Rabu, 22 Januari 2020

Retha 3

Setibanya dirumah, sore itu aku duduk seorang diri disebuah kursi dalam kamarku. Kutundukkan kepala sampai menyentuh lantai meja kayu yang ada didepanku sambil memejamkan mata. Aku benar-benar sedang dalam kegalauan yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Sedih. Sakit sekali. Sejak siang tadi aku belum makan apa-apa, namun rasanya sama sekali tak lapar. Melangkah keluar, untuk mandi pun, kakiku tak kuasa, seakan lemas tak berdaya. Segala hal membuncah didalam dadaku membuat napas semakin sesak.

Sayup-sayup dari rumah tetangga, terdengar alunan lagu dangdut yang semakin menyayat hati. Entah kenapa seperti kebetulan lagu yang diputar adalah “pembaringan terakhir” dari Gebby Parera. Beberapa liriknya yang kuingat berbunyi:
………………………………..
‘serasa petir menyambar ditengah terik matahari’
‘disaat aku mendengar kau telah menutup mata selamanya’
‘serasa sesak napasku ini’
‘seakan bumi berhenti berputar’
…………………………………
‘kini pembaringanmu, jadi tanah yang merah’
‘dihiasi malam-malam dingin’
…………………………………
‘ingin rasanya diriku jadi selimut malammu’
‘agar malam dingin menjadi malam yang hangat’

………………………………….
Mendengar alunan lagu itu membuat mataku semakin hangat. Pada akhirnya, beberapa butiran bening seperti meluncur dari kedua mataku, berjatuhan kelantai tanpa bisa kutahan. Aku benar-benar sesenggukan. Hanya ada nama Retha yang memenuhi pikiranku….😭😭

*Up…up…up….ni cerita sekali lagi melenceng jauh sekali, alurnya gak nyambung dengan part II woyy’,😖😖
seseorang protes mengagetkanku…….😱😱

Sorry, sorry, santuy ya gaess, jadi gini…..hmm, cerita zaman now emang gitu, alurnya tak teratur. Sengaja dibuat ‘mundur maju, maju mundur, maju mundur……cantik’..😁😁😂
Dibuat begitu untuk memainkan emosi pembaca, biar mereka masuk kedalam cerita lalu kebingungan, hahaaaa* paham ya say…………….

Oke, kembali kukatakan, bahwa antara aku dan Retha tidak ada hubungan istimewa selain hanya sebagai teman biasa. Lagian ini terjadi dalam mimpi, jadi tak perlu diprotes dan dihayati…😁

Terus, part II sudah baca ‘kan?
Sip, kita lanjut………….😁

Sepeninggal Devi dan Retha, aku masih dalam keadaan berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Aku terus menatap sorot lampu motor mereka yang semakin menjauh, sampai benar-benar menghilang.
Aku kembali duduk ditangga sekolah menunggu janji Retha akan kembali. Untuk mengisi waktu segera kubuka hape Retha, membuka pesan masuk, namun sayang tak ada satupun pesan yang tersisa, kosong. Semua sms telah dihapus. WA juga kosong. Sedangkan akun Fb tak bisa dibuka karena kelihatannya sudah rusak. Sekitar sejam aku menunggu Retha yang tak kunjung datang, akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang kerumah saja dengan jalan kaki. Aku berharap jika saja Retha kembali lalu tak menemukan aku disana, ia pasti akan menyusul kerumah. Letak rumahku tak begitu jauh dari gedung sekolah itu. Mungkin ada sekitar 300 meter saja. Sesampainya dirumah aku langsung membaringkan diri diatas kasur dengan pikiran yang masih kalut. Jam saat itu menunjukkan hampir pukul 23.00. Suara elektun masih kedengaran jelas walaupun dari jarak yang cukup jauh. Sepertinya music DJ sedang dimainkan.

Biasanya kan begitu gaess, ditempat kita ini kalau tengah malam saatnya music DJ menguasai panggung. Lalu kita akan melihat artis-artis seksi dan penontonnya akan berjoget menggila..😁😍😍
Waktu masih remaja dulu, inilah saat-saat yang dinanti…..asyik-asyik-asyik… 😁😂

Kembali pikiranku teralih pada Retha. Aku sangat khawatir dengan keadaannya. Kalau-kalau saja ada hal buruk yang menimpanya. Apalagi ini sudah tengah malam. Kucoba memejamkan mata untuk tidur saja, namun sungguh tak bisa. Cukup lama hal itu berlangsung hingga jam menunjukkan hampir pukul 24.00. Aku sendiri masih dalam pikiran yang kalut. Lalu segera kubuka hapeku untuk menelepon nomor hape Retha demi mengetahui keadaannya. Tersambung, tapi……….ya tuhan, hape Retha berdering diatas mejaku. Baru ingat ternyata, tadi kan hapenya dititip padaku,..😢😢

Setelah berpikir sejenak, aku lalu menelepon seorang teman dekat. Namanya Er**. Aku tahu ia masih ditempat acara. Aku yakin saat itu ia sedang bergoyang santuy bersama teman-teman lain…bisa jadi juga sedang nyawer artis-artis seksi.

Kalau pun dia sudah pulang, jam segini, temanku itu biasanya belum tidur. Kalau tidak nge-game ya, sedang berselancar didunia maya. Kebiasaan itulah yang membuat ia tidur lembur, selalu bangun kesiangan. Tidurnya bisa sampai jam 10 siang, hebat’kan?😁😂

Walau pun begitu dia adalah teman sejati, selalu ada dalam suka dan duka. Pertolongan apapun diminta, ia tak pernah menolak memberi bantuan.

*maaf ya Er**, jika kau baca cerita ini janganlah marah. Namamu masuk dalam cerita lebay, ngawur dan tak manfaat ini sebagai pelengkap saja biar lebih greget..😂😂

Tak berapa lama, suara tuuuut…….tuuuut diseberang sana ada juga yang mengangkat. Rupanya temanku itu sedang istirahat diwarung minum es. Katanya kelelahan habis joget beberapa lagu. Untunglah, pikirku. Kalau sedang asyik joget gak bakal diangkat nih.

Aku meminta Er** untuk segera datang kerumahku secepatnya. Ada urusan yang sangat penting dan mendesak. Tanpa protes Er** menyanggupi permintaanku. Telepon pun kusudahi. Beberapa saat kemudian suara sepeda motor matic sudah berhenti didepan rumahku. Aku segera keluar menghampiri Er**. Kami basa-basi sesaat sambil aku menceritakan kejadian barusan.

Aku kembali meminta tolong agar Er** menemani aku menuju kesuatu tempat sebagaimana tertulis di sms pada hape Retha. Bukan berarti aku penakut ya. Soalnya kalau berangkat sendiri, lalu ada ‘hantu urang’ bagaimana??😁😂

Lagian kalau ada yang menemani, kan lumayan bisa diajak bertukar pikiran seandainya terjadi hal buruk.😁

Aku dan Er**sangat tahu tempat itu. Soalnya kami sering berburu menembak burung disana. Tempat itu berupa sebuah bekas logpond perusahaan. Di sana banyak terdapat rongsokan alat-alat berat yang sudah lama tak beroprasi. Tanpa protes dan membantah Er** pun siap untuk menemaniku kesana.
Aku kembali masuk rumah mengambil senter. Lalu buru-buru mengeluarkan sepeda motor sendiri dari dalam rumah. Dengan sepeda motor masing-masing, beriringan kami menuju ketempat itu. Di lokasi perusahaan, kami langsung memarkir motor tepat didepan pos “Wakar” (sekuriti). Aku dan Er** sudah lama kenal orang yang menjaga tempat itu. Seorang kakek tua. Pendengarannya sudah tidak sejelas dulu. Matanya juga rabun, maklum bawaan umur.

Saat kami tiba, pintu pos wakar sedang tertutup, namun didalamnya seperti ada seberkas cahaya lampu. Kami tahu si kakek tua itu masih ada disana. Dan sepertinya ketiduran.

Aku lalu cepat-cepat mengetuk pintu pos itu. Pintu terbuka. Kakek tua itu sepertinya kaget dengan kedatangan kami. Dia lalu bertanya ada keperluan apa. Aku pun menceritakan semua hal yang baru saja terjadi. Bahwa kami kehilangan teman, dan mungkin saja ada disekitar sini. Beliau sepertinya tidak terlalu mengerti dan tidak tahu apa-apa. Namun beliau mau saja menemani kami untuk berkeliling di area perusahaan demi mencari keberadaan Retha. Mulailah kami bertiga, dengan memakai senter memeriksa setiap sudut di area perusahaan yang luasnya sekitar 1 hektar itu. Kami berpencar memeriksa setiap bagian, mulai dari sela-sela rongsokan kendaraan, sampai dibawah alat-alat berat, namun keberadaan Retha tak juga ditemukan. Kami akhirnya berkumpul kembali di pos. Lalu atas saran Er** kami kembali mencari Retha kebagian tengah Area, pada sebuah kolam kecil bekas galian alat berat. Setahuku kolam itu airnya dangkal. Kali ini kami lakukan bertiga menuju kesatu arah

Sesampainya kami di kolam kecil itu aku pun menyorotkan senter kearah tengah. Dan Astaga……..tuhan, diujung cahaya senter itu terlihat sesosok tubuh manusia. Seorang wanita. Benar saja, dialah Retha. Tubuh Retha terbaring telungkup ditepi kolam dalam kondisi memprihatinkan. Pada bagian bawah tubuhnya masih berada didalam air, sebagian lagi berada ditanah kering.
Aku dan Er** segera menghampiri tubuh Retha. Kami berdua lalu mengeluarkannya dari kolam. Si kakek tua sengaja kami minta untuk menyorotkan senter saja. Setelah keluar dari kolam kami langsung membawanya ke Pos wakar. Di sana tubuh Retha yang basah kuyub kami baringkan pelan-pelan pada sebuah bantal.

Aku benar-benar bingung melihat keadaan Retha, tak tahu mau melakukan apa. Dibawah cahaya lampu terlihat wajah Retha berdarah-darah. Terutama pada bagian hidung dan telinganya. Seperti habis dipukuli dengan benda tumpul. Baju yang dikenakan juga kelihatan kotor dan robek disana sini. Begitu juga dengan roknya seakan baru saja dirobek orang. Dari perkiraan kami bertiga, Retha kemungkinan besar dipukuli orang, atau mungkin diinjak-injak, dicekik, pakaiannya dirobek, setelah tak sadarkan diri lalu diperkosa dan dilempar orang kedalam kolam. Mereka meninggalkannya begitu saja. Beberapa saat kemudian ada kemungkinan Retha sadar, lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha keluar dari kolam itu. Namun dengan tubuh yang rapuh, ia hanya mampu sampai ditepi kolam, kemudian berteriak minta tolong, tetapi tak ada yang seorangpun yang mendengarnya. Termasuk kakek wakar, karena pendengaran beliau memang kurang baik. Pada akhirnya Retha pun terkapar ditempat itu. Siapakah yang sampai tega melakukan ini pada Retha?

Rasa sedih, kasian dan takut benar-benar merasuki pikiranku kala itu. Kulihat wajah Er** dan kakek tua pucat pasi. Mereka sepertinya juga ketakutan. Takutnya Retha sudah tak bernapas lagi. Ditengah kebingungan itu perlahan aku meraba detak nadi pada tangan dan leher Retha. Syukurlah, detak nadinya masih ada. Segera kubuka baju kaus yang kupakai untuk mengelap darah pada wajah Retha sambil mengguncang-guncang tubuhnya dengan pelan. Sekarang dapat kudengar suara napasnya naik turun. Gerak turun naik jantung pada dadanya juga mulai terlihat. Kami bertiga sedikit lega. Segera aku dan Er** pamit pada kakek wakar untuk membawanya pulang. Sepeda motor Er** kami tititpkan disana. Dengan menggunakan sepeda motorku kami berboncengan tiga menuju rumahku

Setiba dirumahku tubuh Retha segera kubawa masuk. Seisi rumah kaget dengan kejadian itu. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan lewat pukul 01.00. Tubuh Retha yang lemah lunglai tak berdaya kami baringkan diatas kasur. Keadaannya tak berubah, sama seperti tadi, hanya ada detak jantung dan sesekali suara menarik dan menghembuskan nafas. Matanya seperti tertutup rapat.

Atas saran keluarga, aku dan Er** harus secepatnya membawa Retha pulang kerumah orang tuanya di kampung G. Sebelum berangkat, lewat telepon, aku pun mengabari kakak perempuan Retha tentang peristiwa yang menimpanya. Aku juga meminta agar ia memberitahu ibunya mereka dan bersiap menyambut kedatangan kami. Aku segera berganti baju. Tubuh Retha pun kami selimuti dengan kain. Perjalanan cukup jauh akan kami tempuh malam itu.

Setelah semuanya siap Retha pun sudah kami naikkan diatas motor. Posisi Retha kami taruh duduk ditengah antara aku dan Er**. Temanku itulah sebagai jokinya. Sepeda motor kami bergerak perlahan menembus malam yang pekat dan dingin. Kabut malam itu cukup tebal menghalangi pandangan. Jalanan benar-benar sunyi, tanpa ada satupun kami berpapasan dengan kendaraan lain. Sekitar 30 menit sampailah kami dirumah Retha.

Di sana telah ada ibu, paman, kakak, adik-adik serta beberapa tetangga dekat rumah Retha menyambut kami dengan muka yang kelihatan sedih. Apalagi ibunya, sepertinya sejak dari tadi beliau menangis.

Aku mengenal semua orang-orang itu karena sudah sering mampir kerumah Retha.
Tak lama kami berada disana, tanpa dibawa masuk, kami diarahkan untuk langsung membawa Retha ke puskesmas terdekat dikampung itu. Setibanya dipuskesmas tubuh Retha langsung ditangani dengan sigap oleh beberapa perawat yang tugas piket malam. Tidak ada dokter atau mantri. Kami semua disuruh menunggu diluar ruangan. Aku yang saat itu masih dalam kebingungan mengintip dari kaca ruangan. Kulihat perawat memasang infus, lalu membuka dan mengganti pakaian Retha dengan kain warna hijau. Persis seperti orang yang sudah mati.

Beberapa saat kemudian, seorang perawat keluar menemui kami. Dia berbicara dihadapan kami mengenai kondisi Retha. Katanya ada penyumbatan di tenggorokan, kemungkinan semacam gumpalan darah beku. Harus secepatnya diberi oksigen lalu gumpalan itu akan dikeluarkan. Kalau tidak akan membahayakan nyawa. Sayangnya di puskesmas itu tabung oksigen terpakai oleh pasien lain. Jadi kalau kami setuju, Retha akan diberikan Rujukan untuk dikirim ke Puskesmas yang lebih lengkap di kecamatan KJ.

Tanpa pikir panjang seluruh keluarga menyetujuinya. Beberapa saat kemudian sebuah ambulan telah meluncur menembus kegelapan membawa Retha dan keluarganya menuju kesana. Aku dan Er** mengikuti dari belakang dengan sepeda motor. Jarak dari kampung G ke Kecamatan KJ tidak begitu jauh. Jalanannya juga mulus. Hanya sekitar 20 menit kami telah sampai.

Di sana ada 2 orang perawat piket dan satu orang dokter umum yang langsung menanganinya. Retha langsung dibawa masuk dalam sebuah ruangan. Sedangkan kami semua kembali disuruh menunggu diluar.

Sekitar setengah jam menunggu akhirnya para perawat dan dokter keluar juga dari ruangan.
Dihadapan kami dokter berbicara mengenai kondisi Retha. Katanya kondisi Retha cukup berbahaya. Menurut perkiraan dokter, ada sumbatan berupa gumpalan darah beku dikerongkongan menghalangi aliran udara pernapasan. Dan gumpalan itu harus dikeluarkan. Walau pun sudah diberikan udara melalui tabung oksigen, itu hanya cukup menolong beberapa saat saja. Namun kembali dokter menyampaikan bahwa itu baru perkiraan awal. Mereka akan tetap mengontrol perkembangan obat-obat yang diberikan beberapa saat kedepan. Bila tidak ada perubahan juga, maka akan dirujuk kerumah sakit di kota yang fasilitasnya lebih lengkap.

Masih penasaran, aku pun memberanikan diri bertanya mengenai kondisi luka-luka yang ada ditubuh Retha kepada dokter. Menurut jawaban dokter luka-luka yang berada diwajah dan kepala Retha tidak terlalu berbahaya, hanya beberapa pukulan benda tumpul, bisa juga pukulan tangan, semacam tamparan keras. Yang cukup berbahaya ada pada bagian leher, kemungkinan bekas dicekik dengan keras, bisa juga diinjak-injak dengan kaki. Namun sekali lagi itu perkiraan awal. Lalu apakah diperkosa?? Kataku. Dokter menjawab tidak menemukan ada bekas kekerasan dan pemerkosaan. Aku mengucap syukur dalam hati, bahwa kondisi Retha tidak seperti yang kuperkirakan.

Akhirnya dokterpun pamit meninggalkan kami menuju keruangan lain. Kami semua diperbolehkan masuk untuk melihat dan menjaga Retha. Setelah berada dalam ruangan itu, kulihat jam sudah menunjukkan hampir pukul 04.00 pagi. Udara dalam ruangan itu cukup hangat. Hanya ada Retha seorang sebagai pasiennya. Kami semua berdiri mengelilngi sebuah ranjang pasien yang diatasnya terbaring Retha dalam kondisi mata masih terpejam tak sadarkan diri. Sebuah selang kecil dari sebuah tabung besar menempel dihidung Retha sebagai alat bantu pernapasan telah terpasang. Dengan bantuan alat itu pula, kami tahu sekarang Retha sudah dapat bernapas dengan teratur. Melihat kondisinya yang sudah ditangani dengan baik kami semua sedikit bisa ikut bernapas lega.

Di samping ranjang Retha ada 2 kursi plastik yang sepertinya memang disediakan untuk penunggu pasien. Posisi kursi itu berada dikanan dan kiri kepala pasien. Entah kenapa saat itu kakak Retha menyuruh aku dan ibunya untuk duduk pada kursi plastik itu. Sedangkan yang lain, semua duduk dilantai puskesmas yang terbuat dari keramik.

Sambil menunggu disamping Retha tak lupa aku berdoa kepada tuhan dalam hati agar nyawa Retha diselamatkan. Setiap aku menatap wajah Retha, rasa sesak memenuhi seluruh dadaku. Ingin rasanya aku menangis keras, namun kutahan sekuat tenaga. Sudah jadi prinsip cowok pantang nangis dihadapan cewek, apalagi dihadapan orang banyak. Tak boleh lembek, harus berdiri kokoh apapun keadaanya. Kalau tidak kokoh, bagaimana mungkin bisa menguatkan orang lain. Jadi rasa itu kutahan sekuat-kuatnya, dan untunglah berhasil.

Kualihkan pandangan pada ibu Retha, beliau perempuan paruh baya, umurnya mungkin sekitar 50-an, lebih muda dari ibuku. Aku biasa memanggilnya mamak Retha. Kesedihannya seperti agak berkurang. Hanya matanya saja yang masih sembab. Aku mengenal seluruh keluarga Retha. Karena sudah sering datang kerumahnya. Retha hanya punya Ibu, 2 adik laki-laki yang masih sekolah di SMP, dan satu kakak perempuan yang sudah bersuami dan punya anak dua. Mereka tinggal dalam satu rumah. Sedangkan Ayah Retha sudah meninggal sekitar 5 tahun lalu.

Perlahan dengan agak-agak takut aku menyapa ibu Retha didepanku sambil minta maaf karena tak mampu melindungi Retha. Asli saat itu aku takut dimarahi. Selain itu aku juga khawatir keluarganya menyalahkan aku, atau kemungkinan terburuk menganggap aku dan Er** adalah pelaku yang membuat kondisi Retha seperti ini.

Syukurlah, ibu Retha ternyata menanggapinya dengan baik. Mereka sama sekali tak menyalahkan apalagi menuduh kami pelakunya. Malahan mereka berterima kasih karena kami berdua telah mau mengantarkan Retha dalam kondisi itu kerumah. Orang lain, walaupun ketemu belum tentu mau menolong. Ibu Retha hanya meminta agar aku menceritakan peristiwa itu apa adanya.

Terimakasih tuhan, satu beban pikiran telah terlepas. Aku benar-benar bersyukur sekali.
Aku pun menceritakan kejadian itu dari awal hingga akhirnya kami menemukan Retha. Mendengar penuturanku, sepertinya ibu Retha tidak terkejut. Beliau hanya menanggapi biasa saja. Begitu juga kakak dan adik-adik Retha. Tidak ada respon berlebihan. Aku dan Er** cukup heran. Ada apa sebenarnya?

Jam mendekati pukul 05.00 pagi terdengar suara adzan dari masjid yang cukup dekat. Mengingat keadaan saat itu aku memilih tidak menunaikan shalat, namun lebih memilih menjaga Retha saja. Ibu Retha juga sepertinya tidak berniat untuk shalat subuh. Mungkin beliau juga berpikiran sama, masih khawatir keadaan Retha. Sampai akhirnya waktu shalat pun berlalu dengan sempurna.

Setengah jam kemudian dokter masuk keruangan untuk mengecek keadaan Retha. Hasilnya menurut dokter sudah lebih baik. Tekanan darah normal, kondisi napas juga baik-baik saja. Tampaknya tidak perlu dirujuk. Dan benar saja, beberapa saat setelah dokter pergi Retha sudah bisa membuka matanya. Tangannya bergerak-gerak seperti ingin menyentuh sesuatu. Ibu Retha benar-benar gembira melihat keadaan anaknya itu. Begitu juga saudaranya yang lain. Lebih-lebih diriku, anehnya aku malah ingin menangis bahagia saking gembiranya. Kusentuh tangan kirinya dengan hati-hati, karena disanalah jarum infus tertancap. Aku tak ingin Retha kesakitan. Kulihat matanya melirik kearahku walaupun masih dalam kondisi lemas sekali. Kulihat juga mulut Retha seperti bergerak-gerak ingin mengucapkan sesuatu. Walaupun aku dan ibu Retha sudah mendekatkan telinga kemulutnya tidak sedikitpun ada kata-kata yang terdengar selain suara hembusan angin. Sepertinya benar kata dokter, bahwa ada sesuatu yang menyumbat dikerongkongannya. Aku pun membuang jauh semua pikiran buruk, yang penting Retha baik-baik saja.

Jam menunjukkan pukul 06.00. Matahari telah mulai mengintip dari arah timur. Namun cahayanya masih terhalang dedaunan rimbun pepohonan. Pagi itu udara benar-benar sejuk. Seiring kondisi Retha yang semakin membaik, pagi ini benar-benar sempurna, pikirku

Aku dan Er** berencana ingin segera pulang. Senin pagi itu aku harus ada ditempat kerja pada pukul delapan. Kami berdua pamitan dengan keluarga Retha. Menyalami mereka satu persatu. Untuk Retha, aku juga menyalaminya. Retha merespon sentuhanku dengan baik. Namun saat aku membisikkan kata-kata penyemangat didekat telinganya, kulihat beberapa butir airmatanya meleleh keluar. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Sebuah isyarat? Aku tak berani menebaknya.

Melihat keadaan Retha didepanku, ingin rasanya aku menciumnya sekedar memberi kekuatan seperti di film-film atau sinetron, tapi keadaan sangat tak memungkinkan. Akhirnya aku memilih untuk merapikan rambutnya yang terurai sambil tersenyum.

Setelah keluar dari tempat itu aku dan Er** memulai perjalanan kami untuk pulang kekampung halaman. Kembali Er** yang kusuruh mengendarai motor, sedangkan aku memilih duduk dibelakang. Entah kenapa perasaan tidak enak kembali menyeruak kedalam pikiranku. Aneh saja, padahal kondisi Retha sudah lebih baik. Seharusnya aku bahagia. Namun rasa khawatir benar-benar tak bisa kuhilangkan disepanjang perjalanan. Jika saja hari ini tidak bekerja ingin sekali aku terus berada disamping Retha. Belum lagi soal respon keluarganya yang terkesan biasa saja saat aku menceritakan peristiwa malam itu. Ada apa dalam keluarga Retha?

1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.club....^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    BalasHapus