tiba-tiba saja kembali terdengar suara gemuruh. Suara itu berasal dari bawah tanah tempat aku sedang berdiri. Sesaat kemudian keluar seekor ular berkepala api didekat kakiku. Tubuhku menggigil ketakutan. Bentuknya sama dengan ular yang kulihat membelit tubuh Retha. Belum sempat aku berlari, ular itu telah membelit kakiku, lalu menarik kedalam tanah. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Sampai akhirnya akupun terbangun. Kulihat ibuku telah ada disamping kasurku. Sepertinya ibuku lah yang telah membangunkan

Saat terbangun aku baru sadar, tubuhku masih basah oleh keringat. Bantal tempat aku berbaring sepertinya basah oleh bekas air mata. Mimpi itu benar-benar terasa nyata. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.00 pagi. Keadaan saat itu cukup gelap karena mati lampu. Hanya ada nyala lilin yang dibakar ibuku.

Dengan linangan air mata kuceritakan mimpi itu pada ibuku. Ibuku yang baik hati mendengarkan dengan seksama.

Sesudah melihatku lebih tenang, ibuku mulai berbicara. Menurutnya apa yang ada dalam mimpiku itu merupakan gambaran keadaan Retha saat ini dialam kuburnya.

Setiap perbuatan manusia selama didunia itu ada nilainya dihadapan tuhan walau sekecil apapun. Perbuatan baik bernilai pahala, balasannya adalah kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk perbuatan buruk bernilai dosa, balasannya adalah penderitaan (siksa). Dosa dan pahala ibarat air dan minyak. Tidak akan pernah dapat bersatu. Dosa dan pahala dibalas tersendiri sesuai dengan apa yang yang telah dilakukan selama hidup.

Apabila selama hidup kita banyak berbuat dosa kepada tuhan, melanggar perintah-perintahnya, dosa itu dapat dihapus dengan bertobat. Mengakui lalu minta ampun langsung kepada tuhan dengan tulus dan berjanji tak mengulangi lagi. Sebesar apapun kesalahan itu pasti diampuni karena tuhan maha pengampun.

Ada dosa yang tidak akan diampuni tuhan walaupun kita sudah bertobat. Yaitu dosa kepada sesama manusia. Dosa ini hanya akan diampuni jika kita sudah meminta maaf kepada orang-orang yang bermasalah dengan kita. Lalu bagaimana kalau orang tersebut tidak mau memaafkan? Apabila kita sudah meminta maaf dengan tulus, dosa kita tetap diampuni

Ketika seseorang telah meninggal, dialam kubur ia akan menerima balasan amal baik dan amal buruknya selama hidup didunia. Apabila ia banyak berbuat dosa maka ia akan lebih banyak menderita daripada mendapat kenikmatan. Kejadian ini akan berlangsung lama dalam masa ribuan atau bahkan jutaan tahun sampai menunggu hari kiamat nanti. Setelah hari kiamat barulah ada keputusan seseorang akan menempati surga atau neraka.

Dari penjelasan ibuku inilah aku jadi mengerti tentang mimpiku itu. Retha saat ini pasti sangat menderita sekali dialam sana akibat perbuatannya selama ini. Pada saat-saat tertentu Retha bisa juga sedang tidak disiksa, yang artinya itu adalah gambaran dari balasan tuhan atas kebaikan-kebaikan yang pernah ia lakukan.

Merenungkan itu semua membuat aku merinding. Aku takut sekali seandainya hal itu menimpa diriku suatu saat nanti. Di lain sisi aku juga sangat sedih memikirkan Retha. Aku tak ingin ia terus-terusan menderita.

Ku tanya ibuku, dapatkah aku menolongnya?

Ada satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan memintakan ampun untuk Retha kepada Tuhan secara langsung disertai juga dengan memintakan maaf untuknya kepada orang-orang yang pernah bermasalah dengan Retha. Jika semua itu dapat dilakukan dengan baik, mudah-mudahan ampunan tuhan akan turun untuknya. Retha tidak akan menderita lagi.

Untuk memintakan maaf tentu bukan hal mudah. Orang yang paling cocok mengemban tugas ini tak lain adalah aku atau keluarganya. Jika aku memang benar-benar sayang padanya sudah seharusnya aku tak menolak melakukan tugas ini. Tanpa membantah, aku pun langsung menyanggupi tugas itu karena aku tak ingin Retha menderita berlama-lama.

Setelah ibuku keluar dari kamarku, kurenungkan dalam-dalam semua yang telah disampaikannya.
Pagi itu aku belajar banyak dari ibuku. Apa yang disampaikan ibuku merupakan hal baru, aku tak pernah tahu sebelumnya. Selama ini walaupun pernah belajar agama, aku tak pernah serius. Kebanyakan hanya main-main dan asal-asalan saja.

Jam menunjukkan pukul 04.45. Suara adzan subuh terdengar mengalun dari sebuah masjid ditengah kampung. Memanggil semua umat muslim agar menunaikan shalat. Aku segera turun kesungai mengambil wudhu. Saat itu aku lebih memilih shalat dirumah saja bersama ayah dan ibuku.
Selesai shalat, aku kembali kekamarku. Aku duduk diatas sebuah sajadah. Mengirimkan doa-doa untuk Retha. Lalu kupejamkan mata sambil melanjutkan lagi dengan do’a-doa dalam bahasa Indonesia dengan sangat khusuk.

“ya Allah ya Rab, tuhanku yang maha pengampun. kali ini hambamu datang bersimpuh dihadapanmu.

“ampunilah segala dosa-dosaku, dosa ayah-ibuku, dosa saudara-saudaraku, dosa orang-orang yang aku sayangi. aku tahu selama ini telah banyak berbuat dosa, namun aku yakin engkau maha pengasih lagi maha penyayang.


“ya Allah yang maha besar. aku mohon padamu ampunilah segala kesalahan Retha kepadamu. maafkanlah segala kesalahan-kesalahannya.
aku tahu ia telah banyak berbuat dosa kepadamu, namun aku yakin rahmat dan kasih sayangmu mendahului amarah dan murkamu.


“jika saja selama hidupku ini ada perbuatanku yang bernilai amal kebaikan dihadapanmu, berikanlah kepada Retha. Jika saja kau izinkan hambamu ini sanggup………………….

Belum sampai doa itu selesai, mulutku seakan-akan terhenti begitu saja. Suasana tiba-tiba hening sekali. Tak ada suara apapun. Dunia benar-benar hening. Saat itulah aku merasakan tubuhku lalu mengecil, terus mengecil sekecil-kecilnya. Lebih kecil dari butiran pasir. Kemudian tubuhku yang kecil itu lebur………….😭😭

Apa yang kualami selanjutnya tak akan kuceritakan disini karena sangat sulit dibahasakan dengan kata-kata. Sungguh hanya aku sendiri yang dapat mengerti.

Jam 06.30 aku terbangun dari tidur. Anehnya saat bangun aku sedang terbaring diatas kasur, padahal beberapa saat yang lalu aku sedang duduk berdoa diatas sajadah. Bagaimana caranya aku naik keatas kasur. Siapa yang telah mengangkat tubuhku keatas kasur. Pertanyaan itu berputar-putar dikepala.
Aku lalu bangkit dan duduk-duduk dipinggir kasur. Aku merenungkan kejadian itu dalam-dalam. Pada akhirnya aku pun mengerti. Aku sadar sesadar-sadarnya. Ada banyak hal didunia ini yang tak bisa dijelaskan pakai logika. Dan sekali lagi hal ini hanya aku sendiri yang dapat memahaminya.

Bahwa tuhan sesungguhnya sangat dekat dengan kita, itu benar adanya. Jaraknya seperti jarak antara jari manis dan jari tengah. Kita hanya perlu “menyadarinya” saja. Selama ini justru kita lah yang menjauhinya.

Aku kini benar-benar tersadar bahwa musibah yang menimpa Retha, kesedihan mendalam yang menimpaku, merupakan rencana tuhan yang memang sudah disiapkan-nya untuk mengarahkan aku menuju ke moment ini. Seseorang terkadang memang perlu di “hantam” dengan sebuah ujian berat agar dia bisa sadar dan kembali kejalan yang benar. Agar mau berubah dan memperbaiki diri. Dan saat ini aku bersyukur sekali telah memahaminya. Aku telah memahami makna rahasia hidup ini. Aku telah paham untuk apa aku terlahir kedunia

Aku merenungkan kembali rencana memintakan maaf untuk Retha yang sudah aku bahas dengan ibuku.
Tugas ini memang tidak mudah. Terutama mencari orang-orang yang entah berada dimana. Mereka adalah orang-orang yang asing bagiku. Aku menyebut tugas ini sebagai “misi suci”. Misi ini tentu saja tidak akan cepat dapat dituntaskan. Perlu waktu berhari-hari, berbulan-bulan, dan mungkin saja bertahun-tahun. Walaupun begitu aku yakin dapat menyelesaikannya dengan baik karena aku tidak sendirian.

Ada keluarga Retha, yang pastinya akan menolong aku. Temanku Eris tanpa diminta sekalipun ia pasti membantuku. Selain itu ada teman-temanku yang lain: ada lukman, hery, ely, anthoni, yang aku yakin mereka akan membantu jika memang diperlukan. Dan satu lagi, Tuhan Yang Maha Kuasa, Dia tak akan membiarkan hambanya melangkah sendiri. Dia pasti akan memberikan petunjuk dan jalan kemudahan.

Kulakukan semua ini bukan untuk diriku sendiri. Bukan untuk mendapat pujian apalagi imbalan. Sama sekali tidak seperti itu. Kulakukan ini dengan tulus dan murni karena panggilan hati. Kulakukan ini untuk menyelamatkan Retha dari penderitaannya. KARENA, JUJUR SAJA AKU MEMANG MENYAYANGINYA DENGAN SEPENUH HATIKU.

Namun tetap kutegaskan bahwa antara aku dan dia hanya teman biasa saja.😁

Selasa, 13 januari 2020. Pagi itu aku bangun dengan perasaan yang sangat plong. Atas anugerah tuhan, cuaca pagi itu lumayan cerah walaupun berkabut. Secerah perasaanku. Terimakasih ya, Rabb. Aku sudah bisa tersenyum seperti biasa. Siang ini aku akan pergi menemui Ibu Retha di rumahnya. Selain untuk mengembalikan hape dan ziarah kemakam Retha, juga menyampaikan hal penting lain yang mesti dibicarakan secara langsung dengan keluarganya

Devi, yup.. teman Retha yang saat itu membawanya. Sejak Retha dirawat hingga dimakamkan, tak terlihat sama sekali batang hidungnya. Hari ini aku akan mencarinya. Aku yakin Devi pasti tahu banyak tentang peristiwa malam itu. Kunci dari semua kejadian ini adalah dia. Maka aku akan memulainya dari Devi

Kuambil handuk ditempat gantungan baju, bermaksud untuk mandi disungai belayan. Udara pagi yang dingin dan berkabut pada akhirnya membuat aku harus duduk-duduk dulu pada sebatang kayu ditepi sungai menunggu munculnya cahaya matahari dari timur. Sembari menghirup udara pagi yang segar kualihkan pandangan kesegala arah. Pikiranku kembali sedikit menerawang pada Retha. Tetiba saja dikejauhan segumpalan kabut tebal semakin mendekat kearahku. Aku terpaku menyaksikan fenomena alam itu. Saat berada didepanku gumpalan kabut berubah membentuk paras wajah Retha. Semakin lama semakin utuh sampai benar-benar berupa wujud Retha. Aku terpaku dibuatnya. Sosok Retha didepanku tersenyum dengan manisnya sambil mengulurkan tangannya.

Alangkah bahagia hatiku dapat kembali bertemu dengannya. Aku lalu membalas dengan tersenyum sambil menyambut uluran tangannya. Dingin sekali karena yang kusentuh hanya gumpalan kabut. Beberapa saat kemudian, perlahan gumpalan kabut itu sirna ditiup angin yang semakin hangat oleh sinar mentari pagi. Kini sosok Retha benar-benar telah hilang dari pandanganku. Walaupun begitu, hatiku sangat gembira sekali. Aku tahu setidaknya saat itu bahwa Retha tidak sedang menderita.
Sinar mentari pagi itu benar-benar hangat menerpa kulitku. Tanpa menunda lagi, dengan bersemangat aku langsung turun kesungai, menceburkan diri kedalam airnya yang jernih. Mandi sampai benar-benar bersih. Setelah merasa puasnya, lalu akupun menyudahinya.

Kembali kerumah setelah mandi, aku berpakaian rapi lalu makan seperti biasa. Ibuku pagi itu kulihat senyum-senyum sendiri. Mungkin beliau senang melihat keadaan anaknya yang sudah jauh lebih baik. Di depan ibuku banyak yang kami bicarakan, terutama tentang mendatangi rumah keluarga Retha. Banyak pesan dan nasehat dari beliau untukku yang nanti dapat kusampaikan pada keluarga Retha

Sebelum meninggalkan ibuku. Ku salami dan kucium tangannya untuk meminta restunya. Melihat wajah ibuku yang sudah tua mataku berkaca-kaca. Nenek sudah 10 tahun lalu meninggalkan kami, yang berarti ibuku saat ini sudah tidak memiliki malaikat pelindung.

Kutanamkan jauh-jauh didalam hatiku. Aku memang tidak akan mampu menggantikan posisi malaikat pelindungnya. Namun mulai saat ini aku berjanji akan merawat, menjaga, melindungi, dan menyayanginya dengan segenap hatiku. Selama aku masih hidup takkan kubiarkan siapapun yang membuatnya bersedih.

Kembali kekamarku, kuambil hapeku dan dan hape Retha. Kedua hape itu kini ada ditanganku. Aku mempersiapkan hape Retha supaya tidak ketinggalan lagi. Aku lalu menelepon pimpinan tempat aku bekerja untuk minta izin tidak masuk hari ini untuk ziarah kemakam Retha. Beliau ini seorang perempuan. Umurnya lebih muda dari ibuku. Kami biasa memanggilnya ibu K. Ibu K asalnya dari kampung G, jadi ia sekampung dengan Retha. Dari sambungan telepon itu dia bercerita pada saat pemakaman Retha, beliau juga menghadirinya. Lalu aku pun diizinkannya.

Sasaat kemudian, aku lalu menelepon teman sejatiku, Eris. Tentu saja bermaksud minta dia menemaniku lagi kesana. Beberapa kali sambungan teleponku tidak diangkat. Pada akhirnya pada sambungan yang keempat kalinya barulah temanku itu mengangkat hape. Suaranya serak menandakan baru bangun tidur. Sudah kebiasaannya, bangun kesiangan..hadeuuhhh! 😁

“ halo”…bisa dibantu bosku”. terdengar suara Eris masih serak-serak basah.
“hari ini kita ketempat Retha, ya”. balasku.
“oke, oke, tapi traktir mie ayam, bosku….heheee. tapi tunggu bentar, soalnya mau mandi dulu”. jawabnya.
“iya..iya….beres, buruan mandinya, terus kesini, kutunggu!” balasku lagi.
Kudengar suara Eris tertawa terkekeh-kekeh senang dari seberang.
Sambungan telepon lalu kami akhiri.

Sambil menunggu Eris aku duduk diatas kursi kayu, memandangi kedua hape yang telah kuletakkan diatas meja. Kuambil selembar kertas putih dan pulpen. Iseng-iseng mulailah aku menulis rangkaian kalimat. Aku bermaksud ingin menyusun sebuah puisi yang isinya tentu saja tentang Retha. Aku lalu mencoret-coretkan pena diatasnya.

“Genting Tanah – Tuana Tuha”

‘Retha, kali ini aku akan jujur padamu..
‘apakah kau siap mendengarnya??
‘sejujurnya aku…..tidak menyayangimu..
‘namun kau harus tahu, hatiku yang melakukannya..
‘sebagai sahabatmu, saat ini aku benar-benar merindukanmu..


‘Retha, dimanapun saat ini kau berada,
‘namamu akan abadi dalam kenanganku..
‘dalam setiap lafazd doaku..


‘Retha, aku bahagia selama ini telah mengenalmu..
‘Kau beri warna setiap hari-hari..
‘Ingatanku padamu kan jadi kisah abadi dihati..
‘Tak sedetikpun aku bersedih selama kau ada disisi..
‘Makasih ya


‘Hari ini aku akan temui ibumu..
‘Pintakan maaf pada mereka untukmu..
‘Semoga kau bisa lebih tenang disana..
‘Dalam damai-Nya…


Ttd

Belum sempat aku menandatangani kertas itu, tetiba saja aku dikagetkan suara pukulan menggelegar diatas meja disampingku. Aku terkaget bukan main. Astaga tuhan, rupanya sahabatku Eris yang sudah sejak tadi diam-diam berdiri dibelakangku. Tanpa kusadari ia memperhatikan aku menulis puisi. Dia terbahak-bahak mentertawaiku yang masih sok ditempat duduk. Walaupun jengkel bukan main, akhirnya aku pun tertawa pula.

Bersamaaan dengan suara tawa kami yang meledak-ledak, tiba-tiba saja aku dikagetkan lagi oleh suara seseorang menggedor dinding kamarku. Oh, rupanya ibuku dari kamar sebelah yang membangunkan aku agar menunaikan panggilan tuhan. Aku benar-benar terbangun dari tidurku.

KALI INI AKU SUDAH BENAR-BENAR ADA DI ALAM NYATA. ALAM TEMPAT DIMANA KITA SEMUA SAAT INI SEDANG SAMA-SAMA MENGHIRUP UDARA.

Sembari bangkit, kuambil 2 buah bantal untuk duduk bersandar sebentar. Kuamati sekeliling kamar, kini sosok Eris dan hape Retha sudah menghilang. Hanya ada aku seorang diri. Aku baru tahu kala itu sedang hujan gerimis. Kusulut sebatang rokok sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Syukurlah cuma mimpi, pikirku. Kuusap-usap wajahku. Sesaat kemudian baru kusadari ternyata di kedua mataku rupanya ada bekas menangis. Semua seakan-akan nyata adanya. Mimpi dimalam minggu itu terasa terjadi berhari-hari, namun dalam kenyataanya hanya berlangsung sekitar 8 jam saja.

Beberapa saat kemudian sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid dikejauhan. Memanggil semua umat muslim untuk segera menunaikan shalat subuh. Aku pun segera bangkit menuju kedapur, membuka kran air lalu mengambil air whudu. Segar dan dingin sekali. Setelah selesai menunaikan 2 rakaat, aku kembali duduk-duduk dipinggir kasur merenungkan mimpi beberapa saat lalu.

Untunglah cuma mimpi, kalau beneran terjadi mungkin senin siang aku bakal dipanggil polisi sebagai saksi untuk kasus yang menimpa Retha.😁

Walau pun begitu, mimpi ini benar-benar berkesan dan membekas. Segera aku menghampiri laptop yang sedang dalam “mode sleep”. Baru ingat tadi malam putar film “Maleficent: Mistriss of Evil (2019)”. Film itu selesai dengan sendirinya tanpa ada yang nonton. Ketiduran soalnya.😁

Karena penasaran, segera aku meng-konek laptop dengan jaringan internet. Membuka FB, lalu mengetik nama Retha di kolom pencarian. Hasilnya, ada sederetan nama memakai nama Retha. Sayangnya setelah membuka profil mereka, tak ada satupun foto profil yang mirip wajah Retha.
Berpindah ke hape, aku melakukan pencarian lagi lewat IG, namun hasilnya juga nihil.
Terakhir, kembali kubuka file lama di laptop. Kubuka Folder foto wallpaper cewek, hasilnya ada satu foto yang dulu aku unduh entah dari FB siapa. Wajah difoto itu ada kemiripan. Mungkin sekitar 70% lah.😁

Untukmu Retha, wahai gadis yang ada didalam mimpi. Walau kau disana telah tiada, kita tidak sedang benar-benar terpisah. Aku dan dirimu hanya saling menunggu untuk dipertemukan, semoga.😢


S E L E S A I

Retha: hari-hari yang indah

Tanpa ragu-ragu, mungkin ibu Retha sudah menganggap aku bagian dari keluarganya. Mulailah dia bercerita kalau kehidupan anaknya itu sangat memperihatinkan. Jauh berbeda dengan saudaranya yang lain. Sejak kecil hingga menginjak Kelas 1 SMA ia masih anak baik. Penurut dengan orang tua. Namun ketika menginjak kelas 2, ia berteman dengan Devi. Sejak itulah pergaulannya berubah. Sering pulang larut malam. Pernah juga pulang pagi. Yang lebih parah kadang mengikuti Devi pergi kekampung orang lain bisa sampai 2 atau 3 hari tidak pulang. Itu semua dilakukannya tanpa memberitahu dan minta izin ibunya. Bila dinasehati, Retha selalu merajuk, lalu pergi kerumah Devi. Sampai ada yang menjemput barulah ia mau pulang. Sekolahnya juga tidak karuan. Lebih banyak malasnya. Desas-desus yang lain menyebutkan bahwa Retha dikampung G ini terkenal sebagai perebut suami orang. Wanita penggoda. Para pemuda dikampung lain juga banyak yang menyebut Retha sebagai Pelakor Sejati. Menurut ibunya, semua itu pernah mereka buktikan sendiri, dan memang benar adanya.

Pernah sampai 2 kali ada perempuan dari kampung lain mendatangi rumah mereka mencari Retha. Sayangnya Retha saat itu tidak ada dirumah. Entah berada dimana bersama Devi. Perempuan yang datang itu marah-marah mengatakan kalau suaminya selingkuh dengan Retha. Uang suaminya habis demi diberikan kepada Retha. Katanya gadis itu telah memeras suaminya. Mereka meminta ibu Retha untuk mengajar anaknya itu. Ibu Retha saat itu hanya bisa sedih mendapat info keburukan-keburukan anaknya. Ada lagi seorang perempuan lain yang sampai mengancam kalau orang tuanya tidak bisa mengendalikan Retha lagi, mereka yang akan melakukannya sendiri.

Sebenarnya apabila saat-saat Retha ada dirumah, tak kurang-kurang ibunya, saudaranya, bahkan keluarga lain juga menasehati. Namun Retha seperti tak mendengar, keras kepala. Kalau sudah bosan mendengar omelan, seperti biasa ia pergi dari rumah. Pada akhirnya pihak keluarga membiarkannya begitu saja. Terserah Retha memilih jalan hidup. Mereka sudah tidak perduli lagi. Seperti sebelumnya, aku yang mendengarkan cerita itu hanya bisa mengangguk-angguk tanpa berani komentar banyak. Tak banyak bicara, karena pikiranku semakin kacau.

Aku dan Eris yang mendengar cerita ibu Retha ketika itu hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Agak meragukan sebenarnya. Retha yang kukenal, prilakunya tidak seburuk itu. Ia perempuan baik-baik. Namun apa pun itu tetap saja cerita dari ibu Retha ini tentu benar adanya. Keluarganya pasti lebih tahu ketimbang aku karena mereka orang terdekat. Sedangkan aku, seperti kukatakan sebelumnya, tidak ada hubungan istimewa, selain hanya sebagai teman biasa saja

Ya… tuhan, belum hilang beban pikiran yang ada, malah bertambah beban baru dipikiranku. Aku benar-benar pusing bercampur sedih

Jam menunjukkan pukul 16.00 sore. Hujan sudah benar-benar berhenti. Aku dan Eris akhirnya pamit untuk pulang kekampung kami. Kusuruh Eris mengendarai motor, sedangkan aku duduk dibelakangnya.

Motor dipacu dengan kecepatan rendah. Kami ngobrol sepanjang jalan. Temanku ini orangnya sangat baik dan pengertian. Ia tahu kalau aku sangat pusing dengan semua keadaan sekarang. Ia menasehati dan memberi semangat kepadaku berulang-ulang. Sedikit banyak nasehat-nasehatnya masuk diakal dan sangat menolong sekali. Keadaanku agak lebih baik dari sebelumnya

Dari obrolan itu aku dan Eris mencoba mengumpulkan kepingan demi kepingan peristiwa yang menimpa Retha. “dimulai dari para pemuda yang malam itu menyebutnya Lont*, SMS yang membuat Retha sedih, Devi dan Retha pergi kesebuah Logpond, ada yang ingin membunuh Retha, saat aku bercerita kejadian yang menimpa Retha dipuskesmas mengapa keluarganya hanya menanggapi biasa saja, Devi yang seolah-olah menghilang, keluarga Retha yang tak ingin memperpanjang kasus itu, cerita ibu Retha tadi”.

Setelah dihubung-hubungkan, kami berdua pun akhirnya menemukan benang merahnya. Terjawab sudah semua pertanyaan yang selama ini membuat aku penasaran. Beruntung sekali aku memiliki seorang teman seperti Eris. Disaat-saat seperti ini aku memang butuh teman untuk berbagi. Tak dapat kubayangkan jika beban ini kupikul sendiri. Bisa-bisa gila.

“Sebenarnya tidak hanya dalam mimpi. Sahabatku Eris, memang ada didunia nyata. Persahabatan kami sama dengan yang tergambar dalam cerita. Ia teman terbaik yang kukenal. Satu diantara 7 admin di halaman FB ini. Orangnya cerdas dan paling cakep juga.😁😁

”Eris….jika kau baca kisah ini, 5 jempol kuangkat untukmu kawan..”😁😁

Akibat lambatnya motor yang kami kendarai bergerak, perjalanan yang seharusnya hanya ditempuh 30 menit menjadi lebih dari sejam baru nyampai dirumah. Saat kami tiba jam sudah menunjukkan pukul 17.30.

Sesudah mengantarkan Eris kerumahnya, aku pun langsung menuju rumahku. Sepeda motor langsung aku simpan dalam rumah. Belum ada parkiran soalnya. Ini menandakan bahwa aku tidak ingin keluar dari rumah lagi sore itu.

Aku masuk kekamarku dan langsung duduk dikursi kayu. Pintu kamar kubiarkan terbuka saja. Sebuah hape Samsung Galaxy J5 Pro warna putih dengan casing luar warna warni khas cewek tergeletak diatas meja. Ya, itu adalah hape Retha yang malam itu dititipkan padaku. Aku lupa mengembalikan pada keluarganya. Kuambil dan kubuka. Melihat baterainya yang sekarat, hape aku matikan dan kuletakkan kembali disana. Melihat hape Retha didepanku, kembali pikiranku menerawang kepadanya. Aku pun melamun mengingat masa-masa dimana aku bahagia bersama Retha.

Aku memang mengenal Retha cukup lama. Ada sekitar 2 tahun yang lalu. Kami sebelumnya memang jarang ketemu langsung karena terpisah oleh jarak kampung yang berbeda. Namun dalam sebulan pasti ada sekali, kalau tidak dia, akulah yang bertandang kerumahnya bersama Eris. Atau bisa juga kami ketemu dikampung lain bila ada semacam acara hiburan seperti Elektun pernikahan. Walaupun begitu, di zaman seperti sekarang untuk ketemu tak sulit. Cukup pakai hape dengan fitur sosmednya, dengan mudah bisa terhubung setiap waktu. Ya, dengan hape yang saat ini ada didepanku itulah Retha dan aku setiap hari bertemu didunia maya. Melalui hape juga kami saling bertanya kabar, saling merayu, saling ejek, marahan, memaki, bahkan saling menjahili

Aku ingat, Retha ini jahilnya lumayan. Kadang tengah malam kadang subuh disaat aku tidur dia nelpon hapeku berkali-kali. Setiap diangkat eh, malah ditutup. Ini terjadi berulang-ulang cuma miskol doang. Sampai hape kumatikan barulah ia tak bisa menghubungi lagi.

Aku sendiri tak kalah jahilnya. Bila kebetulan ada sms gratisan aku ‘bom’ hapenya dengan paling sedikit 100 sms kata ‘sayang’. Bila sudah marah biasanya dia akan ‘ngebom’ balik dengan sms kata ‘bangsat’. Anehnya saat itu aku bukannya tersinggung malah tertawa senang.😁😁

Ada lagi suatu ketika dia sms “sayang, beliin pulsa 10 ribu yak, disini hujan, gak bisa keluar, nanti kuganti, GPL”. Aku tahu dia bohong, karena kubuka WA dan FB dia sedang aktif didunia maya. Jadilah aku mengirim pesan lewat WA dengan kata-kata “untukmu gadis penipu” dilampiri karakter menjulurkan lidah.

Retha tidak membalas pesan itu. Kutunggu sampai sejam juga tidak ada balasan. Aku menyesal telah mengirim pesan itu khawatir dia marah beneran. Buru-buru kutelepon langsung untuk minta maaf. Hasilnya langsung di rejek. Kucoba berulang kali juga tetap ditolak. Sampai 2 hari berlangsung, telepon tak diangkat, pesan yang kukirim tak dibalasnya. Aku menebak saat itu dia sedang marah besar padaku.

Jadilah pada hari minggu aku berangkat kekampung Retha dengan motor seorang diri. Eris sengaja gak diajak karena aku malu kalau sampai peristiwa itu ketahuan olehnya. Aku akan minta maaf langsung kerumahnya. Sebelum berangkat kukirim sms kalau aku sedang diperjalanan menuju rumahnya supaya dia tidak kemana-mana. Sebelum kesana juga aku mampir disebuah toko baju. Kubelikan sebuah baju cewek warna biru motif bunga. Aku saat itu hanya menebak-nebak saja memperkirakan ukuran tubuhnya. Namun demikian, aku yakin ukuran itu pas, kalau kebesaran sedikit gak apa-apa lah. Baju itu sangat indah dipandang seandainya dikenakan Retha. Dia pasti senang, pikirku.

Dengan santai aku menuju kesana. Setibanya disana aku masuk kedalam rumah yang sudah terbuka itu. Sepi. Kulihat kamar Retha tertutup rapat. Sepertinya sedang dikunci dari dalam. Aku memanggilnya dari luar kamar. Tidak ada jawaban sama sekali. Pintu kamarnya juga masih tertutup. Ibunya yang sedang ada di dapur memasak rupanya tahu kedatanganku. Ibunya buru-buru menuju kearahku. Akupun menyapa dan menyalaminya.

Sekarang gantian ibu Retha yang memanggil dan mengetuk pintu kamar itu. Perlahan dari dalam terdengar langkah kaki menuju pintu. Pintupun segera dibuka. Nampaklah wajah seorang gadis yang kelihatannya belum mandi. Rambutnya masih kusut pakai baju tidur. Ibu Retha saat itu agak marah dengan kelakuan Retha yang tidak memperdulikan aku. Di omelinya Retha. Namun gadis itu hanya diam pura-pura tidak mendengar.

Kata ibunya, kalau hari minggu begini kan libur, Retha biasanya tidur lembur. Bangunnya sih pagi, habis makan atau mandi dia tidur lagi.

Aku yang saat itu ada disamping ibunya hanya senyum-senyum saja. Kupikir ini anak persis kayak temanku Eris. Tabiatnya sama-sama hoby tidur lembur, kalau dijodohkan cocok sekali. 😁😁
Ibu Retha kembali kedapur untuk melanjutkan memasak. Kini aku dan Retha berhadap-hadapan mematung seperti tidak saling mengenal. Wajahnya kelihatan sendu sekali

“Retha, aku minta maaf padamu”. Kataku sambil mengulurkan tangan.
“masuk saja”. Katanya sambil berpaling tanpa menyambut tanganku.

Saat itu pintu dibiarkan saja terbuka. Aku pun masuk mengikutinya dari belakang. Di suruhnya aku duduk dikursi tempat dia biasa berdandan. Retha sendiri kembali kekasurnya. Berbaring telungkup tanpa memperdulikan aku. Diambilnya hape. Saat ku lirik, sepertinya ia sedang melanjutkan sebuah permainan. Aku diam beberapa saat sambil memikirkan cara terbaik untuk menarik perhatiannya.

“Retha, kita ke pulau yuk”. Kataku. 😁😁

*Pulau* yang kumaksud adalah sebuah tempat (bukan pulau), tapi mirip-mirip danau yang ada diantara kampung KL dan KJ. Tempat itu indah. Ada dermaganya. Kalau bersama pasangan, romantis kayaknya.😁😁
Kami dulu pernah kesana rame-rame dengan teman yang lain. Orang tanah hulu pasti tahu.*😁😁
Retha hanya menatap kearahku dengan wajah masam sambil menggeleng berkali-kali. Trik pertama sepertinya gagal, pikirku.😥😥

“oke, batal.. tapi aku ada hadiah untukmu, mau gak? Tanyaku.😁😁
Retha menoleh kearahku. Tapi setelah melihat tidak ada apa-apa yang aku bawa ia kembali konsentrasi pada permainannya.

Aku pun keluar menuju motor yang terparkir, mengambil sebuah baju yang terbungkus dalam kantong kresek di bawah jok. Kuambil dan segera aku masuk kembali. Saat aku berada di depan kamarnya. Tetiba saja aku dikagetkan oleh Retha yang rupanya sudah menunggu disamping pintu. Tanpa ba-bi-bu, dirampasnya bungkusan itu dari tanganku. Ia membawa bungkusan itu kekasur dan membukanya. Retha kelihatan benar-benar senang mendapat hadiah dariku. Aku sendiri kembali duduk dikursi memperhatikan Retha dengan tertawa kecil. Berhasil, pikirku dalam hati.

Setelah dibukanya, aku kembali melihat wajahnya kegirangan tertawa bahagia. Sebuah baju wanita warna biru itupun dicoba-cobanya kebadan. Sepertinya pas, pikirku.
Beberapa saat kemudian Retha bangkit menuju cermin besar dari sebuah lemari disudut ruangan kamar.

Baju itupun langsung dipasang tanpa membuka baju tidurnya.
Dalam penglihatanku yang bukan ahli mode pakaian ini, baju itu cocok dan serasi dengan tubuh Retha. Namun tidak bagi Retha. Sesudah berputar-putar, menimbang-nimbang didepan cermin, sambil menyisir rambutnya yang kusut, kulihat wajahnya berubah merah menahan kesal. Sepertinya ingin menangis.😢😢

“gak cocok, kekecilan, mendingan gak usah pake baju saja”. Katanya jengkel sambil membuka dan melemparkan baju itu keatas kasur.😢😢

Hadeuuhh, aku hanya bisa menutup mataku dengan tangan karena merasa bersalah. 😢😢
Disaat-saat seperti ini aku jadi ingat, benar kata orang bahwa ‘cowok itu selalu salah dimata cewek’.😭😭
Buktinya sekarang langsung ada didepan mataku. 😢😢

Retha lalu kembali keatas kasur, telungkup seperti tadi, melanjutkan permainannya.
Suasana hening tanpa ada yang berbicara. Aku merenung memikirkan apa yang harus dilakukan lagi.
Sesudah menimbang-nimbang sedikit, akupun bangkit dari kursi menuju kearah Retha lalu duduk disamping kasurnya. Perlahan dengan ragu-ragu kuusap-usap rambutnya. Saat itu Retha seperti tak bergeming sama sekali. Ia tetap fokus dengan permainannya. Perlahan-lahan kemudian aku mencoba telungkup disampingnya mengikuti posisi Retha. Kuambil hape dari kantong. Kuketik *858*XXXXXXXXXXXX*50#call dihadapannya. Retha memperhatikan dengan bengong. Beberapa saat kemudian hapenya berdering kencang pertanda sms masuk. Setelah dibukanya, pulsa 50.000 telah terisi kenomor hapenya.

Bukan main girangnya Retha. Ia bangkit lalu melompat-lompat diatas kasur seperti anak kecil. Giliran aku yang bengong dibuatnya. Aku baru sadar kalau sebenarnya Retha sesaat yang lalu hanya mengerjaiku. Aku lalu bangkit berdiri didepan Retha dengan muka masam. Retha yang melihat aku berdiri didepannya segera meraih tanganku, disalaminya sambil mengucapkan terimakasih berulang kali.

“Retha,….masa cuma terimakasih doang, peluk dong?!” 😁😁 Kataku bercanda sambil membuka tangan.😁😁

Masih ketawa-ketawa Retha malah memukuli dadaku. Aku pun pura-pura kesakitan. Pada akhirnya Retha pun memeluk aku sebentar. Gak lama, paling 5 detik. Lumayanlah daripada gak dapat apa-apa.😁😁😍💏
Tapi tetap saja aku berhasil dikerjainya, sial memang.😢😢

Suasana akhirnya cair seperti biasa. Walapun tanpa diucapkan sekalipun, aku sudah tahu ia memaafkan kesalahanku. Masalah telah teratasi, lega sekali.😁😁

Beberapa saat kemudian, ibu Retha masuk kekamar itu menemui kami yang sedang bercakap-cakap. Makanan sudah dihidangkan, kami disuruhnya makan. Namun waktu makan itu pun terpaksa ditunda sebentar, karena Retha harus mandi dahulu.

Sembari menunggu Retha, aku dan ibunya mengobrol diruang tamu. Beberapa saat kemudian kulihat Retha sudah selesai mandi, ia melewati kami dan langsung masuk kekamarnya. Lumayan lama. Kemudian gadis itu keluar juga menemui aku dan ibunya

Aku sempat termangu dibuatnya. Rupanya Retha sudah berdandan rapi. Baju yang kuberikan tadi dipakainya saat itu. Cantik. Serasi dengan tubuh Retha. Bau parfum semerbak memenuhi ruangan.

“wah, baju baru ni…emang kamu mau keundangan?” kataku menggoda Retha.😁😁
“ ya..gak lah, tadi katanya kita mau ke pulau!! sahut Retha sambil tersenyum kearah ibunya.
“kalian mau ke pulau??” kata ibu Retha sambil memalingkan pandangan kearahku.
“benar ibuk, tapi kalau di izinkan…” jawabku malu-malu.😁😁
“boleh…tapi syaratnya harus makan dulu, kalau gak mau berarti gak boleh! balas ibu Retha sambil tersenyum.

Akhirnya kami bertiga pun menuju kedapur untuk makan. Setelah selesai, aku meminta izin sekali lagi pada ibu Retha untuk membawa Retha jalan-jalan ke pulau. Kami di izinkan, namun katanya harus hati-hati dan jangan sampai terlalu sore.

Jam saat itu sekitar pukul 10.00. matahari bersinar dengan cerah. Aku dan Retha segera keluar dari rumah menuju motorku yang sejak tadi terparkir didepan. Lagi-lagi ada masalah, Retha memaksa ingin mengendarai motorku. Daripada berdebat lama, akupun mengalah. Hari itu aku dibonceng Retha. Tak apalah, sekali-kali dibonceng cewek, pikirku.😁😁

Lamunanku tiba-tiba buyar. Sakit sekali jika mengingat-ingat kenangan itu. Cerita ibu Retha tentang perbuatan Retha beberapa saat lalu tidak begitu merisaukanku. Yang membuat aku sedih adalah membayangkan bagaimana aku menjalani hari-hari kedepan tanpa kehadiran Retha. Aku pastinya akan sangat kesepian kehilangan dirinya.😭😭😭

Kutundukkan kepalaku sampai mencapai lantai meja didepanku. Dari rumah tetangga, sayup-sayup terdengar alunan lagu “pembaringan terakhir” yang sangat menyayat hati. Tanpa kusadari beberapa butir air mataku berjatuhan kelantai.😭😭😭

Retha 4

Temanku Eris (bukan nama samaran), terus memacu sepeda motor yang kami kendarai. Aku memintanya agar memacu lebih cepat lagi, soalnya buru-buru mau ketempat kerja. Dengan kecepatan sekitar 60-80 km/jam tak terasa dari kecamatan KJ yang cukup jauh, dalam waktu sekitar 30 menit saja kami sudah sampai dikampung.

Sebelum pulang kerumah, kami pergi ketempat kakek wakar untuk mengambil motor Eris yang kami titipkan tadi malam. Di sana, kakek wakarnya tidak ada, mungkin sudah pulang kerumahnya. Setelah menemukan motor Eris, kami pun berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. Aku yakin, setiba dirumah pagi itu Eris akan langsung tidur, mungkin bisa tidur sampai sore. Soalnya kami semalaman belum tidur. Kalau sudah kebiasaan, Siang jadi malam, Malam jadi siang. 😁😁

Dirumahku, aku langsung di sambut ibuku dengan banyak pertanyaan. Saking bingungnya aku hanya bisa menjawab “Retha baik-baik saja”. Tampaknya ibuku sudah cukup puas dengan jawabanku itu.
Ngantuk? Tidak, aku saat itu sama sekali tidak ngantuk, hanya badan agak lemas. Mungkin pengaruh terlalu banyak yang dipikirkan.

Kuambil handuk lalu turun kesungai untuk mandi pada sebuah “rakit”. Setelah selesai, lalu naik kerumah, berpakaian, sarapan sedikit, aku langsung berangkat ketempat kerja.
Ditempat kerjaku hari senin pagi itu, aku disuruh pimpinan untuk menghadiri sebuah pertemuan dikecamatan K mewakili rekan kerja yang lain. Ada semacam pelatihan teknis tentang keuangan. Dengan sedikit terpaksa aku mau saja mengikuti perintah pimpinan. Beliau itu perempuan, lumayan galak soalnya…😁😁

Berangkatlah aku ke kecamatan K. Di sana acara pelatihan teknis sudah berlangsung sejak beberapa saat lalu. Aku sepertinya telat sekitar 10 menit. Tanpa melalui proses aku langsung diperbolehkan masuk untuk mengikutinya.

Didalam ruangan itu ada banyak sekali peserta yang lain. Kami yang ada disana dibentuk dalam beberapa kelompok, lalu diberikan tumpukan kertas yang isinya entah apa. Pokoknya banyak sekali.
Astaga, pikirku…. bakal lama nih,..😁😁
Bukan hanya aku sebenarnya, anggota kelompok lain juga terdengar riuh, sama-sama agak pusing mungkin.

Saat itu hape aku matikan deringannya, cukup menghidupkan getarannya saja biar tidak mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung. Sejujurnya saat itu aku agak takut menyentuh hape. Takut kalau-kalau hape ada yang tetiba menghubungi mengabarkan berita buruk.
Walaupun masih memikirkan keadaan Retha, sedapat mungkin pikiran aku alihkan bekerja maksimal bersama teman-teman lain untuk menyelesaikan tugas kami.

Sekitar pukul 09.00. hape yang ada didepanku bergetar-getar. Aku menatap layar hape dengan agak takut. Sebuah nama panggilan dari nomor Heni kakak Retha. Melihat nama Heni memanggil, aku mengangkatnya dengan cepat. Pasti ada hal penting, pikirku. Hape kubawa keluar ruangan.

“halo,, ***** kamu dimana??” suara dari seberang.
“di kecamatan K, ikut pelatihan. Ada apa ya?” balasku
“kamu yang sabar ya *****, Retha sudah pergi meninggalkan kita jam 08.00 tadi, kalau bisa secepatnya kamu kesini, rencananya akan dimakamkan hari ini juga”. Suara Heni terdengar sedikit terisak-isak.😢😢
“yaa…..”. jawabku singkat dengan suara bergetar.😢😢
Panggilan pun diakhiri.

Jlebb…aku tersentak mendengar kabar itu. Aku benar-benar sok mendengarnya. Sesuatu yang kutakutkan terjadi juga. Tubuhku menjadi panas dingin. Jantung serasa berhenti bekerja. Tanganku gemetar. Antara percaya dan tidak percaya. Kuyakinkan diriku kalau ini hanya mimpi, ternyata tidak. Aku saat ini dalam keadaan sadar. Padahal baru beberapa jam lalu aku bersama Retha. Keadaannya juga baik-baik saja. Tidak mungkin dia pergi secepat itu. Tapii… bukankah berita ini dari keluarganya?? Mana mungkin mereka berbohong. 😢😢

Pada akhirnya aku harus percaya juga bahwa Retha saat ini memang benar-benar telah berpulang. Hatiku benar-benar sakit seperti diiris-iris dengan pisau. Mau nangis? Tapi sekarang aku sedang mengikuti pelatihan, akhirnya sekuat-kuatnya kutahan perasaan itu. Syukurlah Tuhan yang maha pengasih masih memberikan sedikit kekuatan hingga aku masih dapat bertahan. Kalau tidak, mungkin aku sudah pingsan.😢😢

Aku berusaha menenangkan diriku. Kutarik napas dalam-dalam berulang kali. Sedikit berhasil dan aku sudah dapat menguasai diri.

Aku lalu melangkah masuk kembali kedalam ruangan dengan perasaan hampa. Duduk diantara teman-teman yang sedang sibuk-sibuk melanjutkan tugas kelompok kami. Namun kali ini aku duduk bengong saja, tanpa melakukan apa-apa. Seorang teman yang mengamatiku rupanya penasaran dan menanyakan keadaanku. Aku hanya bisa menjawab bahwa aku sedang kurang enak badan dan sakit kepala. Teman-teman menyarankan agar aku minta izin pulang saja. Namun aku menolak. Tugas pun terus kami lanjutkan bersama untuk diselesaikan.

Pukul 12.00, berkat kerjasama kelompok, tugas yang diberikan dapat kami selesaikan dengan baik. Waktunya istirahat. Ada kemungkinan nanti diberikan lagi tugas kedua untuk dikerjakan pada sore hari.

Aku benar-benar sudah tidak tahan ingin secepatnya kerumah Retha. Aku langsung pulang tanpa pamit dan meminta izin. Aku tidak perduli lagi dengan pelatihan itu. Kupacu motor dengan kecepatan tinggi menuju rumahku

Sesampainya dirumah, dengan sedih kuberitahu ibuku bahwa Retha sudah meninggal. Ibuku kelihatannya sangat sedih juga. Walaupun begitu, ibuku yang baik hati tetap masih bisa membesarkan hatiku. Beliau menasehati agar aku bersabar dan secepatnya kerumah Retha. Tak lupa saat itu aku juga menelepon Eris mengabarkan berita yang sama. Kuminta ia bersiap-siap menemani aku untuk kesana.
Dari suara yang kudengar, aku tahu temanku itu juga ikut bersedih. Namun seperti biasa ia tak pernah menolak diminta bantuan.

Setelah ganti baju, aku menuju rumah Eris dengan sepeda motor untuk menjemputnya. Kulihat ia sudah bersiap-siap menungguku dipinggir jalan.
Sempat terjadi perdebatan kecil diantara kami. Eris tidak setuju kalau aku yang mengendarai kendaraan.
Ia sepertinya khawatir keadaanku. Bisa-bisa berbahaya. Namun aku terus memaksa, kukatakan bahwa diriku baik-baik saja. Seperti biasa, Eris akhirnya setuju tanpa bisa membantah lagi.

Dan memang benar, saat itu, anehnya keadaanku terasa baik-baik saja. Aku yakin tuhanlah yang sedang menolongku. Rasa sedih yang kurasakan sebelumnya sudah jauh berkurang. Hanya Ada rasa lemas kurang tenaga. Belum makan memang. Sama sekali tidak ada selera.
Setelah Eris duduk dibelakangku, mulailah aku menghidupkan mesin motor. Kami berboncengan berdua bergerak perlahan menuju ke kampung G. Tempat dimana Retha saat itu kubayangkan telah terbujur kaku.

Di perjalanan kesana, kutarik tali gas motor cukup dalam. Motor Jupiter MX King 150 yang kami kendarai melaju dengan kencangnya. Aku tak sempat melihat kecepatannya di speedometer. Eris sampai beberapa kali menepuk pundakku agar mengurangi kecepatan namun aku seakan tak perduli, karena ingin secepatnya ada disana. Untunglah tikungan demi tikungan dapat kami lewati dengan baik. Sampailah kami didepan rumah Retha dengan selamat.

Di rumah Retha tidak begitu banyak ada orang. Hanya ada sebuah tenda terpasang dan beberapa tetangga sedang sibuk mengambil piring-piring kotor. Sepertinya kedatangan kami telat. Paman Retha menghampiri kami. Di suruhnya aku pergi ke tempat pemakaman. Jaraknya sekitar 500 meter dan berada di samping sebuah Mesjid Besar. Tak sulit menemukan pemakaman itu karena memang berada dipinggir jalan umum. Hanya beberapa menit kami sudah ada di gerbang pemakaman yang berpagar putih. Motor pun segera kami parkir disamping pagar.

Dengan langkah ringan aku dan Eris langsung masuk. Keadaan disana sepi. Orang-orang sudah pada pulang. Terlihat ditengah-tengah pemakaman itu ada ibu Retha dan Heni kakaknya. Kami pun langsung mendekati mereka. Semakin mendekat, ibu Retha pun menyambut kami. Ibu Retha menatap sendu kearahku. Astaga…tuhan, aku baru sadar wajah ibu Retha ternyata mirip sekali dengannya. Rupanya wajah Retha menurun dari pihak ibu. Memandangnya serasa memandang Retha. Sedangkan adik-adik dan kakaknya tidak ada kemiripan sama sekali, mungkin menurun dari pihak bapaknya. Aku belum pernah bertemu ayah mereka karena sudah meninggal 5 tahun lalu. Sampai ketika itu, perasaanku masih baik-baik saja. Aku masih bisa menguasai diri

Perempuan tua itu pun berdiri ketika aku dan Eris sudah ada disampingnya. Aku pun mengulurkan tangan bermaksud menyalaminya. Tetiba saja perempuan tua itu langsung menyerbu kearah dadaku. Beliau memeluk aku dengan erat sekali. Aku sempat kaget, namun pada akhirnya kubiarkan dia terisak-isak sambil menghapus punggungnya untuk menenangkan. Aku tahu beliau sangat terpukul dengan kepergian Retha. Aku merasa benar-benar seperti anaknya. Sungguh aku sangat terharu sekali karena baru kali ini berpelukan dengan ibu orang lain. Setelah melepaskan aku, temanku Eris pun dipeluknya. Kulihat Eris sama terharunya denganku. Sampai ketika itu, aku masih dapat menguasai diri.

Dengan suara serak, mungkin karena terlalu lama menangis, ibu Retha menyuruh kami duduk pada sebuah tikar yang ada disamping kuburan Retha. Tak lupa aku dan Eris menyalami kakak Retha yang kulihat juga masih dengan wajah sedih. Dari kakak Retha itulah aku baru tahu kalau Retha sekarang dimakamkan disamping makam ayahnya. Aku pun segera memilih duduk bersimpuh pada sudut barat tepat disamping papan nisan yang bertuliskan nama Retha. Sampai ketika itu, aku sudah tidak dapat menguasai diri lagi.

Aku yang mengaku pantang nangis didepan orang lain, kali ini luluh juga. Hatiku benar-benar terasa hancur. Aku menangis diatas makam Retha sejadi-jadinya. Air mata tumpah dengan sendirinya tanpa bisa kutahan. Dunia terasa benar-benar sempit. Dadaku sangat sesak sekali oleh beban yang sangat berat. Kuusap-usap papan nisan yang ada didepanku sembari melantunkan doa untuknya, namun sayangnya karena terlalu sedih doa-doa yang selama ini aku ingat pada lupa. Hanya surah alfatihah saja yang dapat aku selesaikan. Akhirnya aku hanya bisa memilih memejamkan mata sambil berdoa dalam bahasa sehari-hari dalam hati. Sekitar satu jam berada disana, bersamaan dengan mulai turunnya gerimis, aku, Eris, kakak dan ibu Retha pun berencana untuk pulang. Sebelum meninggalkan tempat itu aku pun sempat berbisik pada makam Retha. Satu hal yang bisa kujanjikan, pada hari-hari mendatang aku akan sering mengunjungi untuk mendoakannya.

Setelah keluar dari area pemakaman kusuruh Eris membawa sepeda motor berboncengan dengan Ibu Retha agar lebih cepat sampai dirumah. Kasian saja dengan beliau karena cuaca sepertinya akan segera hujan deras. Aku sendiri berjalan kaki dengan Heni kakak Retha menuju rumah. Sepanjang perjalanan pulang aku bercakap-cakap dengan Heni. Ia menceritakan kejadian pagi itu. Dari ceritanya aku tahu bahwa pagi itu sekira sejam kemudian setelah kepergian kami, kondisi Retha berubah semakin buruk. Matanya yang awalnya terbuka kembali tertutup. Ia sangat kesulitan bernapas walaupun alat bantu pernapasan masih menempel dihidungnya. Namun alat itu sama sekali tak membantu. Dokter pun saat itu sudah berusaha menolong sebisanya. Dari keterangan dokter juga diketahui kalau sebenarnya paru-paru Retha sudah kolaps, itu diketahui dari bukti salah satu tulang rusuknya yang patah. Kemungkinan karena diinjak-injak orang pada malam itu. Darah dari paru-paru itulah yang keluar menyumbat kerongkongan sehingga Retha kesulitan mengambil udara. Belum sempat dibuatkan rujukan, napas Retha benar-benar hilang. Jantungnya berhenti berdetak. Ia sudah menutup mata selama-lamanya. Saat dibawa kerumah sekitar jam 09.00 darah segar keluar dari hidung dan mulut Retha. Kejadian itu berlangsung hingga jam 11 siang. Maka atas keputusan bersama pemakaman dipercepat tanpa sempat menunggu kedatanganku dan Eris.

Aku yang saat itu berjalan disamping Heni hanya bisa mengangguk-angguk kecil tanpa banyak komentar. Sempat terbesit penyesalan dalam hatiku kala itu mengapa tidak cepat-cepat pulang dari tempat pelatihan. Pada akhirnya kusadari, semua telah terjadi tanpa bisa diulang kembali. Aku pun memilih pasrah pada keadaan.

Hanya beberapa menit dari pemakaman, kami sudah tiba dirumah. Kami langsung masuk. Disana telah ada Eris bersama ibu Retha yang telah sampai lebih dulu. Adik-adik Retha juga ada di sana. Makanan sudah dihidangkan dihadapan kami. Tanpa menunggu lama kami disuruh menyantapnya. Eris yang duduk disampingku tampaknya makan dengan lahapnya. Kasian juga melihat temanku itu, demi menemani aku sampai harus kelaparan. Aku sendiri masih diam dengan berbagai hal yang memenuhi pikiranku. Walaupun lapar, untuk makan rasanya sulit sekali. Namun demi menghormati tuan rumah akhirnya aku mencoba juga memasukkan makanan itu dengan sendok kemulut. Rasanya entah kenapa benar-benar tidak enak. Persis rasa pasir. Baru dua sendok kecil aku pun menyudahinya. Aku hanya minum air putih sampai tiga gelas karena hausnya. Ibu Retha pun sama sepertiku. Beliau juga hanya makan sedikit sekali. Aku tahu beliau pasti masih sedih memikirkan anaknya yang telah tiada.

Sekitar pukul 14.00 gerimis yang sejak tadi turun berganti hujan yang mengguyur bumi dengan derasnya. Aku dan Eris terpaksa harus menunggu hujan reda baru bisa pulang. Sambil menunggu itulah aku dan Eris ngobrol dengan keluarga Retha. Kami diberitahu jika kasus Retha ini tidak akan diperpanjang. Pihak keluarga sudah sepakat tidak akan melaporkan pada polisi. Mereka akan berusaha mengikhlaskan kepergian Retha. Aku sendiri ketika itu hanya mengangguk setuju saja tanpa banyak komentar. Kalau harus jujur memang aku tidak setuju. Mengingat posisiku hanya sebagai teman Retha, tentu tidak punya hak untuk memaksakan kehendak.

Giliran ibu Retha bercerita kepadaku tentang Retha. Sebuah cerita perjalanan kehidupan Retha yang selama ini belum aku ketahui. Cerita yang diwaktu kedepan akan mengubah keadaanku. Aku pun mendengarkannya dengan seksama. 😢😢😢😢😢😢

Retha 3

Setibanya dirumah, sore itu aku duduk seorang diri disebuah kursi dalam kamarku. Kutundukkan kepala sampai menyentuh lantai meja kayu yang ada didepanku sambil memejamkan mata. Aku benar-benar sedang dalam kegalauan yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Sedih. Sakit sekali. Sejak siang tadi aku belum makan apa-apa, namun rasanya sama sekali tak lapar. Melangkah keluar, untuk mandi pun, kakiku tak kuasa, seakan lemas tak berdaya. Segala hal membuncah didalam dadaku membuat napas semakin sesak.

Sayup-sayup dari rumah tetangga, terdengar alunan lagu dangdut yang semakin menyayat hati. Entah kenapa seperti kebetulan lagu yang diputar adalah “pembaringan terakhir” dari Gebby Parera. Beberapa liriknya yang kuingat berbunyi:
………………………………..
‘serasa petir menyambar ditengah terik matahari’
‘disaat aku mendengar kau telah menutup mata selamanya’
‘serasa sesak napasku ini’
‘seakan bumi berhenti berputar’
…………………………………
‘kini pembaringanmu, jadi tanah yang merah’
‘dihiasi malam-malam dingin’
…………………………………
‘ingin rasanya diriku jadi selimut malammu’
‘agar malam dingin menjadi malam yang hangat’

………………………………….
Mendengar alunan lagu itu membuat mataku semakin hangat. Pada akhirnya, beberapa butiran bening seperti meluncur dari kedua mataku, berjatuhan kelantai tanpa bisa kutahan. Aku benar-benar sesenggukan. Hanya ada nama Retha yang memenuhi pikiranku….😭😭

*Up…up…up….ni cerita sekali lagi melenceng jauh sekali, alurnya gak nyambung dengan part II woyy’,😖😖
seseorang protes mengagetkanku…….😱😱

Sorry, sorry, santuy ya gaess, jadi gini…..hmm, cerita zaman now emang gitu, alurnya tak teratur. Sengaja dibuat ‘mundur maju, maju mundur, maju mundur……cantik’..😁😁😂
Dibuat begitu untuk memainkan emosi pembaca, biar mereka masuk kedalam cerita lalu kebingungan, hahaaaa* paham ya say…………….

Oke, kembali kukatakan, bahwa antara aku dan Retha tidak ada hubungan istimewa selain hanya sebagai teman biasa. Lagian ini terjadi dalam mimpi, jadi tak perlu diprotes dan dihayati…😁

Terus, part II sudah baca ‘kan?
Sip, kita lanjut………….😁

Sepeninggal Devi dan Retha, aku masih dalam keadaan berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Aku terus menatap sorot lampu motor mereka yang semakin menjauh, sampai benar-benar menghilang.
Aku kembali duduk ditangga sekolah menunggu janji Retha akan kembali. Untuk mengisi waktu segera kubuka hape Retha, membuka pesan masuk, namun sayang tak ada satupun pesan yang tersisa, kosong. Semua sms telah dihapus. WA juga kosong. Sedangkan akun Fb tak bisa dibuka karena kelihatannya sudah rusak. Sekitar sejam aku menunggu Retha yang tak kunjung datang, akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang kerumah saja dengan jalan kaki. Aku berharap jika saja Retha kembali lalu tak menemukan aku disana, ia pasti akan menyusul kerumah. Letak rumahku tak begitu jauh dari gedung sekolah itu. Mungkin ada sekitar 300 meter saja. Sesampainya dirumah aku langsung membaringkan diri diatas kasur dengan pikiran yang masih kalut. Jam saat itu menunjukkan hampir pukul 23.00. Suara elektun masih kedengaran jelas walaupun dari jarak yang cukup jauh. Sepertinya music DJ sedang dimainkan.

Biasanya kan begitu gaess, ditempat kita ini kalau tengah malam saatnya music DJ menguasai panggung. Lalu kita akan melihat artis-artis seksi dan penontonnya akan berjoget menggila..😁😍😍
Waktu masih remaja dulu, inilah saat-saat yang dinanti…..asyik-asyik-asyik… 😁😂

Kembali pikiranku teralih pada Retha. Aku sangat khawatir dengan keadaannya. Kalau-kalau saja ada hal buruk yang menimpanya. Apalagi ini sudah tengah malam. Kucoba memejamkan mata untuk tidur saja, namun sungguh tak bisa. Cukup lama hal itu berlangsung hingga jam menunjukkan hampir pukul 24.00. Aku sendiri masih dalam pikiran yang kalut. Lalu segera kubuka hapeku untuk menelepon nomor hape Retha demi mengetahui keadaannya. Tersambung, tapi……….ya tuhan, hape Retha berdering diatas mejaku. Baru ingat ternyata, tadi kan hapenya dititip padaku,..😢😢

Setelah berpikir sejenak, aku lalu menelepon seorang teman dekat. Namanya Er**. Aku tahu ia masih ditempat acara. Aku yakin saat itu ia sedang bergoyang santuy bersama teman-teman lain…bisa jadi juga sedang nyawer artis-artis seksi.

Kalau pun dia sudah pulang, jam segini, temanku itu biasanya belum tidur. Kalau tidak nge-game ya, sedang berselancar didunia maya. Kebiasaan itulah yang membuat ia tidur lembur, selalu bangun kesiangan. Tidurnya bisa sampai jam 10 siang, hebat’kan?😁😂

Walau pun begitu dia adalah teman sejati, selalu ada dalam suka dan duka. Pertolongan apapun diminta, ia tak pernah menolak memberi bantuan.

*maaf ya Er**, jika kau baca cerita ini janganlah marah. Namamu masuk dalam cerita lebay, ngawur dan tak manfaat ini sebagai pelengkap saja biar lebih greget..😂😂

Tak berapa lama, suara tuuuut…….tuuuut diseberang sana ada juga yang mengangkat. Rupanya temanku itu sedang istirahat diwarung minum es. Katanya kelelahan habis joget beberapa lagu. Untunglah, pikirku. Kalau sedang asyik joget gak bakal diangkat nih.

Aku meminta Er** untuk segera datang kerumahku secepatnya. Ada urusan yang sangat penting dan mendesak. Tanpa protes Er** menyanggupi permintaanku. Telepon pun kusudahi. Beberapa saat kemudian suara sepeda motor matic sudah berhenti didepan rumahku. Aku segera keluar menghampiri Er**. Kami basa-basi sesaat sambil aku menceritakan kejadian barusan.

Aku kembali meminta tolong agar Er** menemani aku menuju kesuatu tempat sebagaimana tertulis di sms pada hape Retha. Bukan berarti aku penakut ya. Soalnya kalau berangkat sendiri, lalu ada ‘hantu urang’ bagaimana??😁😂

Lagian kalau ada yang menemani, kan lumayan bisa diajak bertukar pikiran seandainya terjadi hal buruk.😁

Aku dan Er**sangat tahu tempat itu. Soalnya kami sering berburu menembak burung disana. Tempat itu berupa sebuah bekas logpond perusahaan. Di sana banyak terdapat rongsokan alat-alat berat yang sudah lama tak beroprasi. Tanpa protes dan membantah Er** pun siap untuk menemaniku kesana.
Aku kembali masuk rumah mengambil senter. Lalu buru-buru mengeluarkan sepeda motor sendiri dari dalam rumah. Dengan sepeda motor masing-masing, beriringan kami menuju ketempat itu. Di lokasi perusahaan, kami langsung memarkir motor tepat didepan pos “Wakar” (sekuriti). Aku dan Er** sudah lama kenal orang yang menjaga tempat itu. Seorang kakek tua. Pendengarannya sudah tidak sejelas dulu. Matanya juga rabun, maklum bawaan umur.

Saat kami tiba, pintu pos wakar sedang tertutup, namun didalamnya seperti ada seberkas cahaya lampu. Kami tahu si kakek tua itu masih ada disana. Dan sepertinya ketiduran.

Aku lalu cepat-cepat mengetuk pintu pos itu. Pintu terbuka. Kakek tua itu sepertinya kaget dengan kedatangan kami. Dia lalu bertanya ada keperluan apa. Aku pun menceritakan semua hal yang baru saja terjadi. Bahwa kami kehilangan teman, dan mungkin saja ada disekitar sini. Beliau sepertinya tidak terlalu mengerti dan tidak tahu apa-apa. Namun beliau mau saja menemani kami untuk berkeliling di area perusahaan demi mencari keberadaan Retha. Mulailah kami bertiga, dengan memakai senter memeriksa setiap sudut di area perusahaan yang luasnya sekitar 1 hektar itu. Kami berpencar memeriksa setiap bagian, mulai dari sela-sela rongsokan kendaraan, sampai dibawah alat-alat berat, namun keberadaan Retha tak juga ditemukan. Kami akhirnya berkumpul kembali di pos. Lalu atas saran Er** kami kembali mencari Retha kebagian tengah Area, pada sebuah kolam kecil bekas galian alat berat. Setahuku kolam itu airnya dangkal. Kali ini kami lakukan bertiga menuju kesatu arah

Sesampainya kami di kolam kecil itu aku pun menyorotkan senter kearah tengah. Dan Astaga……..tuhan, diujung cahaya senter itu terlihat sesosok tubuh manusia. Seorang wanita. Benar saja, dialah Retha. Tubuh Retha terbaring telungkup ditepi kolam dalam kondisi memprihatinkan. Pada bagian bawah tubuhnya masih berada didalam air, sebagian lagi berada ditanah kering.
Aku dan Er** segera menghampiri tubuh Retha. Kami berdua lalu mengeluarkannya dari kolam. Si kakek tua sengaja kami minta untuk menyorotkan senter saja. Setelah keluar dari kolam kami langsung membawanya ke Pos wakar. Di sana tubuh Retha yang basah kuyub kami baringkan pelan-pelan pada sebuah bantal.

Aku benar-benar bingung melihat keadaan Retha, tak tahu mau melakukan apa. Dibawah cahaya lampu terlihat wajah Retha berdarah-darah. Terutama pada bagian hidung dan telinganya. Seperti habis dipukuli dengan benda tumpul. Baju yang dikenakan juga kelihatan kotor dan robek disana sini. Begitu juga dengan roknya seakan baru saja dirobek orang. Dari perkiraan kami bertiga, Retha kemungkinan besar dipukuli orang, atau mungkin diinjak-injak, dicekik, pakaiannya dirobek, setelah tak sadarkan diri lalu diperkosa dan dilempar orang kedalam kolam. Mereka meninggalkannya begitu saja. Beberapa saat kemudian ada kemungkinan Retha sadar, lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha keluar dari kolam itu. Namun dengan tubuh yang rapuh, ia hanya mampu sampai ditepi kolam, kemudian berteriak minta tolong, tetapi tak ada yang seorangpun yang mendengarnya. Termasuk kakek wakar, karena pendengaran beliau memang kurang baik. Pada akhirnya Retha pun terkapar ditempat itu. Siapakah yang sampai tega melakukan ini pada Retha?

Rasa sedih, kasian dan takut benar-benar merasuki pikiranku kala itu. Kulihat wajah Er** dan kakek tua pucat pasi. Mereka sepertinya juga ketakutan. Takutnya Retha sudah tak bernapas lagi. Ditengah kebingungan itu perlahan aku meraba detak nadi pada tangan dan leher Retha. Syukurlah, detak nadinya masih ada. Segera kubuka baju kaus yang kupakai untuk mengelap darah pada wajah Retha sambil mengguncang-guncang tubuhnya dengan pelan. Sekarang dapat kudengar suara napasnya naik turun. Gerak turun naik jantung pada dadanya juga mulai terlihat. Kami bertiga sedikit lega. Segera aku dan Er** pamit pada kakek wakar untuk membawanya pulang. Sepeda motor Er** kami tititpkan disana. Dengan menggunakan sepeda motorku kami berboncengan tiga menuju rumahku

Setiba dirumahku tubuh Retha segera kubawa masuk. Seisi rumah kaget dengan kejadian itu. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan lewat pukul 01.00. Tubuh Retha yang lemah lunglai tak berdaya kami baringkan diatas kasur. Keadaannya tak berubah, sama seperti tadi, hanya ada detak jantung dan sesekali suara menarik dan menghembuskan nafas. Matanya seperti tertutup rapat.

Atas saran keluarga, aku dan Er** harus secepatnya membawa Retha pulang kerumah orang tuanya di kampung G. Sebelum berangkat, lewat telepon, aku pun mengabari kakak perempuan Retha tentang peristiwa yang menimpanya. Aku juga meminta agar ia memberitahu ibunya mereka dan bersiap menyambut kedatangan kami. Aku segera berganti baju. Tubuh Retha pun kami selimuti dengan kain. Perjalanan cukup jauh akan kami tempuh malam itu.

Setelah semuanya siap Retha pun sudah kami naikkan diatas motor. Posisi Retha kami taruh duduk ditengah antara aku dan Er**. Temanku itulah sebagai jokinya. Sepeda motor kami bergerak perlahan menembus malam yang pekat dan dingin. Kabut malam itu cukup tebal menghalangi pandangan. Jalanan benar-benar sunyi, tanpa ada satupun kami berpapasan dengan kendaraan lain. Sekitar 30 menit sampailah kami dirumah Retha.

Di sana telah ada ibu, paman, kakak, adik-adik serta beberapa tetangga dekat rumah Retha menyambut kami dengan muka yang kelihatan sedih. Apalagi ibunya, sepertinya sejak dari tadi beliau menangis.

Aku mengenal semua orang-orang itu karena sudah sering mampir kerumah Retha.
Tak lama kami berada disana, tanpa dibawa masuk, kami diarahkan untuk langsung membawa Retha ke puskesmas terdekat dikampung itu. Setibanya dipuskesmas tubuh Retha langsung ditangani dengan sigap oleh beberapa perawat yang tugas piket malam. Tidak ada dokter atau mantri. Kami semua disuruh menunggu diluar ruangan. Aku yang saat itu masih dalam kebingungan mengintip dari kaca ruangan. Kulihat perawat memasang infus, lalu membuka dan mengganti pakaian Retha dengan kain warna hijau. Persis seperti orang yang sudah mati.

Beberapa saat kemudian, seorang perawat keluar menemui kami. Dia berbicara dihadapan kami mengenai kondisi Retha. Katanya ada penyumbatan di tenggorokan, kemungkinan semacam gumpalan darah beku. Harus secepatnya diberi oksigen lalu gumpalan itu akan dikeluarkan. Kalau tidak akan membahayakan nyawa. Sayangnya di puskesmas itu tabung oksigen terpakai oleh pasien lain. Jadi kalau kami setuju, Retha akan diberikan Rujukan untuk dikirim ke Puskesmas yang lebih lengkap di kecamatan KJ.

Tanpa pikir panjang seluruh keluarga menyetujuinya. Beberapa saat kemudian sebuah ambulan telah meluncur menembus kegelapan membawa Retha dan keluarganya menuju kesana. Aku dan Er** mengikuti dari belakang dengan sepeda motor. Jarak dari kampung G ke Kecamatan KJ tidak begitu jauh. Jalanannya juga mulus. Hanya sekitar 20 menit kami telah sampai.

Di sana ada 2 orang perawat piket dan satu orang dokter umum yang langsung menanganinya. Retha langsung dibawa masuk dalam sebuah ruangan. Sedangkan kami semua kembali disuruh menunggu diluar.

Sekitar setengah jam menunggu akhirnya para perawat dan dokter keluar juga dari ruangan.
Dihadapan kami dokter berbicara mengenai kondisi Retha. Katanya kondisi Retha cukup berbahaya. Menurut perkiraan dokter, ada sumbatan berupa gumpalan darah beku dikerongkongan menghalangi aliran udara pernapasan. Dan gumpalan itu harus dikeluarkan. Walau pun sudah diberikan udara melalui tabung oksigen, itu hanya cukup menolong beberapa saat saja. Namun kembali dokter menyampaikan bahwa itu baru perkiraan awal. Mereka akan tetap mengontrol perkembangan obat-obat yang diberikan beberapa saat kedepan. Bila tidak ada perubahan juga, maka akan dirujuk kerumah sakit di kota yang fasilitasnya lebih lengkap.

Masih penasaran, aku pun memberanikan diri bertanya mengenai kondisi luka-luka yang ada ditubuh Retha kepada dokter. Menurut jawaban dokter luka-luka yang berada diwajah dan kepala Retha tidak terlalu berbahaya, hanya beberapa pukulan benda tumpul, bisa juga pukulan tangan, semacam tamparan keras. Yang cukup berbahaya ada pada bagian leher, kemungkinan bekas dicekik dengan keras, bisa juga diinjak-injak dengan kaki. Namun sekali lagi itu perkiraan awal. Lalu apakah diperkosa?? Kataku. Dokter menjawab tidak menemukan ada bekas kekerasan dan pemerkosaan. Aku mengucap syukur dalam hati, bahwa kondisi Retha tidak seperti yang kuperkirakan.

Akhirnya dokterpun pamit meninggalkan kami menuju keruangan lain. Kami semua diperbolehkan masuk untuk melihat dan menjaga Retha. Setelah berada dalam ruangan itu, kulihat jam sudah menunjukkan hampir pukul 04.00 pagi. Udara dalam ruangan itu cukup hangat. Hanya ada Retha seorang sebagai pasiennya. Kami semua berdiri mengelilngi sebuah ranjang pasien yang diatasnya terbaring Retha dalam kondisi mata masih terpejam tak sadarkan diri. Sebuah selang kecil dari sebuah tabung besar menempel dihidung Retha sebagai alat bantu pernapasan telah terpasang. Dengan bantuan alat itu pula, kami tahu sekarang Retha sudah dapat bernapas dengan teratur. Melihat kondisinya yang sudah ditangani dengan baik kami semua sedikit bisa ikut bernapas lega.

Di samping ranjang Retha ada 2 kursi plastik yang sepertinya memang disediakan untuk penunggu pasien. Posisi kursi itu berada dikanan dan kiri kepala pasien. Entah kenapa saat itu kakak Retha menyuruh aku dan ibunya untuk duduk pada kursi plastik itu. Sedangkan yang lain, semua duduk dilantai puskesmas yang terbuat dari keramik.

Sambil menunggu disamping Retha tak lupa aku berdoa kepada tuhan dalam hati agar nyawa Retha diselamatkan. Setiap aku menatap wajah Retha, rasa sesak memenuhi seluruh dadaku. Ingin rasanya aku menangis keras, namun kutahan sekuat tenaga. Sudah jadi prinsip cowok pantang nangis dihadapan cewek, apalagi dihadapan orang banyak. Tak boleh lembek, harus berdiri kokoh apapun keadaanya. Kalau tidak kokoh, bagaimana mungkin bisa menguatkan orang lain. Jadi rasa itu kutahan sekuat-kuatnya, dan untunglah berhasil.

Kualihkan pandangan pada ibu Retha, beliau perempuan paruh baya, umurnya mungkin sekitar 50-an, lebih muda dari ibuku. Aku biasa memanggilnya mamak Retha. Kesedihannya seperti agak berkurang. Hanya matanya saja yang masih sembab. Aku mengenal seluruh keluarga Retha. Karena sudah sering datang kerumahnya. Retha hanya punya Ibu, 2 adik laki-laki yang masih sekolah di SMP, dan satu kakak perempuan yang sudah bersuami dan punya anak dua. Mereka tinggal dalam satu rumah. Sedangkan Ayah Retha sudah meninggal sekitar 5 tahun lalu.

Perlahan dengan agak-agak takut aku menyapa ibu Retha didepanku sambil minta maaf karena tak mampu melindungi Retha. Asli saat itu aku takut dimarahi. Selain itu aku juga khawatir keluarganya menyalahkan aku, atau kemungkinan terburuk menganggap aku dan Er** adalah pelaku yang membuat kondisi Retha seperti ini.

Syukurlah, ibu Retha ternyata menanggapinya dengan baik. Mereka sama sekali tak menyalahkan apalagi menuduh kami pelakunya. Malahan mereka berterima kasih karena kami berdua telah mau mengantarkan Retha dalam kondisi itu kerumah. Orang lain, walaupun ketemu belum tentu mau menolong. Ibu Retha hanya meminta agar aku menceritakan peristiwa itu apa adanya.

Terimakasih tuhan, satu beban pikiran telah terlepas. Aku benar-benar bersyukur sekali.
Aku pun menceritakan kejadian itu dari awal hingga akhirnya kami menemukan Retha. Mendengar penuturanku, sepertinya ibu Retha tidak terkejut. Beliau hanya menanggapi biasa saja. Begitu juga kakak dan adik-adik Retha. Tidak ada respon berlebihan. Aku dan Er** cukup heran. Ada apa sebenarnya?

Jam mendekati pukul 05.00 pagi terdengar suara adzan dari masjid yang cukup dekat. Mengingat keadaan saat itu aku memilih tidak menunaikan shalat, namun lebih memilih menjaga Retha saja. Ibu Retha juga sepertinya tidak berniat untuk shalat subuh. Mungkin beliau juga berpikiran sama, masih khawatir keadaan Retha. Sampai akhirnya waktu shalat pun berlalu dengan sempurna.

Setengah jam kemudian dokter masuk keruangan untuk mengecek keadaan Retha. Hasilnya menurut dokter sudah lebih baik. Tekanan darah normal, kondisi napas juga baik-baik saja. Tampaknya tidak perlu dirujuk. Dan benar saja, beberapa saat setelah dokter pergi Retha sudah bisa membuka matanya. Tangannya bergerak-gerak seperti ingin menyentuh sesuatu. Ibu Retha benar-benar gembira melihat keadaan anaknya itu. Begitu juga saudaranya yang lain. Lebih-lebih diriku, anehnya aku malah ingin menangis bahagia saking gembiranya. Kusentuh tangan kirinya dengan hati-hati, karena disanalah jarum infus tertancap. Aku tak ingin Retha kesakitan. Kulihat matanya melirik kearahku walaupun masih dalam kondisi lemas sekali. Kulihat juga mulut Retha seperti bergerak-gerak ingin mengucapkan sesuatu. Walaupun aku dan ibu Retha sudah mendekatkan telinga kemulutnya tidak sedikitpun ada kata-kata yang terdengar selain suara hembusan angin. Sepertinya benar kata dokter, bahwa ada sesuatu yang menyumbat dikerongkongannya. Aku pun membuang jauh semua pikiran buruk, yang penting Retha baik-baik saja.

Jam menunjukkan pukul 06.00. Matahari telah mulai mengintip dari arah timur. Namun cahayanya masih terhalang dedaunan rimbun pepohonan. Pagi itu udara benar-benar sejuk. Seiring kondisi Retha yang semakin membaik, pagi ini benar-benar sempurna, pikirku

Aku dan Er** berencana ingin segera pulang. Senin pagi itu aku harus ada ditempat kerja pada pukul delapan. Kami berdua pamitan dengan keluarga Retha. Menyalami mereka satu persatu. Untuk Retha, aku juga menyalaminya. Retha merespon sentuhanku dengan baik. Namun saat aku membisikkan kata-kata penyemangat didekat telinganya, kulihat beberapa butir airmatanya meleleh keluar. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Sebuah isyarat? Aku tak berani menebaknya.

Melihat keadaan Retha didepanku, ingin rasanya aku menciumnya sekedar memberi kekuatan seperti di film-film atau sinetron, tapi keadaan sangat tak memungkinkan. Akhirnya aku memilih untuk merapikan rambutnya yang terurai sambil tersenyum.

Setelah keluar dari tempat itu aku dan Er** memulai perjalanan kami untuk pulang kekampung halaman. Kembali Er** yang kusuruh mengendarai motor, sedangkan aku memilih duduk dibelakang. Entah kenapa perasaan tidak enak kembali menyeruak kedalam pikiranku. Aneh saja, padahal kondisi Retha sudah lebih baik. Seharusnya aku bahagia. Namun rasa khawatir benar-benar tak bisa kuhilangkan disepanjang perjalanan. Jika saja hari ini tidak bekerja ingin sekali aku terus berada disamping Retha. Belum lagi soal respon keluarganya yang terkesan biasa saja saat aku menceritakan peristiwa malam itu. Ada apa dalam keluarga Retha?