Rabu, 22 Januari 2020

Retha 4

Temanku Eris (bukan nama samaran), terus memacu sepeda motor yang kami kendarai. Aku memintanya agar memacu lebih cepat lagi, soalnya buru-buru mau ketempat kerja. Dengan kecepatan sekitar 60-80 km/jam tak terasa dari kecamatan KJ yang cukup jauh, dalam waktu sekitar 30 menit saja kami sudah sampai dikampung.

Sebelum pulang kerumah, kami pergi ketempat kakek wakar untuk mengambil motor Eris yang kami titipkan tadi malam. Di sana, kakek wakarnya tidak ada, mungkin sudah pulang kerumahnya. Setelah menemukan motor Eris, kami pun berpisah untuk pulang kerumah masing-masing. Aku yakin, setiba dirumah pagi itu Eris akan langsung tidur, mungkin bisa tidur sampai sore. Soalnya kami semalaman belum tidur. Kalau sudah kebiasaan, Siang jadi malam, Malam jadi siang. 😁😁

Dirumahku, aku langsung di sambut ibuku dengan banyak pertanyaan. Saking bingungnya aku hanya bisa menjawab “Retha baik-baik saja”. Tampaknya ibuku sudah cukup puas dengan jawabanku itu.
Ngantuk? Tidak, aku saat itu sama sekali tidak ngantuk, hanya badan agak lemas. Mungkin pengaruh terlalu banyak yang dipikirkan.

Kuambil handuk lalu turun kesungai untuk mandi pada sebuah “rakit”. Setelah selesai, lalu naik kerumah, berpakaian, sarapan sedikit, aku langsung berangkat ketempat kerja.
Ditempat kerjaku hari senin pagi itu, aku disuruh pimpinan untuk menghadiri sebuah pertemuan dikecamatan K mewakili rekan kerja yang lain. Ada semacam pelatihan teknis tentang keuangan. Dengan sedikit terpaksa aku mau saja mengikuti perintah pimpinan. Beliau itu perempuan, lumayan galak soalnya…😁😁

Berangkatlah aku ke kecamatan K. Di sana acara pelatihan teknis sudah berlangsung sejak beberapa saat lalu. Aku sepertinya telat sekitar 10 menit. Tanpa melalui proses aku langsung diperbolehkan masuk untuk mengikutinya.

Didalam ruangan itu ada banyak sekali peserta yang lain. Kami yang ada disana dibentuk dalam beberapa kelompok, lalu diberikan tumpukan kertas yang isinya entah apa. Pokoknya banyak sekali.
Astaga, pikirku…. bakal lama nih,..😁😁
Bukan hanya aku sebenarnya, anggota kelompok lain juga terdengar riuh, sama-sama agak pusing mungkin.

Saat itu hape aku matikan deringannya, cukup menghidupkan getarannya saja biar tidak mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung. Sejujurnya saat itu aku agak takut menyentuh hape. Takut kalau-kalau hape ada yang tetiba menghubungi mengabarkan berita buruk.
Walaupun masih memikirkan keadaan Retha, sedapat mungkin pikiran aku alihkan bekerja maksimal bersama teman-teman lain untuk menyelesaikan tugas kami.

Sekitar pukul 09.00. hape yang ada didepanku bergetar-getar. Aku menatap layar hape dengan agak takut. Sebuah nama panggilan dari nomor Heni kakak Retha. Melihat nama Heni memanggil, aku mengangkatnya dengan cepat. Pasti ada hal penting, pikirku. Hape kubawa keluar ruangan.

“halo,, ***** kamu dimana??” suara dari seberang.
“di kecamatan K, ikut pelatihan. Ada apa ya?” balasku
“kamu yang sabar ya *****, Retha sudah pergi meninggalkan kita jam 08.00 tadi, kalau bisa secepatnya kamu kesini, rencananya akan dimakamkan hari ini juga”. Suara Heni terdengar sedikit terisak-isak.😢😢
“yaa…..”. jawabku singkat dengan suara bergetar.😢😢
Panggilan pun diakhiri.

Jlebb…aku tersentak mendengar kabar itu. Aku benar-benar sok mendengarnya. Sesuatu yang kutakutkan terjadi juga. Tubuhku menjadi panas dingin. Jantung serasa berhenti bekerja. Tanganku gemetar. Antara percaya dan tidak percaya. Kuyakinkan diriku kalau ini hanya mimpi, ternyata tidak. Aku saat ini dalam keadaan sadar. Padahal baru beberapa jam lalu aku bersama Retha. Keadaannya juga baik-baik saja. Tidak mungkin dia pergi secepat itu. Tapii… bukankah berita ini dari keluarganya?? Mana mungkin mereka berbohong. 😢😢

Pada akhirnya aku harus percaya juga bahwa Retha saat ini memang benar-benar telah berpulang. Hatiku benar-benar sakit seperti diiris-iris dengan pisau. Mau nangis? Tapi sekarang aku sedang mengikuti pelatihan, akhirnya sekuat-kuatnya kutahan perasaan itu. Syukurlah Tuhan yang maha pengasih masih memberikan sedikit kekuatan hingga aku masih dapat bertahan. Kalau tidak, mungkin aku sudah pingsan.😢😢

Aku berusaha menenangkan diriku. Kutarik napas dalam-dalam berulang kali. Sedikit berhasil dan aku sudah dapat menguasai diri.

Aku lalu melangkah masuk kembali kedalam ruangan dengan perasaan hampa. Duduk diantara teman-teman yang sedang sibuk-sibuk melanjutkan tugas kelompok kami. Namun kali ini aku duduk bengong saja, tanpa melakukan apa-apa. Seorang teman yang mengamatiku rupanya penasaran dan menanyakan keadaanku. Aku hanya bisa menjawab bahwa aku sedang kurang enak badan dan sakit kepala. Teman-teman menyarankan agar aku minta izin pulang saja. Namun aku menolak. Tugas pun terus kami lanjutkan bersama untuk diselesaikan.

Pukul 12.00, berkat kerjasama kelompok, tugas yang diberikan dapat kami selesaikan dengan baik. Waktunya istirahat. Ada kemungkinan nanti diberikan lagi tugas kedua untuk dikerjakan pada sore hari.

Aku benar-benar sudah tidak tahan ingin secepatnya kerumah Retha. Aku langsung pulang tanpa pamit dan meminta izin. Aku tidak perduli lagi dengan pelatihan itu. Kupacu motor dengan kecepatan tinggi menuju rumahku

Sesampainya dirumah, dengan sedih kuberitahu ibuku bahwa Retha sudah meninggal. Ibuku kelihatannya sangat sedih juga. Walaupun begitu, ibuku yang baik hati tetap masih bisa membesarkan hatiku. Beliau menasehati agar aku bersabar dan secepatnya kerumah Retha. Tak lupa saat itu aku juga menelepon Eris mengabarkan berita yang sama. Kuminta ia bersiap-siap menemani aku untuk kesana.
Dari suara yang kudengar, aku tahu temanku itu juga ikut bersedih. Namun seperti biasa ia tak pernah menolak diminta bantuan.

Setelah ganti baju, aku menuju rumah Eris dengan sepeda motor untuk menjemputnya. Kulihat ia sudah bersiap-siap menungguku dipinggir jalan.
Sempat terjadi perdebatan kecil diantara kami. Eris tidak setuju kalau aku yang mengendarai kendaraan.
Ia sepertinya khawatir keadaanku. Bisa-bisa berbahaya. Namun aku terus memaksa, kukatakan bahwa diriku baik-baik saja. Seperti biasa, Eris akhirnya setuju tanpa bisa membantah lagi.

Dan memang benar, saat itu, anehnya keadaanku terasa baik-baik saja. Aku yakin tuhanlah yang sedang menolongku. Rasa sedih yang kurasakan sebelumnya sudah jauh berkurang. Hanya Ada rasa lemas kurang tenaga. Belum makan memang. Sama sekali tidak ada selera.
Setelah Eris duduk dibelakangku, mulailah aku menghidupkan mesin motor. Kami berboncengan berdua bergerak perlahan menuju ke kampung G. Tempat dimana Retha saat itu kubayangkan telah terbujur kaku.

Di perjalanan kesana, kutarik tali gas motor cukup dalam. Motor Jupiter MX King 150 yang kami kendarai melaju dengan kencangnya. Aku tak sempat melihat kecepatannya di speedometer. Eris sampai beberapa kali menepuk pundakku agar mengurangi kecepatan namun aku seakan tak perduli, karena ingin secepatnya ada disana. Untunglah tikungan demi tikungan dapat kami lewati dengan baik. Sampailah kami didepan rumah Retha dengan selamat.

Di rumah Retha tidak begitu banyak ada orang. Hanya ada sebuah tenda terpasang dan beberapa tetangga sedang sibuk mengambil piring-piring kotor. Sepertinya kedatangan kami telat. Paman Retha menghampiri kami. Di suruhnya aku pergi ke tempat pemakaman. Jaraknya sekitar 500 meter dan berada di samping sebuah Mesjid Besar. Tak sulit menemukan pemakaman itu karena memang berada dipinggir jalan umum. Hanya beberapa menit kami sudah ada di gerbang pemakaman yang berpagar putih. Motor pun segera kami parkir disamping pagar.

Dengan langkah ringan aku dan Eris langsung masuk. Keadaan disana sepi. Orang-orang sudah pada pulang. Terlihat ditengah-tengah pemakaman itu ada ibu Retha dan Heni kakaknya. Kami pun langsung mendekati mereka. Semakin mendekat, ibu Retha pun menyambut kami. Ibu Retha menatap sendu kearahku. Astaga…tuhan, aku baru sadar wajah ibu Retha ternyata mirip sekali dengannya. Rupanya wajah Retha menurun dari pihak ibu. Memandangnya serasa memandang Retha. Sedangkan adik-adik dan kakaknya tidak ada kemiripan sama sekali, mungkin menurun dari pihak bapaknya. Aku belum pernah bertemu ayah mereka karena sudah meninggal 5 tahun lalu. Sampai ketika itu, perasaanku masih baik-baik saja. Aku masih bisa menguasai diri

Perempuan tua itu pun berdiri ketika aku dan Eris sudah ada disampingnya. Aku pun mengulurkan tangan bermaksud menyalaminya. Tetiba saja perempuan tua itu langsung menyerbu kearah dadaku. Beliau memeluk aku dengan erat sekali. Aku sempat kaget, namun pada akhirnya kubiarkan dia terisak-isak sambil menghapus punggungnya untuk menenangkan. Aku tahu beliau sangat terpukul dengan kepergian Retha. Aku merasa benar-benar seperti anaknya. Sungguh aku sangat terharu sekali karena baru kali ini berpelukan dengan ibu orang lain. Setelah melepaskan aku, temanku Eris pun dipeluknya. Kulihat Eris sama terharunya denganku. Sampai ketika itu, aku masih dapat menguasai diri.

Dengan suara serak, mungkin karena terlalu lama menangis, ibu Retha menyuruh kami duduk pada sebuah tikar yang ada disamping kuburan Retha. Tak lupa aku dan Eris menyalami kakak Retha yang kulihat juga masih dengan wajah sedih. Dari kakak Retha itulah aku baru tahu kalau Retha sekarang dimakamkan disamping makam ayahnya. Aku pun segera memilih duduk bersimpuh pada sudut barat tepat disamping papan nisan yang bertuliskan nama Retha. Sampai ketika itu, aku sudah tidak dapat menguasai diri lagi.

Aku yang mengaku pantang nangis didepan orang lain, kali ini luluh juga. Hatiku benar-benar terasa hancur. Aku menangis diatas makam Retha sejadi-jadinya. Air mata tumpah dengan sendirinya tanpa bisa kutahan. Dunia terasa benar-benar sempit. Dadaku sangat sesak sekali oleh beban yang sangat berat. Kuusap-usap papan nisan yang ada didepanku sembari melantunkan doa untuknya, namun sayangnya karena terlalu sedih doa-doa yang selama ini aku ingat pada lupa. Hanya surah alfatihah saja yang dapat aku selesaikan. Akhirnya aku hanya bisa memilih memejamkan mata sambil berdoa dalam bahasa sehari-hari dalam hati. Sekitar satu jam berada disana, bersamaan dengan mulai turunnya gerimis, aku, Eris, kakak dan ibu Retha pun berencana untuk pulang. Sebelum meninggalkan tempat itu aku pun sempat berbisik pada makam Retha. Satu hal yang bisa kujanjikan, pada hari-hari mendatang aku akan sering mengunjungi untuk mendoakannya.

Setelah keluar dari area pemakaman kusuruh Eris membawa sepeda motor berboncengan dengan Ibu Retha agar lebih cepat sampai dirumah. Kasian saja dengan beliau karena cuaca sepertinya akan segera hujan deras. Aku sendiri berjalan kaki dengan Heni kakak Retha menuju rumah. Sepanjang perjalanan pulang aku bercakap-cakap dengan Heni. Ia menceritakan kejadian pagi itu. Dari ceritanya aku tahu bahwa pagi itu sekira sejam kemudian setelah kepergian kami, kondisi Retha berubah semakin buruk. Matanya yang awalnya terbuka kembali tertutup. Ia sangat kesulitan bernapas walaupun alat bantu pernapasan masih menempel dihidungnya. Namun alat itu sama sekali tak membantu. Dokter pun saat itu sudah berusaha menolong sebisanya. Dari keterangan dokter juga diketahui kalau sebenarnya paru-paru Retha sudah kolaps, itu diketahui dari bukti salah satu tulang rusuknya yang patah. Kemungkinan karena diinjak-injak orang pada malam itu. Darah dari paru-paru itulah yang keluar menyumbat kerongkongan sehingga Retha kesulitan mengambil udara. Belum sempat dibuatkan rujukan, napas Retha benar-benar hilang. Jantungnya berhenti berdetak. Ia sudah menutup mata selama-lamanya. Saat dibawa kerumah sekitar jam 09.00 darah segar keluar dari hidung dan mulut Retha. Kejadian itu berlangsung hingga jam 11 siang. Maka atas keputusan bersama pemakaman dipercepat tanpa sempat menunggu kedatanganku dan Eris.

Aku yang saat itu berjalan disamping Heni hanya bisa mengangguk-angguk kecil tanpa banyak komentar. Sempat terbesit penyesalan dalam hatiku kala itu mengapa tidak cepat-cepat pulang dari tempat pelatihan. Pada akhirnya kusadari, semua telah terjadi tanpa bisa diulang kembali. Aku pun memilih pasrah pada keadaan.

Hanya beberapa menit dari pemakaman, kami sudah tiba dirumah. Kami langsung masuk. Disana telah ada Eris bersama ibu Retha yang telah sampai lebih dulu. Adik-adik Retha juga ada di sana. Makanan sudah dihidangkan dihadapan kami. Tanpa menunggu lama kami disuruh menyantapnya. Eris yang duduk disampingku tampaknya makan dengan lahapnya. Kasian juga melihat temanku itu, demi menemani aku sampai harus kelaparan. Aku sendiri masih diam dengan berbagai hal yang memenuhi pikiranku. Walaupun lapar, untuk makan rasanya sulit sekali. Namun demi menghormati tuan rumah akhirnya aku mencoba juga memasukkan makanan itu dengan sendok kemulut. Rasanya entah kenapa benar-benar tidak enak. Persis rasa pasir. Baru dua sendok kecil aku pun menyudahinya. Aku hanya minum air putih sampai tiga gelas karena hausnya. Ibu Retha pun sama sepertiku. Beliau juga hanya makan sedikit sekali. Aku tahu beliau pasti masih sedih memikirkan anaknya yang telah tiada.

Sekitar pukul 14.00 gerimis yang sejak tadi turun berganti hujan yang mengguyur bumi dengan derasnya. Aku dan Eris terpaksa harus menunggu hujan reda baru bisa pulang. Sambil menunggu itulah aku dan Eris ngobrol dengan keluarga Retha. Kami diberitahu jika kasus Retha ini tidak akan diperpanjang. Pihak keluarga sudah sepakat tidak akan melaporkan pada polisi. Mereka akan berusaha mengikhlaskan kepergian Retha. Aku sendiri ketika itu hanya mengangguk setuju saja tanpa banyak komentar. Kalau harus jujur memang aku tidak setuju. Mengingat posisiku hanya sebagai teman Retha, tentu tidak punya hak untuk memaksakan kehendak.

Giliran ibu Retha bercerita kepadaku tentang Retha. Sebuah cerita perjalanan kehidupan Retha yang selama ini belum aku ketahui. Cerita yang diwaktu kedepan akan mengubah keadaanku. Aku pun mendengarkannya dengan seksama. 😢😢😢😢😢😢

1 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.club....^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    BalasHapus