Kamis, 09 Juli 2020

Tinggal di dusun IV


Tinggal di dusun IV


Ibuku masih kecil saat suami nek Jum meninggal dunia. Belum sekolah dan tidak terlalu mengerti apa-apa. Namun kata ibuku, nek Jum digambarkan seorang wanita tua dengan tubuh gemuk dan pendek. Almarhum suaminya juga bertubuh pendek. Kata nenekku, nek Jum dimasa mudanya merupakan bunga desa dikampung ini. Banyak orang melamarnya, termasuk kakak kedua nenekku. Semua ditolak. Sampai akhirnya hanya nek Am** yang berhasil menjadi suaminya.

Nek Jum bersama suaminya sebenarnya  memiliki total lima anak. Dua meninggal dunia saat masih kecil. Satunya lagi yang terakhir meninggal dalam kandungan. Pernah ada yang bilang jika nek Jum bersama suaminya pindah kedusun salah satu alasannya adalah untuk menenangkan diri akibat kematian anak. Anak yang masih hidup saat itu hanya anak pertama dan ketiga. Semuanya laki-laki.

Anak pertama sudah beristri dan memiliki empat anak. Walaupun buta huruf juga seperti ibunya namun anak pertama bisa mengaji. Jarang sembahyang  kecuali hanya pada hari Jumat. Ia bekerja sebagai nelayan dan membuat sawah yang berada dibelakang kampung. Cucu tertua nek Jum laki-laki berumur sekitar 15 tahun. Sedangkan yang paling kecil baru mulai bisa berdiri.

Anak ketiga belum beristri walaupun sudah dewasa. Satunya-satunya dalam keluarga nek Jum yang pernah sekolah. Walaupun tidak lulus akan tetapi dia bisa membaca dan menulis. Pada masa kecilnya pernah juga belajar mengaji dan hapal ayat-ayat pendek untuk shalat.  Dialah yang menempati rumah keluarga nek Jum selama mereka tinggal di dusun. Selain banyak memelihara kambing, anak ketiga juga bekerja sebagai pembuat gula merah yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Tinggal masuk kehutan dibelakang rumah. Bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki beberapa saat.

Tempat pembuatan gula merah biasanya disebut orang “ngule’an”. Ada juga yang menyebut “gudeng”. Ngule’an  dibangun berupa gubuk kecil rata dengan tanah. Kadang tidak memiliki lantai. Didalamnya ada perapian dengan kuali besar sebagai tempat mengolah air aren hingga menjadi gula merah. Bagi anak ketiga nek Jum, ngule’an juga menjadi wadah bersama teman-temannya yang lain berkumpul untuk minum tuak.

Setelah kematian suaminya, nek Jum tinggal dirumahnya bersama putra ketiganya. Rumah keluarga nek Jum cukup besar dan lumayan bagus jika dibandingkan dengan rumah-rumah orang lain pada masa itu. Keadaan ekonominya juga lebih baik daripada orang kebanyakan. Rumah tersebut bersebelahan dengan rumah anak pertama yang jaraknya sekitar puluhan meter.

Selama acara “mecakan” sampai hari ketiga, anak pertama bersama istri dan anak-anaknya pindah sementara dirumah sang ibu. Semua itu cukup menghibur bagi nek Jum dengan kehadiran cucu-cucunya yang masih kecil. Nek Jum seperti sudah hampir melupakan semua kejadian buruk yang pernah menimpanya. Pada malam keempat dan seterusnya, anak pertama bersama keluarganya kembali menempati rumah mereka sendiri. Tinggallah nek Jum bersama anak ketiganya saja menempati mereka.

Sejak hari meningallnya nek Am** semua pesan-pesan dari suaminya untuk orang lain telah ditunaikan nek Jum  dengan baik. Begitu juga soal pembagian tanah warisan keluarga, semua sudah disepakati bersama anak-anaknya.

Tanah keluarga yang ada dikampung menjadi warisan anak ketiga sedangkan tanah di dusun menjadi warisan anak pertama. Maka sejak saat itu pula pekerjaan almarhum sang ayah otomatis digantikan olehnya. Setiap hari anak pertama pulang  pergi ke dusun untuk mengurus kebun, sawah dan membuat gula merah. Kadang kala dia mengajak anak istrinya ikut serta ke sana.

**********

Pada siang hari biasanya cucu-cucu serta menantu nek Jum pasti akan kembali berada dirumah besar keluarga. Mereka sengaja berkumpul di sana untuk menemani dan menghibur sang nenek. Tentu saja nek Jum merasa senang sekali. Setiap hari menantunya memasak makanan untuk nek Jum. Kadang mencucikan piring dan pakaiannya.

Akan tetapi lain halnya kalau malam hari. Menantu serta cucu-cucunya kembali kerumah mereka sendiri. Tak ada yang tahu kalau nek Jum mulai merasa kesepian. Apalagi ditambah anak ketiga yang tinggal bersamanya mulai sering pulang larut malam sehabis mabuk-mabukan minum tuak. Sebenarnya sudah seminggu lamanya anak ketiga tidak mabuk-mabukan. Ia mengerti dan paham keadaan ibunya. Melihat sang ibu baik-baik saja makanya ia berani kembali pada kebiasaannya.

Pada suatu ketika, tepatnya pada malam kesepuluh sejak meninggalnya sang suami, anak ketiga nek Jum yang baru pulang agak larut mendadak heboh. Nek Jum tidak berada dirumah. Sang anak mencari kerumah kakaknya namun keberadaannya juga tidak ada. Kakaknya dan keluarganya saat itu sedang tidur. Bersama sang kakak, pencarian dilakukan lagi ke rumah keluarga yang agak jauh sampai kerumah tetangga. Akan tetapi keberadaan nek Jum belum juga ditemukan. Tidak seorang pun yang mengaku melihat atau pun bertemu nek Jum malam itu.

Saat itu juga dengan bantuan tetangga, pencarian lebih luas lagi dilakukan. Beberapa orang bersama anak nek Jum mencari kepinggir sungai. Ada juga yang menyisir jalan atau pelosok-pelosok desa yang diduga mungkin didatangi nek Jum. Tak berapa lama, seseorang mengaku melihat ada orang duduk-duduk dikuburan. Karena gelap dan sendirian, ia takut untuk mendekatinya. Makanya ia pun memberitahukan hal ini langsung kepada anak-anak nek Jum yang sedang mencari menyisir pinggir sungai.

Buru-buru mereka semua mendatangi tempat yang diberitahukan itu. Benar saja, seseorang yang sedang duduk dikuburan tersebut adalah nek Jum. Ia bersimpuh dan menangis tepat disamping makam suaminya. Tempat itu gelap dan sepi sekali. Seharusnya tidak ada yang berani mendatangi kuburan kalau sudah malam. Lalu kenapa nek Jum bisa berada dikuburan? Apa yang terjadi dengan dirinya?

Saat orang-orang tiba, nek Jum seperti kehilangan kesadaran. Walaupun sedang menangis, ia sendiri mengaku tidak tahu bagaimana mulanya bisa tiba-tiba berada di kuburan. Anak – anak segera mengajaknya pulang kerumah. Nek Jum mengikuti kemauan anak-anaknya tanpa membantah sama sekali. Orang-orang pun pulang kerumahnya dengan perasaan lega. Akan tetapi, sejak saat itu ada saja diantara tetangga mulai menduga-duga, jangan-jangan nek Jum mengalami ……..

Dan dugaan-dugaan itu ternyata benar adanya. Hilangnya nek Jum dari rumah terulang kembali pada malam ke 14 tepat setelah acara mecakan saat itu. Setelah para undangan pulang, rumah nek Jum mulai sepi. Apalagi setelah anak serta cucunya kembali kerumah mereka keadaan dirumah nek Jum semakin sepi. Hanya tinggal nek Jum bersama anak ketiga. Tengah malam saat sang anak tertidur nek Jum diam-diam keluar dari rumah untuk kembali berada dikuburan suaminya.

Sang anak yang bangun saat subuh mendadak kebingungan kehilangan ibunya. Segera ia membangunkan kakaknya untuk sama-sama mencari nek Jum. Tak sulit, kedua anaknya bersama tetangga langsung mencari kearah kuburan dan nek Jum ditemukan dalam keadaan sama seperti tempo hari. Ia menangis tersedu-sedu disamping makam suaminya. Kali ini nek Jum tidak mau diajak pulang. Ia ingin berada ditempat itu sampai siang. Ia mengaku sangat meridukan suaminya yang telah meninggal. Tak ada yang bisa memaksanya untuk pulang.

Dengan sabar orang-orang yang ada ditempat itu mau mengikuti dan menemani nek Jum dikuburan sampai pagi. Pahamlah mereka semua kalau nek saat ini sedang mengalami keadaan yang disebut orang “breii”.

‘**********

Breii kalau diartikan secara bahasa “sangat rindu”. Mirip-mirip dengan remaja galau yang sedang mabuk cinta dengan kekasihnya. Breii lebih ekstrim lagi. Seperti seseorang yang baru putus atau ditinggal pergi kekasih yang sangat disayanginya. Makan minum tak enak. Tidur tak nyenyak. Beraktivitas menjadi malas. Melakukan apa saja menjadi tak nyaman. Lebih banyak diam dan menyendiri. Melamun sampai lupa waktu. Murung dan sering menangis. Yang terbayang hanya wajah kekasihnya. Ia ingin selalu bersama dengan orang yang sangat ia cintai walaupun ia tahu mereka telah tiada.

Breii termasuk gangguan jiwa yang belum ada obat medisnya. Orang zaman dulu tidak mengenal istilah pengobatan melalui phsikiater. Walaupun breii tidak menular namun sangat berbahaya. Bila dibiarkan, seseorang yang mengalami breii bisa gila atau sakit dan pada akhirnya berujung kematian. Breii juga bisa menyebabkan orang bunuh diri. Butuh kesabaran dan perhatian khusus dari pihak keluarga atau orang-orang terdekat untuk selalu menemani, mengajak curhat, atau menasehati orang yang sedang breii supaya bisa berangsur-angsur normal kembali. Dari ciri-cirinya, tak salah lagi nek Jum mulai mengalami breii pada suaminya yang telah meninggal.

‘**********

Sejak kejadian malam itu nek Jum mulai sering melamun sendiri. Diajak bicara oleh anak, menantu, cucu, atau tetangga sering tidak menyahut. Ketika ditanya ada apa dengan dirinya? Nek Jum hanya mengatakan kalau dirinya sangat rindu pada suaminya. Setelah itu ia akan diam seribu bahasa. Tak kurang-kurang anak, menantu, keluarga, sampai tetangga mencoba menyemangati dan menasehati. Nek Jum malah seperti orang tuli.

Semakin hari prilaku nek Jum makin aneh. Dimulai dari sering  tidak mandi. Ia tidak akan mau makan kalau tidak dipaksa. Ketika tidur nek Jum hampir tiap malam mengigau menyebut nama suaminya. Sering terbangun sendiri tengah malam. Bukan hanya sekali dua kali nek Jum hilang dari rumah. Sudah tak terhitung berapa kali ia ditemukan orang diatas kuburan suaminya. Bahkan pernah sampai pagi. Siang hari pun nek Jum sering kedapatan melamun sendiri diatas makam suaminya.

Akibat breii,  makan minum dan istirahat nek Jum menjadi tidak teratur. Ia mulai saki-sakitan. Keluarga dan tetangga mulai prihatin dengan keadaannya. Sebisa mungkin mereka mencoba mengobatinya. Pernah sekali nek Jum sampai dibawa ke dukun. Sakit fisiknya sembuh namun sakit breii-nya sama sekali tidak hilang. Menurut dukun, untuk mengobati nek Jum ia harus dibawa kembali dan tinggal di dusun untuk beberapa lama. Jika nantinya sudah berubah baru boleh dibawa kekampung lagi.

Khawatir sang ibu semakin parah dan mungkin menjadi gila, anak pertama dan ketiga kemudian membawa nek Jum ke dusun. Menemaninya bermalam disana selama waktu yang diperlukan. Hanya mereka bertiga yang akan tinggal di dusun. Sementara menantu nek Jum tetap tinggal dikampung bersama cucu-cucunya.

Benar saja seperti perkataan dukun, sejak hari pertama tiba, perempuan tua itu langsung menunjukkan perubahan baik. Nek Jum seperti mendapat semangat baru. Ia tidak lagi murung seperti ketika ada dikampung. Mandi, makan dan minumnya menjadi teratur. Sama saat dulu masih normal. Ia rajin memasak makanan untuk kedua anaknya yang sibuk bekerja. Bahkan nek Jum dengan bersemangat membantu anak-anaknya dikebun untuk membersihkan rumput liar. Perubahan-perubahan tersebut membuat anaknya merasa lega dan gembira.

Kadangkala tugas membuat gula merah almarhum suami yang digantikan anak pertama diambil alih oleh nek Jum sementara anaknya pergi ke hutan untuk membuat lahan kebun baru. Dari mulai menjaga perapian memasak air aren, sampai menuangkan gula pada cetakannya dapat dilakukan nek Jum seorang diri. Ia memang sudah terbiasa melakukan hal itu ketika suami masih hidup. Anak-anak merasa tidak khawatir meninggalkannya sendiri di gubuk karena nek Jum dari hari kehari terus membaik. Kurang lebih empat hari lamanya semua berjalan dengan normal. Anak nek Jum sudah berencana akan membawanya kembali kekampung pada dua hari kedepan. Nek Jum sendiri sudah menyetujuinya. Katanya ia juga sudah rindu ingin bertemu menantu dan cucu-cucunya dikampung.

Pada suatu sore dihari ke lima, anak-anak yang baru pulang dari kebun kaget melihat tingkah aneh nek Jum. Ia rupanya sedang mandi dipinggir sungai. Bukan mandi biasa. Mereka mendapati nek jum berenang sendirian, bermain-main lumpur dan tertawa-tawa senang. Tidak ada siapa-siapa ditempat itu. Anehnya, nek Jum mengaku sedang mandi bersama suaminya. Ada lagi hal aneh lainnya. Nek Jum hari itu tidak mengurus pembuatan gula merah karena keasyikan mandi di kali layaknya anak kecil. Akibatnya, gula merah yang berada diatas api hangus dengan sendirinya. Anak-anak berusaha menahan diri dengan tidak marah sama sekali agar nek Jum tidak merasa tersinggung. Akan tetapi, mereka mulai curiga. Apakah penyakit sang ibu kambuh lagi?

Malam harinya, tepat ditengah malam nek Jum berteriak-teriak dalam tidurnya. Anak-anaknya kaget dan terbangun. Setelah dibangunkan, nek Jum menangis sambil bercerita jika saat itu ia hanya bermimpi. Nek Jum bermimpi melihat seluruh tempat itu terbakar. Gubuknya ikut terbakar bersama nek Jum dan suaminya sedang berada didalamnya. Mereka berdua terkurung didalamnya. Nek Jum berteriak-teriak minta tolong. Tidak ada orang lain yang mau menolong sama sekali sampai kedua anaknya membangunkannya dari tidur. Sebuah mimpi yang aneh. Akan tetapi kedua anaknya menganggap semua itu hanya bunga tidur agar sang ibu bisa tenang kembali. Nek Jum pun diasehati dan diajak agar tidur lagi.

Malam itu nek Jum tak bisa lagi memejamkan mata. Anak-anak pun terpaksa harus menemaninya ngobrol. Kira-kira mendekati pukul tiga subuh, keanehan kembali terjadi. Nek Jum mengatakan kalau dirinya mendengar suara-suara aneh disekitar tempat itu. Ada suara orang berzikir dan suara orang menangis disamping gubuk. Persis waktu dulu menunggui jenazah suaminya. Suara-suara itu hanya didengar oleh nek Jum sendiri. Sementara kedua anaknya mengaku tak mendengar apa-apa.

Nek Jum yang ketakutan meminta kedua anaknya agar membuka pintu lalu keluar untuk mengusir suara-suara tersebut. Demi menyenangkan hati sang ibu, keduanya anaknya pun mau saja menuruti kemauannya. Pintu gubuk lalu dibuka. Keadaan gelap sekali. Obor dinyalakan. Lalu ditunjukkan pada nek Jum bahwa tidak ada siapapun ditempat itu selain mereka bertiga. Suara-suara aneh yang dikatakan nek Jum memang tidak ada selain suara burung malam diseberang sungai. Masih merasa kurang, nek Jum tetap menginginkan anaknya untuk turun ketanah dan mengelilingi gubuk guna memastikan lagi tidak ada apa pun. Selain itu, ia juga meminta anaknya membuat api unggun didepan gubuk agar lebih hangat dan terang benderang.

Dengan sabar kedua anaknya menuruti perintah nek Jum. Mereka tidak ingin membantah dihadapannya demi menyenangkan hati orang tua itu. Setelah berputar-putar mengitari gubuk dan memastikan tidak ada apapun api besar dinyalakan. Menurut nek Jum suara-suara aneh yang tadi didengarnya menjauh dan hilang. Ia sudah tenang dan tidak merasa ketakutan. Nek Jum akhirnya bisa tidur kembali. Akan tetapi, kedua anaknya terpaksa harus berjaga sampai pagi karena khawatir pada keadaan ibunya.

Pagi itu rencana pulang kekampung dibatalkan karena nek Jum memaksa untuk tinggal semalam lagi. Katanya ia masih merindukan saat-saat bersama suaminya ditempat itu dulu. Kedua anaknya pun setuju saja. Apa pun keinginan sang ibu akan dituruti demi menyenangkan hatinya. Menurut mereka keadaan nek Jum kala itu baik-baik saja.

‘**********

Siang harinya, anak pertama nek Jum berencana mudik ke kampung untuk melihat keadaan istri dan anak-anaknya. Selain itu, tujuan kekampung juga untuk menjual gula dan membeli beberapa bahan makanan. Ia berjanji akan secepatnya kembali lagi sore nanti. Nek Jum tinggal di dusun hanya ditemani anak ketiganya saja. Hal itu sudah disampaikan sejak pagi. Nek Jum dan anak ketiganya pun setuju saja.



Setelah anak pertama pulang kekampung dengan perahu, tinggal nek Jum dan anak ketiga yang masih berada di dusun. Hari itu anak ketiga sengaja tidak beraktivitas jauh dari gubuk untuk menemani ibunya. Ia hanya menggantikan sementara pekerjaan kakaknya di “ngule’an”  almarhum bapaknya. Pengule’an tersebut letaknya didepan gubuk agak jauh kesamping kanan. Dulu almarhum bapaknya membuat gule’an itu sengaja agak jauh dari gubuk. Supaya tidak menghalangi pandangan dari gubuk ke sungai. Akan tetapi, dari gule’an itu seluruh bagian depan gubuk dapat terlihat sampai kedalam. Diperkirakan jaraknya sekitar 15 meter.

Air aren dari tempat penampungan dituangkan pada kuali besar . Api besar dari kayu bakar dinyalakan dibawah tungku perapian. Api itu harus terus dijaga. Perlu waktu sekitar 4 jam untuk menguapkan air aren didalam kuali. Setelah itu air aren yang sudah mengental agak kekuningan diangkat bersama kualinya agak menjauh dari perapian. Diaduk-aduk dengan sodetan kayu sambil diamati tingkat kekentalannya. Jika dirasa cukup, lalu dituangkan pada sebuah cetakan dari kayu. Tunggu sampai gulanya mendingin dan mengeras. Kurang lebih satu jam lamanya baru boleh dilepas dari cetakan. Jadilah gula merah asli.

Semua pekerjaan itu dilakukan oleh anak ketiga yang memang sudah ahli membuat gula merah. Tentu saja hari itu ia dibantu oleh ibunya. Tugas selanjutnya menunggu gula mengeras pada cetakan diserahkan pada ibunya. Dirinya sendiri akan memancing  ikan di pian (rakit) yang berada disungai untuk lauk hari itu. Dari pian ke gubuk masih dapat terlihat jelas karena tidak jauh.

Sepeninggal anak ketiga, nek Jum duduk-duduk di ngule’an menjaga gula merah dalam cetakan supaya tidak diganggu ayam-ayam peliharaan. Sang anak sedang asyik memancing disungai dan mendapatkan beberapa ekor ikan baung ukuran kecil yang cukup untuk dimasak hari itu sebagai lauk makan siang bersama ibunya.

Hampir sejam lamanya anak ketiga berada disungai. Ia menyudahi kegiatan memancing. ikan-ikan hasil tangkapan itu lalu dibersihkannya dengan pisau. Belum selesai anak ketiga membersihkan ikan, terdengar suara benda-benda pecah dari arah gubuk. Persis seperti suara orang menjatuhkan piring-piring kaca. Sang anak segera berlari menuju kearah suara itu. Ia khawatir dengan keadaan ibunya.

Sebelum mencapai gubuk, anak itu berpapasan dengan ibunya yang masih berada di ngule’an. Ia heran melihat keadaan ibunya. Nek Jum kala itu sedang duduk mematung sambil menatap kearah gubuk. Sorot matanya tajam tanpa berkedip. Anak ketiga ini lalu menyapa ibunya, akan tetapi nek Jum tidak bergeming sama sekali. Sang anak kembali menyapa sambil menyentuh tubuh ibunya. Nek Jum pun tersadar dari keadaanya.

“Apa ngraje kita mek? Suara apa tadi mek, kukira kita”. Uje anaknya
(apa yang terjadi padamu, mak? Suara apa tadi mak, kukira perbuatanmu mak). Kata anaknya.

Nek menjawab dengan suara pelan.

“Lain aku nak, ngia tadi suara bepakmu. Iye tadi bheru maha tama ke pondok etam. Hanek makan kiranya. Tageknya ade piring belah. Pagii hak situ!” Uje nek Jum.
(bukan aku nak, tadi itu suara bapakmu. Dia tadi baru masuk kegubuk kita. Mungkin mau makan. Sepertinya ada piring yang pecah. Pergilah ke sana!) kata nek Jum.

“Hahh, medei hak mek, bepak lah lawas ningel. Tahu hak kita. Ne mungkin hidup lagi. Mun hantu gin ne mungkin ada siang tagek ni. Nelekkan kita maha ngia. Aneh kali hak. Parak kita ni molah kami gile gela. Kepai lah kami ni mek kan…..”
(hahh, tidak mungkin mak, bapak sudah lama meninggal. Mak sendiri tahu. Tak mungkin hidup lagi. Kalau pun hantu tak mungkin ada siang hari. Hanya penglihatan mak saja. Aneh sekali.  Mak bisa membuat kami semua gila. Kami sudah capek mak dengan……)

Belum selesai anak ketiga ini mengomel-ngomel pada ibunya, tiba-tiba terdengar lagi suara piring pecah dari dalam gubuk. Dengan terburu-buru ia berlari kearah gubuk. Saat itu pintu gubuk memang dalam keadaan tertutup supaya tidak dimasuki ayam. Saat pintu dibukanya, alangkah kagetnya ia melihat beberapa pecahan piring berhamburan dilantai. Yang lebih aneh lagi, sang anak melihat sebuah gelas penuh terisi air mengambang beberapa saat diudara kemudian jatuh dan pecah dilantai gubuk. Tidak kelihatan wujudnya. Makhluk apakah yang sedang memegang dan menjatuhkan gelas?
Anak-anak nek Jum sejak kecil memang sudah terlatih menjadi pemberani. Sering ditinggal sendirian oleh orang tuanya dikampung. Keluar masuk hutan yang angker sudah biasa baginya. Seumur hidupnya belum pernah bertemu hantu. Akan tetapi, siang itu nyalinya langsung ciut. Tubuhnya gemetar ketakutan. Secepat kilat pintu gubuk ditutupnya kembali lalu berlari kearah ibunya di ngule’an.
Dengan napas ngos-ngosan, anak tersebut lalu mengajak ibunya masuk kedalam gubuk ngule’an sambil berteriak “Benehan uje kita, ada hantu mek!” (benar, ada hantu mak!).
Mereka berdua segera masuk kedalam dengan tetap membiarkan pintu gubuk ngule’an tetap terbuka. Walaupun takut, anak ketiga masih penasaran ingin melihat kearah gubuk dari jarak agak jauh. Beberapa saat lamanya anak dan ibunya diam tak bersuara. Dari arah gubuk juga tidak ada suara apa pun. Suasana sepi kembali seperti sebelumnya.

Di ngule’an nek Jum bercerita pada anaknya. Sejak mereka tiba ditempat itu,  tiap hari ia melihat dan bertemu dengan almarhum suaminya yang telah meninggal. Makanya beberapa hari yang lalu dirinya merasa bersemangat kembali. Rindunya terobati. Waktu mandi disungai beberapa hari lalu ia merasa benar-benar bersama suaminya. Menurut nek Jum, penampilan sang suami pada saat itu sama seperti kala masih hidup.

Berbeda dengan apa yang dilihatnya hari ini. Nek Jum melihat suaminya itu datang dari arah hutan dan masuk ke gubuk dengan penampilan telanjang bulat. Kepalanya botak dan dari mulutnya keluar dua buah gigi taring. Nek Jum keheranan bercampur takut. Ia sadar selama ini yang dilihatnya itu bukan benar-benar suaminya, melainkan makhluk lain sejenis hantu. Hantu bisa menyamar menjadi apa saja. Nek Jum merasa tidak betah lagi berada didusun. Ia mengajak anaknya untuk mudik kekampung saja hari ini juga. Tentu harus menunggu dulu kedatangan anak pertama yang saat itu sedang berada disana.

Anak ketiga mendengarkan cerita dari ibunya dengan tegang. Sesekali ia menatap kearah pintu gubuk yang tertutup. Tidak ada keanehan lagi terdengar.  Sambil sesekali berkomentar ia mencoba mencerna semua itu dengan akal sehat. Memang tidak masuk logika. Akan tetapi, percaya atau tidak dia sendiri sudah mengalaminya hari ini. Walaupun tidak melihat secara langsung penampakan bapaknya, ia harus mempercayai semua ucapan ibunya. Tak ada pilihan lain, dari pada keadaan semakin memburuk dia setuju dengan keinginan sang ibu.

‘**********
Sambil menunggu kedatangan anak pertama, nek Jum dan anak ketiganya terpaksa memilih memasak dan makan siang di ngule’an. Mereka tidak berani berada digubuk sebelum anak pertama tiba ditempat itu.

Menjelang sore hari, anak pertam tiba di dusun. Ia heran melihat keadaan sepi sekali. Segera ia menuju ke gubuk untuk menemui adik dan ibunya. Baru beberapa langkah berjalan, anak pertama sudah dipanggil oleh adiknya dari arah ngule’an. Senang hatinya ketika melihat sang ibu pun berada disana. Setelah mendekat, alangkah herannya ia melihat wajah ibu dan adiknya pucat pasi seperti orang ketakutan. Apa yang terjadi? Anak pertama hanya bisa menduga-duga.

Dengan bersemangat nek Jum menceritakan kejadian siang tadi pada anak pertamanya. Ditambah dengan penjelasan dan kesaksian dari adiknya, sang kakak tidak langsung percaya begitu saja. Lalu untuk membuktikan semua cerita itu, mereka bertiga pun menuju ke gubuk. Saat pintu dibuka, benar saja, beberapa piring kaca yang sudah pecah masih ada dilantai. Anak pertama akhirnya percaya dengan semua cerita tadi walaupun tentu saja masih dengan sedikit keraguan sebelum membuktikan sendiri secara langsung.
Sore itu juga nek Jum dan anak ketiganya menyampaikan keinginan mereka untuk mudik kekampung pada anak pertama. Alasannya mereka takut terjadi hal yang lebih buruk lagi. Lebih-lebih nek Jum. Sebagai seorang ibu ia hanya ingin melindungi anak-anaknya. Nek Jum tidak ingin kedua anaknya ketakutan seperti dirinya. Akan tetapi, anak pertama langsung menolak keinginan ibu dan adiknya itu. Ia beralasan hari sudah sangat sore.
Arus air terlalu deras karena sedang pasang naik. Banjir besar kabarnya sedang terjadi di daerah hulu. Kalau dipaksakan, pasti kemalaman ditengah perjalanan. Mendayung perahu dalam gelap sangat sulit. Banyak rintangannya. Perahu bisa karam kalau dibawa arus menabrak batang-batang kayu yang menjuntai ke sungai. Menurutnya, besok saja mereka pulang bersama-sama. Lebih mudah mendayung perahu disiang hari.

Sesudah mendengar penjelasan anak pertama, ibu dan adiknya mengalah. Daripada terjadi hal buruk dijalan, apa salahnya menginap semalam lagi didusun. Rencana untuk mudik kekampung saat itu juga akhirnya dibatalkan.Tidak ada yang perlu ditakutkan. Bukankah sekarang mereka sudah bertiga?

‘**********

Malam itu nek Jum merasa lebih baik. Pelita didalam gubuk segera dinyalakan. Tidak ada aktivitas berarti yang dikerjakan selain mempersiapkan beberapa barang untuk dibawa pulang esok hari. Kejadian siang tadi seolah terlupakan begitu saja. Nek Jum segera memasak makanan yang dibawa anak pertama dari kampung. Setelah makan bersama, nek Jum segera tidur lebih awal. Entah mengapa malam itu nek Jum tidur dengan pulasnya. Sementara kedua anaknya masih ingin mengobrol sambil merokok. Mereka belum mengantuk. Diperkirakan sekitar jam 10 malam barulah kedua anak itupun tidur menyusul ibunya.

Malam kian hening dan gelap. Tidak ada kemunculan bulan diatas langit karena sedang tanggal tua. Udara dingin berhembus pelan memasuki celah-celah gubuk yang sudah reot. Sesekali terdengar suara burung hantu dari kejauhan. Nek Jum bersama kedua anaknya larut dalam mimpinya masing-masing.

“**********

Dinihari, sekitar jam dua malam anak pertama terbangun dari tidurnya karena merasakan perut yang melilit. Rupanya ia ingin buang air besar. Dinyalakannya obor untuk segera turun ke jamban yang ada di sungai. Biasanya anak ini berani turun kesungai seorang diri. Akan tetapi, setelah membuka pintu gubuk dan melihat keadaan yang gelap ia ragu-ragu untuk melangkah keluar. Belum lagi teringat kejadian siang tadi, rasa takut merasuki pikirannya.

Perlahan-lahan anak ketiga ini lalu membangunkan kakaknya untuk menemani kesungai. Sang kakak yang masih mengantuk pun tak bisa menolak. Ia tak mau berdebat dan membangunkan ibunya. Sang kakak mau turun ke jamban untuk menemani adik sampai selesai buang air besar. Saat itu terdengar suara burung hantu dari seberang sungai bersahutan-sahutan memecah kegelapan. Anehnya suara burung hantu tersebut tidak seperti biasa. Sesekali mirip orang tertawa. Suara aneh itu sebenarnya sudah diketahui oleh kakak-beradik ini sejak awal. Akan tetapi mereka berdua memilih membiarkan begitu saja dan pura-pura tidak mendengarnya.

Setelah kembali ke gubuk, kakak beradik ini menyempatkan waktu untuk merokok sebentar sebelum tidur kembali. Kalau pun bercakap-cakap, mereka lakukan dengan berbisik supaya tidak mengganggu sang ibu yang sedang terlelap. Suasana mendadak hening beberapa saat. Kemudian kembali terdengar suara burung hantu berada tidak begitu jauh dari gubuk. Walaupun suaranya hanya seekor namun sama persis dengan yang tadi terdengar dari seberang. Kakak beradik ini menduga burung hantu itu sedang bertengger dipohon nangka disamping gubuk.

Ditengah-tengah obrolan berbisik itu sebenarnya kakak beradik ini memperhatikan suara burung hantu yang semakin aneh. Makin malam suara itu suara itu bercampur dengan suara tawa sampai akhirnya berubah menjadi suara manusia yang sedang mengejek.  Walaupun sedikit ada rasa takut, kedua kakak beradik ini pura-pura tidak perduli. Mereka hanya khawatir terjadi hal buruk menimpa sang ibu yang sedang tidur lelap. Makanya kakak beradik ini memilih untuk tidak tidur kembali demi menjaga ibunya.
Waktu terus berjalan hingga diperkirakan saat itu sekitar pukul tiga subuh. Siapa yang menyangka hal-hal buruk yang sangat mereka khawatirkan itu pun akhirnya terjadi.


UP>>UP>>UP….
Next.

Salam, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar