Tinggal di
dusun IV
Ibuku
masih kecil saat suami nek Jum meninggal dunia. Belum sekolah dan tidak terlalu
mengerti apa-apa. Namun kata ibuku, nek Jum digambarkan seorang wanita tua
dengan tubuh gemuk dan pendek. Almarhum suaminya juga bertubuh pendek. Kata
nenekku, nek Jum dimasa mudanya merupakan bunga desa dikampung ini. Banyak
orang melamarnya, termasuk kakak kedua nenekku. Semua ditolak. Sampai akhirnya
hanya nek Am** yang berhasil menjadi suaminya.
Nek Jum
bersama suaminya sebenarnya memiliki
total lima anak. Dua meninggal dunia saat masih kecil. Satunya lagi yang
terakhir meninggal dalam kandungan. Pernah ada yang bilang jika nek Jum bersama
suaminya pindah kedusun salah satu alasannya adalah untuk menenangkan diri
akibat kematian anak. Anak yang masih hidup saat itu hanya anak pertama dan ketiga.
Semuanya laki-laki.
Anak
pertama sudah beristri dan memiliki empat anak. Walaupun buta huruf juga
seperti ibunya namun anak pertama bisa mengaji. Jarang sembahyang kecuali hanya pada hari Jumat. Ia bekerja sebagai
nelayan dan membuat sawah yang berada dibelakang kampung. Cucu tertua nek Jum
laki-laki berumur sekitar 15 tahun. Sedangkan yang paling kecil baru mulai bisa
berdiri.
Anak ketiga
belum beristri walaupun sudah dewasa. Satunya-satunya dalam keluarga nek Jum
yang pernah sekolah. Walaupun tidak lulus akan tetapi dia bisa membaca dan
menulis. Pada masa kecilnya pernah juga belajar mengaji dan hapal ayat-ayat
pendek untuk shalat. Dialah yang
menempati rumah keluarga nek Jum selama mereka tinggal di dusun. Selain banyak
memelihara kambing, anak ketiga juga bekerja sebagai pembuat gula merah yang
letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Tinggal masuk kehutan dibelakang rumah. Bisa
dicapai hanya dengan berjalan kaki beberapa saat.
Tempat
pembuatan gula merah biasanya disebut orang “ngule’an”. Ada juga yang menyebut
“gudeng”. Ngule’an dibangun berupa gubuk
kecil rata dengan tanah. Kadang tidak memiliki lantai. Didalamnya ada perapian
dengan kuali besar sebagai tempat mengolah air aren hingga menjadi gula merah.
Bagi anak ketiga nek Jum, ngule’an juga menjadi wadah bersama teman-temannya
yang lain berkumpul untuk minum tuak.
Setelah
kematian suaminya, nek Jum tinggal dirumahnya bersama putra ketiganya. Rumah
keluarga nek Jum cukup besar dan lumayan bagus jika dibandingkan dengan
rumah-rumah orang lain pada masa itu. Keadaan ekonominya juga lebih baik
daripada orang kebanyakan. Rumah tersebut bersebelahan dengan rumah anak
pertama yang jaraknya sekitar puluhan meter.
Selama
acara “mecakan” sampai hari ketiga, anak pertama bersama istri dan anak-anaknya
pindah sementara dirumah sang ibu. Semua itu cukup menghibur bagi nek Jum
dengan kehadiran cucu-cucunya yang masih kecil. Nek Jum seperti sudah hampir
melupakan semua kejadian buruk yang pernah menimpanya. Pada malam keempat dan
seterusnya, anak pertama bersama keluarganya kembali menempati rumah mereka
sendiri. Tinggallah nek Jum bersama anak ketiganya saja menempati mereka.
Sejak hari
meningallnya nek Am** semua pesan-pesan dari suaminya untuk orang lain telah
ditunaikan nek Jum dengan baik. Begitu
juga soal pembagian tanah warisan keluarga, semua sudah disepakati bersama
anak-anaknya.
Tanah
keluarga yang ada dikampung menjadi warisan anak ketiga sedangkan tanah di
dusun menjadi warisan anak pertama. Maka sejak saat itu pula pekerjaan almarhum
sang ayah otomatis digantikan olehnya. Setiap hari anak pertama pulang pergi ke dusun untuk mengurus kebun, sawah
dan membuat gula merah. Kadang kala dia mengajak anak istrinya ikut serta ke
sana.
**********
Pada
siang hari biasanya cucu-cucu serta menantu nek Jum pasti akan kembali berada
dirumah besar keluarga. Mereka sengaja berkumpul di sana untuk menemani dan menghibur
sang nenek. Tentu saja nek Jum merasa senang sekali. Setiap hari menantunya
memasak makanan untuk nek Jum. Kadang mencucikan piring dan pakaiannya.
Akan
tetapi lain halnya kalau malam hari. Menantu serta cucu-cucunya kembali kerumah
mereka sendiri. Tak ada yang tahu kalau nek Jum mulai merasa kesepian. Apalagi
ditambah anak ketiga yang tinggal bersamanya mulai sering pulang larut malam
sehabis mabuk-mabukan minum tuak. Sebenarnya sudah seminggu lamanya anak ketiga
tidak mabuk-mabukan. Ia mengerti dan paham keadaan ibunya. Melihat sang ibu
baik-baik saja makanya ia berani kembali pada kebiasaannya.
Pada
suatu ketika, tepatnya pada malam kesepuluh sejak meninggalnya sang suami, anak
ketiga nek Jum yang baru pulang agak larut mendadak heboh. Nek Jum tidak berada
dirumah. Sang anak mencari kerumah kakaknya namun keberadaannya juga tidak ada.
Kakaknya dan keluarganya saat itu sedang tidur. Bersama sang kakak, pencarian
dilakukan lagi ke rumah keluarga yang agak jauh sampai kerumah tetangga. Akan tetapi
keberadaan nek Jum belum juga ditemukan. Tidak seorang pun yang mengaku melihat
atau pun bertemu nek Jum malam itu.
Saat itu
juga dengan bantuan tetangga, pencarian lebih luas lagi dilakukan. Beberapa
orang bersama anak nek Jum mencari kepinggir sungai. Ada juga yang menyisir
jalan atau pelosok-pelosok desa yang diduga mungkin didatangi nek Jum. Tak
berapa lama, seseorang mengaku melihat ada orang duduk-duduk dikuburan. Karena gelap
dan sendirian, ia takut untuk mendekatinya. Makanya ia pun memberitahukan hal
ini langsung kepada anak-anak nek Jum yang sedang mencari menyisir pinggir
sungai.
Buru-buru
mereka semua mendatangi tempat yang diberitahukan itu. Benar saja, seseorang
yang sedang duduk dikuburan tersebut adalah nek Jum. Ia bersimpuh dan menangis
tepat disamping makam suaminya. Tempat itu gelap dan sepi sekali. Seharusnya
tidak ada yang berani mendatangi kuburan kalau sudah malam. Lalu kenapa nek Jum
bisa berada dikuburan? Apa yang terjadi dengan dirinya?
Saat
orang-orang tiba, nek Jum seperti kehilangan kesadaran. Walaupun sedang
menangis, ia sendiri mengaku tidak tahu bagaimana mulanya bisa tiba-tiba berada
di kuburan. Anak – anak segera mengajaknya pulang kerumah. Nek Jum mengikuti
kemauan anak-anaknya tanpa membantah sama sekali. Orang-orang pun pulang
kerumahnya dengan perasaan lega. Akan tetapi, sejak saat itu ada saja diantara
tetangga mulai menduga-duga, jangan-jangan nek Jum mengalami ……..
Dan dugaan-dugaan
itu ternyata benar adanya. Hilangnya nek Jum dari rumah terulang kembali pada
malam ke 14 tepat setelah acara mecakan saat itu. Setelah para undangan pulang,
rumah nek Jum mulai sepi. Apalagi setelah anak serta cucunya kembali kerumah
mereka keadaan dirumah nek Jum semakin sepi. Hanya tinggal nek Jum bersama anak
ketiga. Tengah malam saat sang anak tertidur nek Jum diam-diam keluar dari
rumah untuk kembali berada dikuburan suaminya.
Sang
anak yang bangun saat subuh mendadak kebingungan kehilangan ibunya. Segera ia
membangunkan kakaknya untuk sama-sama mencari nek Jum. Tak sulit, kedua anaknya
bersama tetangga langsung mencari kearah kuburan dan nek Jum ditemukan dalam
keadaan sama seperti tempo hari. Ia menangis tersedu-sedu disamping makam
suaminya. Kali ini nek Jum tidak mau diajak pulang. Ia ingin berada ditempat
itu sampai siang. Ia mengaku sangat meridukan suaminya yang telah meninggal.
Tak ada yang bisa memaksanya untuk pulang.
Dengan
sabar orang-orang yang ada ditempat itu mau mengikuti dan menemani nek Jum
dikuburan sampai pagi. Pahamlah mereka semua kalau nek saat ini sedang
mengalami keadaan yang disebut orang “breii”.
‘**********
Breii
kalau diartikan secara bahasa “sangat rindu”. Mirip-mirip dengan remaja galau yang
sedang mabuk cinta dengan kekasihnya. Breii lebih ekstrim lagi. Seperti
seseorang yang baru putus atau ditinggal pergi kekasih yang sangat
disayanginya. Makan minum tak enak. Tidur tak nyenyak. Beraktivitas menjadi
malas. Melakukan apa saja menjadi tak nyaman. Lebih banyak diam dan menyendiri.
Melamun sampai lupa waktu. Murung dan sering menangis. Yang terbayang hanya
wajah kekasihnya. Ia ingin selalu bersama dengan orang yang sangat ia cintai
walaupun ia tahu mereka telah tiada.
Breii
termasuk gangguan jiwa yang belum ada obat medisnya. Orang zaman dulu tidak
mengenal istilah pengobatan melalui phsikiater. Walaupun breii tidak menular
namun sangat berbahaya. Bila dibiarkan, seseorang yang mengalami breii bisa
gila atau sakit dan pada akhirnya berujung kematian. Breii juga bisa
menyebabkan orang bunuh diri. Butuh kesabaran dan perhatian khusus dari pihak
keluarga atau orang-orang terdekat untuk selalu menemani, mengajak curhat, atau
menasehati orang yang sedang breii supaya bisa berangsur-angsur normal kembali.
Dari ciri-cirinya, tak salah lagi nek Jum mulai mengalami breii pada suaminya
yang telah meninggal.
‘**********
Sejak
kejadian malam itu nek Jum mulai sering melamun sendiri. Diajak bicara oleh anak,
menantu, cucu, atau tetangga sering tidak menyahut. Ketika ditanya ada apa
dengan dirinya? Nek Jum hanya mengatakan kalau dirinya sangat rindu pada
suaminya. Setelah itu ia akan diam seribu bahasa. Tak kurang-kurang anak,
menantu, keluarga, sampai tetangga mencoba menyemangati dan menasehati. Nek Jum
malah seperti orang tuli.
Semakin
hari prilaku nek Jum makin aneh. Dimulai dari sering tidak mandi. Ia tidak akan mau makan kalau
tidak dipaksa. Ketika tidur nek Jum hampir tiap malam mengigau menyebut nama
suaminya. Sering terbangun sendiri tengah malam. Bukan hanya sekali dua kali
nek Jum hilang dari rumah. Sudah tak terhitung berapa kali ia ditemukan orang
diatas kuburan suaminya. Bahkan pernah sampai pagi. Siang hari pun nek Jum
sering kedapatan melamun sendiri diatas makam suaminya.
Akibat
breii, makan minum dan istirahat nek Jum
menjadi tidak teratur. Ia mulai saki-sakitan. Keluarga dan tetangga mulai
prihatin dengan keadaannya. Sebisa mungkin mereka mencoba mengobatinya. Pernah
sekali nek Jum sampai dibawa ke dukun. Sakit fisiknya sembuh namun sakit
breii-nya sama sekali tidak hilang. Menurut dukun, untuk mengobati nek Jum ia
harus dibawa kembali dan tinggal di dusun untuk beberapa lama. Jika nantinya sudah
berubah baru boleh dibawa kekampung lagi.
Khawatir
sang ibu semakin parah dan mungkin menjadi gila, anak pertama dan ketiga
kemudian membawa nek Jum ke dusun. Menemaninya bermalam disana selama waktu
yang diperlukan. Hanya mereka bertiga yang akan tinggal di dusun. Sementara
menantu nek Jum tetap tinggal dikampung bersama cucu-cucunya.
Benar
saja seperti perkataan dukun, sejak hari pertama tiba, perempuan tua itu
langsung menunjukkan perubahan baik. Nek Jum seperti mendapat semangat baru. Ia
tidak lagi murung seperti ketika ada dikampung. Mandi, makan dan minumnya
menjadi teratur. Sama saat dulu masih normal. Ia rajin memasak makanan untuk
kedua anaknya yang sibuk bekerja. Bahkan nek Jum dengan bersemangat membantu
anak-anaknya dikebun untuk membersihkan rumput liar. Perubahan-perubahan
tersebut membuat anaknya merasa lega dan gembira.
Kadangkala
tugas membuat gula merah almarhum suami yang digantikan anak pertama diambil
alih oleh nek Jum sementara anaknya pergi ke hutan untuk membuat lahan kebun
baru. Dari mulai menjaga perapian memasak air aren, sampai menuangkan gula pada
cetakannya dapat dilakukan nek Jum seorang diri. Ia memang sudah terbiasa
melakukan hal itu ketika suami masih hidup. Anak-anak merasa tidak khawatir
meninggalkannya sendiri di gubuk karena nek Jum dari hari kehari terus membaik.
Kurang lebih empat hari lamanya semua berjalan dengan normal. Anak nek Jum
sudah berencana akan membawanya kembali kekampung pada dua hari kedepan. Nek
Jum sendiri sudah menyetujuinya. Katanya ia juga sudah rindu ingin bertemu
menantu dan cucu-cucunya dikampung.
Pada
suatu sore dihari ke lima, anak-anak yang baru pulang dari kebun kaget melihat
tingkah aneh nek Jum. Ia rupanya sedang mandi dipinggir sungai. Bukan mandi
biasa. Mereka mendapati nek jum berenang sendirian, bermain-main lumpur dan
tertawa-tawa senang. Tidak ada siapa-siapa ditempat itu. Anehnya, nek Jum
mengaku sedang mandi bersama suaminya. Ada lagi hal aneh lainnya. Nek Jum hari
itu tidak mengurus pembuatan gula merah karena keasyikan mandi di kali layaknya
anak kecil. Akibatnya, gula merah yang berada diatas api hangus dengan
sendirinya. Anak-anak berusaha menahan diri dengan tidak marah sama sekali agar
nek Jum tidak merasa tersinggung. Akan tetapi, mereka mulai curiga. Apakah
penyakit sang ibu kambuh lagi?
Malam
harinya, tepat ditengah malam nek Jum berteriak-teriak dalam tidurnya.
Anak-anaknya kaget dan terbangun. Setelah dibangunkan, nek Jum menangis sambil bercerita
jika saat itu ia hanya bermimpi. Nek Jum bermimpi melihat seluruh tempat itu terbakar.
Gubuknya ikut terbakar bersama nek Jum dan suaminya sedang berada didalamnya.
Mereka berdua terkurung didalamnya. Nek Jum berteriak-teriak minta tolong.
Tidak ada orang lain yang mau menolong sama sekali sampai kedua anaknya
membangunkannya dari tidur. Sebuah mimpi yang aneh. Akan tetapi kedua anaknya
menganggap semua itu hanya bunga tidur agar sang ibu bisa tenang kembali. Nek
Jum pun diasehati dan diajak agar tidur lagi.
Malam
itu nek Jum tak bisa lagi memejamkan mata. Anak-anak pun terpaksa harus
menemaninya ngobrol. Kira-kira mendekati pukul tiga subuh, keanehan kembali
terjadi. Nek Jum mengatakan kalau dirinya mendengar suara-suara aneh disekitar
tempat itu. Ada suara orang berzikir dan suara orang menangis disamping gubuk.
Persis waktu dulu menunggui jenazah suaminya. Suara-suara itu hanya didengar
oleh nek Jum sendiri. Sementara kedua anaknya mengaku tak mendengar apa-apa.
Nek Jum
yang ketakutan meminta kedua anaknya agar membuka pintu lalu keluar untuk
mengusir suara-suara tersebut. Demi menyenangkan hati sang ibu, keduanya
anaknya pun mau saja menuruti kemauannya. Pintu gubuk lalu dibuka. Keadaan
gelap sekali. Obor dinyalakan. Lalu ditunjukkan pada nek Jum bahwa tidak ada
siapapun ditempat itu selain mereka bertiga. Suara-suara aneh yang dikatakan
nek Jum memang tidak ada selain suara burung malam diseberang sungai. Masih
merasa kurang, nek Jum tetap menginginkan anaknya untuk turun ketanah dan
mengelilingi gubuk guna memastikan lagi tidak ada apa pun. Selain itu, ia juga
meminta anaknya membuat api unggun didepan gubuk agar lebih hangat dan terang
benderang.
Dengan
sabar kedua anaknya menuruti perintah nek Jum. Mereka tidak ingin membantah
dihadapannya demi menyenangkan hati orang tua itu. Setelah berputar-putar
mengitari gubuk dan memastikan tidak ada apapun api besar dinyalakan. Menurut
nek Jum suara-suara aneh yang tadi didengarnya menjauh dan hilang. Ia sudah
tenang dan tidak merasa ketakutan. Nek Jum akhirnya bisa tidur kembali. Akan
tetapi, kedua anaknya terpaksa harus berjaga sampai pagi karena khawatir pada
keadaan ibunya.
Pagi itu
rencana pulang kekampung dibatalkan karena nek Jum memaksa untuk tinggal
semalam lagi. Katanya ia masih merindukan saat-saat bersama suaminya ditempat
itu dulu. Kedua anaknya pun setuju saja. Apa pun keinginan sang ibu akan
dituruti demi menyenangkan hatinya. Menurut mereka keadaan nek Jum kala itu
baik-baik saja.
‘**********
Siang
harinya, anak pertama nek Jum berencana mudik ke kampung untuk melihat keadaan
istri dan anak-anaknya. Selain itu, tujuan kekampung juga untuk menjual gula
dan membeli beberapa bahan makanan. Ia berjanji akan secepatnya kembali lagi
sore nanti. Nek Jum tinggal di dusun hanya ditemani anak ketiganya saja. Hal itu
sudah disampaikan sejak pagi. Nek Jum dan anak ketiganya pun setuju saja.
Setelah anak
pertama pulang kekampung dengan perahu, tinggal nek Jum dan anak ketiga yang
masih berada di dusun. Hari itu anak ketiga sengaja tidak beraktivitas jauh
dari gubuk untuk menemani ibunya. Ia hanya menggantikan sementara pekerjaan
kakaknya di “ngule’an” almarhum
bapaknya. Pengule’an tersebut letaknya didepan gubuk agak jauh kesamping kanan.
Dulu almarhum bapaknya membuat gule’an itu sengaja agak jauh dari gubuk. Supaya
tidak menghalangi pandangan dari gubuk ke sungai. Akan tetapi, dari gule’an itu
seluruh bagian depan gubuk dapat terlihat sampai kedalam. Diperkirakan jaraknya
sekitar 15 meter.
Air aren
dari tempat penampungan dituangkan pada kuali besar . Api besar dari kayu bakar
dinyalakan dibawah tungku perapian. Api itu harus terus dijaga. Perlu waktu
sekitar 4 jam untuk menguapkan air aren didalam kuali. Setelah itu air aren
yang sudah mengental agak kekuningan diangkat bersama kualinya agak menjauh
dari perapian. Diaduk-aduk dengan sodetan kayu sambil diamati tingkat
kekentalannya. Jika dirasa cukup, lalu dituangkan pada sebuah cetakan dari
kayu. Tunggu sampai gulanya mendingin dan mengeras. Kurang lebih satu jam
lamanya baru boleh dilepas dari cetakan. Jadilah gula merah asli.
Semua pekerjaan
itu dilakukan oleh anak ketiga yang memang sudah ahli membuat gula merah. Tentu
saja hari itu ia dibantu oleh ibunya. Tugas selanjutnya menunggu gula mengeras
pada cetakan diserahkan pada ibunya. Dirinya sendiri akan memancing ikan di pian (rakit) yang berada disungai
untuk lauk hari itu. Dari pian ke gubuk masih dapat terlihat jelas karena tidak
jauh.
Sepeninggal
anak ketiga, nek Jum duduk-duduk di ngule’an menjaga gula merah dalam cetakan
supaya tidak diganggu ayam-ayam peliharaan. Sang anak sedang asyik memancing disungai
dan mendapatkan beberapa ekor ikan baung ukuran kecil yang cukup untuk dimasak
hari itu sebagai lauk makan siang bersama ibunya.
Hampir sejam
lamanya anak ketiga berada disungai. Ia menyudahi kegiatan memancing. ikan-ikan
hasil tangkapan itu lalu dibersihkannya dengan pisau. Belum selesai anak ketiga
membersihkan ikan, terdengar suara benda-benda pecah dari arah gubuk. Persis seperti
suara orang menjatuhkan piring-piring kaca. Sang anak segera berlari menuju
kearah suara itu. Ia khawatir dengan keadaan ibunya.
Sebelum mencapai
gubuk, anak itu berpapasan dengan ibunya yang masih berada di ngule’an. Ia heran
melihat keadaan ibunya. Nek Jum kala itu sedang duduk mematung sambil menatap
kearah gubuk. Sorot matanya tajam tanpa berkedip. Anak ketiga ini lalu menyapa
ibunya, akan tetapi nek Jum tidak bergeming sama sekali. Sang anak kembali
menyapa sambil menyentuh tubuh ibunya. Nek Jum pun tersadar dari keadaanya.
“Apa ngraje
kita mek? Suara apa tadi mek, kukira kita”. Uje anaknya
(apa yang
terjadi padamu, mak? Suara apa tadi mak, kukira perbuatanmu mak). Kata anaknya.
Nek menjawab
dengan suara pelan.
“Lain aku
nak, ngia tadi suara bepakmu. Iye tadi bheru maha tama ke pondok etam. Hanek makan
kiranya. Tageknya ade piring belah. Pagii hak situ!” Uje nek Jum.
(bukan aku
nak, tadi itu suara bapakmu. Dia tadi baru masuk kegubuk kita. Mungkin mau
makan. Sepertinya ada piring yang pecah. Pergilah ke sana!) kata nek Jum.
“Hahh,
medei hak mek, bepak lah lawas ningel. Tahu hak kita. Ne mungkin hidup lagi. Mun
hantu gin ne mungkin ada siang tagek ni. Nelekkan kita maha ngia. Aneh kali
hak. Parak kita ni molah kami gile gela. Kepai lah kami ni mek kan…..”
(hahh,
tidak mungkin mak, bapak sudah lama meninggal. Mak sendiri tahu. Tak mungkin
hidup lagi. Kalau pun hantu tak mungkin ada siang hari. Hanya penglihatan mak
saja. Aneh sekali. Mak bisa membuat kami
semua gila. Kami sudah capek mak dengan……)
Belum selesai
anak ketiga ini mengomel-ngomel pada ibunya, tiba-tiba terdengar lagi suara
piring pecah dari dalam gubuk. Dengan terburu-buru ia berlari kearah gubuk. Saat
itu pintu gubuk memang dalam keadaan tertutup supaya tidak dimasuki ayam. Saat pintu
dibukanya, alangkah kagetnya ia melihat beberapa pecahan piring berhamburan
dilantai. Yang lebih aneh lagi, sang anak melihat sebuah gelas penuh terisi air
mengambang beberapa saat diudara kemudian jatuh dan pecah dilantai gubuk. Tidak
kelihatan wujudnya. Makhluk apakah yang sedang memegang dan menjatuhkan gelas?
Anak-anak
nek Jum sejak kecil memang sudah terlatih menjadi pemberani. Sering ditinggal sendirian
oleh orang tuanya dikampung. Keluar masuk hutan yang angker sudah biasa
baginya. Seumur hidupnya belum pernah bertemu hantu. Akan tetapi, siang itu
nyalinya langsung ciut. Tubuhnya gemetar ketakutan. Secepat kilat pintu gubuk
ditutupnya kembali lalu berlari kearah ibunya di ngule’an.
Dengan napas
ngos-ngosan, anak tersebut lalu mengajak ibunya masuk kedalam gubuk ngule’an
sambil berteriak “Benehan uje kita, ada hantu mek!” (benar, ada hantu mak!).
Mereka berdua
segera masuk kedalam dengan tetap membiarkan pintu gubuk ngule’an tetap
terbuka. Walaupun takut, anak ketiga masih penasaran ingin melihat kearah gubuk
dari jarak agak jauh. Beberapa saat lamanya anak dan ibunya diam tak bersuara. Dari
arah gubuk juga tidak ada suara apa pun. Suasana sepi kembali seperti
sebelumnya.
Di ngule’an
nek Jum bercerita pada anaknya. Sejak mereka tiba ditempat itu, tiap hari ia melihat dan bertemu dengan
almarhum suaminya yang telah meninggal. Makanya beberapa hari yang lalu dirinya
merasa bersemangat kembali. Rindunya terobati. Waktu mandi disungai beberapa
hari lalu ia merasa benar-benar bersama suaminya. Menurut nek Jum, penampilan
sang suami pada saat itu sama seperti kala masih hidup.
Berbeda dengan
apa yang dilihatnya hari ini. Nek Jum melihat suaminya itu datang dari arah
hutan dan masuk ke gubuk dengan penampilan telanjang bulat. Kepalanya botak dan
dari mulutnya keluar dua buah gigi taring. Nek Jum keheranan bercampur takut. Ia
sadar selama ini yang dilihatnya itu bukan benar-benar suaminya, melainkan
makhluk lain sejenis hantu. Hantu bisa menyamar menjadi apa saja. Nek Jum merasa
tidak betah lagi berada didusun. Ia mengajak anaknya untuk mudik kekampung saja
hari ini juga. Tentu harus menunggu dulu kedatangan anak pertama yang saat itu
sedang berada disana.
Anak ketiga
mendengarkan cerita dari ibunya dengan tegang. Sesekali ia menatap kearah pintu
gubuk yang tertutup. Tidak ada keanehan lagi terdengar. Sambil sesekali berkomentar ia mencoba
mencerna semua itu dengan akal sehat. Memang tidak masuk logika. Akan tetapi,
percaya atau tidak dia sendiri sudah mengalaminya hari ini. Walaupun tidak
melihat secara langsung penampakan bapaknya, ia harus mempercayai semua ucapan
ibunya. Tak ada pilihan lain, dari pada keadaan semakin memburuk dia setuju
dengan keinginan sang ibu.
‘**********
Sambil menunggu
kedatangan anak pertama, nek Jum dan anak ketiganya terpaksa memilih memasak
dan makan siang di ngule’an. Mereka tidak berani berada digubuk sebelum anak
pertama tiba ditempat itu.
Menjelang sore
hari, anak pertam tiba di dusun. Ia heran melihat keadaan sepi sekali. Segera ia
menuju ke gubuk untuk menemui adik dan ibunya. Baru beberapa langkah berjalan,
anak pertama sudah dipanggil oleh adiknya dari arah ngule’an. Senang hatinya
ketika melihat sang ibu pun berada disana. Setelah mendekat, alangkah herannya
ia melihat wajah ibu dan adiknya pucat pasi seperti orang ketakutan. Apa yang
terjadi? Anak pertama hanya bisa menduga-duga.
Dengan bersemangat
nek Jum menceritakan kejadian siang tadi pada anak pertamanya. Ditambah dengan
penjelasan dan kesaksian dari adiknya, sang kakak tidak langsung percaya begitu
saja. Lalu untuk membuktikan semua cerita itu, mereka bertiga pun menuju ke
gubuk. Saat pintu dibuka, benar saja, beberapa piring kaca yang sudah pecah
masih ada dilantai. Anak pertama akhirnya percaya dengan semua cerita tadi
walaupun tentu saja masih dengan sedikit keraguan sebelum membuktikan sendiri
secara langsung.
Sore itu juga
nek Jum dan anak ketiganya menyampaikan keinginan mereka untuk mudik kekampung
pada anak pertama. Alasannya mereka takut terjadi hal yang lebih buruk lagi. Lebih-lebih
nek Jum. Sebagai seorang ibu ia hanya ingin melindungi anak-anaknya. Nek Jum
tidak ingin kedua anaknya ketakutan seperti dirinya. Akan tetapi, anak pertama
langsung menolak keinginan ibu dan adiknya itu. Ia beralasan hari sudah sangat
sore.
Arus air
terlalu deras karena sedang pasang naik. Banjir besar kabarnya sedang terjadi
di daerah hulu. Kalau dipaksakan, pasti kemalaman ditengah perjalanan. Mendayung
perahu dalam gelap sangat sulit. Banyak rintangannya. Perahu bisa karam kalau
dibawa arus menabrak batang-batang kayu yang menjuntai ke sungai. Menurutnya, besok
saja mereka pulang bersama-sama. Lebih mudah mendayung perahu disiang hari.
Sesudah mendengar
penjelasan anak pertama, ibu dan adiknya mengalah. Daripada terjadi hal buruk
dijalan, apa salahnya menginap semalam lagi didusun. Rencana untuk mudik
kekampung saat itu juga akhirnya dibatalkan.Tidak ada yang perlu ditakutkan. Bukankah
sekarang mereka sudah bertiga?
‘**********
Malam itu
nek Jum merasa lebih baik. Pelita didalam gubuk segera dinyalakan. Tidak ada
aktivitas berarti yang dikerjakan selain mempersiapkan beberapa barang untuk
dibawa pulang esok hari. Kejadian siang tadi seolah terlupakan begitu saja. Nek
Jum segera memasak makanan yang dibawa anak pertama dari kampung. Setelah makan
bersama, nek Jum segera tidur lebih awal. Entah mengapa malam itu nek Jum tidur
dengan pulasnya. Sementara kedua anaknya masih ingin mengobrol sambil merokok. Mereka
belum mengantuk. Diperkirakan sekitar jam 10 malam barulah kedua anak itupun
tidur menyusul ibunya.
Malam kian
hening dan gelap. Tidak ada kemunculan bulan diatas langit karena sedang
tanggal tua. Udara dingin berhembus pelan memasuki celah-celah gubuk yang sudah
reot. Sesekali terdengar suara burung hantu dari kejauhan. Nek Jum bersama
kedua anaknya larut dalam mimpinya masing-masing.
“**********
Dinihari,
sekitar jam dua malam anak pertama terbangun dari tidurnya karena merasakan
perut yang melilit. Rupanya ia ingin buang air besar. Dinyalakannya obor untuk
segera turun ke jamban yang ada di sungai. Biasanya anak ini berani turun
kesungai seorang diri. Akan tetapi, setelah membuka pintu gubuk dan melihat
keadaan yang gelap ia ragu-ragu untuk melangkah keluar. Belum lagi teringat kejadian
siang tadi, rasa takut merasuki pikirannya.
Perlahan-lahan
anak ketiga ini lalu membangunkan kakaknya untuk menemani kesungai. Sang kakak
yang masih mengantuk pun tak bisa menolak. Ia tak mau berdebat dan membangunkan
ibunya. Sang kakak mau turun ke jamban untuk menemani adik sampai selesai buang
air besar. Saat itu terdengar suara burung hantu dari seberang sungai
bersahutan-sahutan memecah kegelapan. Anehnya suara burung hantu tersebut tidak
seperti biasa. Sesekali mirip orang tertawa. Suara aneh itu sebenarnya sudah
diketahui oleh kakak-beradik ini sejak awal. Akan tetapi mereka berdua memilih
membiarkan begitu saja dan pura-pura tidak mendengarnya.
Setelah kembali
ke gubuk, kakak beradik ini menyempatkan waktu untuk merokok sebentar sebelum
tidur kembali. Kalau pun bercakap-cakap, mereka lakukan dengan berbisik supaya
tidak mengganggu sang ibu yang sedang terlelap. Suasana mendadak hening
beberapa saat. Kemudian kembali terdengar suara burung hantu berada tidak
begitu jauh dari gubuk. Walaupun suaranya hanya seekor namun sama persis dengan
yang tadi terdengar dari seberang. Kakak beradik ini menduga burung hantu itu
sedang bertengger dipohon nangka disamping gubuk.
Ditengah-tengah
obrolan berbisik itu sebenarnya kakak beradik ini memperhatikan suara burung
hantu yang semakin aneh. Makin malam suara itu suara itu bercampur dengan suara
tawa sampai akhirnya berubah menjadi suara manusia yang sedang mengejek. Walaupun sedikit ada rasa takut, kedua kakak
beradik ini pura-pura tidak perduli. Mereka hanya khawatir terjadi hal buruk
menimpa sang ibu yang sedang tidur lelap. Makanya kakak beradik ini memilih
untuk tidak tidur kembali demi menjaga ibunya.
Waktu terus
berjalan hingga diperkirakan saat itu sekitar pukul tiga subuh. Siapa yang
menyangka hal-hal buruk yang sangat mereka khawatirkan itu pun akhirnya terjadi.
UP>>UP>>UP….
Next.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar