Jumat, 10 Juli 2020

Tinggal di dusun V


“Kraazz…gedebuuuk….buuukk!”

Suara benda jatuh menimpa atap gubuk yang terbuat dari daun ilalang. Setelah itu, meluncur dan jatuh ketanah. Sementara suara burung hantu yang aneh terus saja memecah kesunyian malam yang gelap dan dingin.

Kedua anak nek Jum bukan main kagetnya. Sang adik memperkirakan atap gubuk kejatuhan buah nangka disamping gubuk. Akan tetapi menurut kakaknya, pohon nangka yang berada disamping gubuk itu tidak ada buahnya. Sang kakak lebih tahu karena tiap hari kedusun. Lalu suara apakah itu?

Kedua anak nek Jum lalu diam memperhatikan akan ada apa lagi selanjutnya. Nek Jum sendiri sepertinya masih lelap dalam tidur. Ia seakan tidak terpengaruh kejadian saat itu.

“Krasss….kraasss….kraasss….”

Terdengar suara langkah kaki beberapa orang menginjak dedaunan kering dari arah belakang gubuk semakin mendekat. Langkah kaki itu tidak berhenti melainkan bergerak mengelilingi gubuk.

Kakak beradik ini semakin menajamkan pendengarannya.  Mulailah sayup-sayup terdengar suara tangisan perempuan mengikuti suara langkah kaki yang terus saja berputar-putar tanpa henti. Ada perbedaan pendengaran di sini. Menurut sang adik selain mendengar langkah kaki dan suara tangisan perempuan,  dia juga mendengar ada suara orang berzikir. Suara berzikir tersebut kadang menjauh, kadang mendekat seolah-olah berada disamping telinganya. Beda dengan sang kakak yang mengaku hanya mendengar suara langkah kaki berkeliling saja. Walaupun begitu, kedua kakak beradik ini mulai ketakutan. Bulu kuduk keduanya meremang berkali-kali.

Tiba-tiba saja nek Jum yang sedang lelap dalam tidurnya terbangun. Kejadian itu berlangsung begitu cepatnya hingga anak-anak hanya bisa menatap aneh tingkah ibunya karena masih kebingungan. Tanpa bicara apa-apa nek Jum langsung menyalakan obor.  Diambilnya  parang yang terselip didinding lalu membuka pintu sambil berteriak-teriak seperti orang gila.

“Oii…hantu claka, bengsat! Kita ngia ye munuh lakiku. Parak hak sini ku marang. Awas haje yoh mun ne mau jeuh, ku timpasi kita kala gelanya. Tunggu hak saneh!”

(woii…hantu bangsat! kalianlah yang telah membunuh suamiku. kalau dekat kesini akan ku tebas dengan parang. awas saja kalau tak menjauh. akan kutebas kalian semua. tunggu saja!)

Setelah mengatakan kata-kata makian itu nek Jum lalu turun dari gubuk sambil mengacungkan parang. Kedua anak nek Jum yang sudah sadar dengan kedaan segera menyusul untuk menghentikan sang ibu. Terlambat, karena nek Jum sekarang sudah berada ditanah. Ia lalu berhenti dibawah pohon nangka sambil menebaskan parang kesana kemari. Setelah itu ia mengarahkan parang ke batang pohon nangka. Persis seperti orang sedang menebang pohon masih sambil memaki-maki.

Anak pertama dan kedua kemudian berusaha menenangkan ibunya. Tubuh nek Jum langsung dipegangi dan didekap sekuat mungkin oleh anak pertama. Sementara obor dan parangnya berhasil direbut oleh anak ketiga. Tak ingin ada yang terluka, parang itu lalu dilemparkannya ke padang rumput, sedangkan obor ditancapkan ke tanah sebagai penerangan.

Nek Jum berusaha terus berontak sekuat mungkin. Ia masih terus berteriak keras sambil berusaha untuk melepaskan diri. Akan tetapi tubuh tua itu tentu saja tidak bisa mengalahkan kuatnya tenaga anak pertama. Nek Jum akhirnya benar-benar dapat ditaklukan setelah sang adik membantu kakaknya itu. Sang ibu berhasil di dudukkan ketanah. Beberapa saat kemudian tubuh orang tua itu melemas dan pingsan.

Kedua anak nek Jum segera membawa masuk kedalam gubuk. Kemudian mereka membaringkannya dilantai beralaskan tikar. Kakak beradik ini kebingungan dan sedih melihat keadaan ibunya. Mereka tidak tahu lagi harus minta tolong pada siapa. Tak seorang pun ada ditempat itu. Belum sempat kedua anak itu berpikir jernih nek Jum tiba-tiba saja tersadar dari pingsannya dan bangkit kembali. Akan tetapi, sebelum nek Jum berdiri, kedua anaknya dengan sigap mendekapnya sekuat mungkin. Sang ibu berusaha sebisa mungkin dibaringkan kembali sambil tangannnya terus dipegangi.

Nek Jum mencoba terus berontak lagi untuk melepaskan diri. Ia menjerit sekeras-kerasnya minta dibiarkan. Matanya melotot seperti orang kesurupan. Napasnya menggeram bagai kerbau mengamuk. Akan tetapi semakin ia berontak, semakin kuat pula kedua anaknya berusaha menahan dan memegangi. Mereka sama sekali tak ingin melepaskan ibunya.

Menurut cerita anak pertama, kekuatan ibunya kala itu tidak seperti biasanya. Dalam kedaan normal ibunya yang sudah tua tidak mungkin punya tenaga sekuat itu. Seandainya tanpa bantuan adiknya, ibunya pasti sudah terlepas dan pergi entah kemana.  Tangannya sendiri sampai terluka akibat cakaran kuku-kuku ibunya.

Di saat –saat genting dan membingungkan itu anak ketiga yang sangat ketakutan membacakan beberapa ayat-ayat pendek. Menurutnya, bacaan-bacaan itu keluar dari mulutnya tanpa ia sadari. Mungkin karena saking takutnya, jadinya bacaan itu diucapkannya terbolak-balik. Hanya surah alfatihah yang dapat dibacakan dengan sempurna.

Mendengar sang adik yang membaca surah alfatihah, sang kakak pun ikut-ikutan membacanya. Jadilah kini mereka berdua bersama-sama membaca surah alfatihah. Semakin keras sang ibu menjerit, semakin nyaring pula mereka membacakan doa. Hanya surah itu yang mereka hapal dengan baik dan dibacakan berulang-ulang.

Cukup lama hal itu berlangsung sampai akhirnya nek Jum menyerah juga. Tubuhnya melemas, tidak lagi berontak dan menjerit seperti tadi. Nek Jum terbaring lunglai dilantai sambil menangis sesenggukan. Melihat ibunya yang sudah agak tenang kedua anaknya pun melepaskan. Mereka sedikit bernapas lega namun sangat kelelahan. Begitu juga nek Jum. Keadaannya sangat menyedihkan. Rambutnya kusut dan pakaiannya robek dibeberapa bagian. Ia kelihatan sangat kehausan.

Melihat keadaan ibunya, anak ketiga pun segera memberikan air minum. Hampir tiga gelas dihabiskan oleh ibunya kala itu. Setelah meminum air,  nek Jum benar-benar tenang kembali. Napasnya sudah teratur seperti biasanya. Hanya saja untuk berbicara ia masih terbata-bata.

‘**********

Subuh itu, waktu diperkirakan  menunjukkan pukul empat pagi. Kondisi nek Jum sudah normal seperti biasanya. Suara burung hantu yang aneh masih saja terdengar, hanya saja jauh berada diseberang sungai. Nek Jum bersama kedua anaknya tidak memperdulikan suara itu. Setelah mengganti pakaiannya yang robek nek Jum mulai bercerita pada anaknya tentang kejadian beberapa waktu yang lalu.


Di mulai dari suara benda jatuh diatas atap. Nek Jum kala itu sudah terbangun. Ia sama terkejutnya dengan kedua anaknya. Hanya saja tidak ada yang tahu kalau nek Jum membuka mata karena keadaan yang agak gelap. Ia dalam keadaan sadar. Lalu terdengar suara langkah kaki berkeliling gubuk sambil berzikir, tertawa dan menangis. Sama seperti suara-suara saat ia menunggui jenazah suaminya dulu. Bukannya ketakutan, ia malah menjadi sangat berani dan marah karena merasa terganggu. Diambilnya parang untuk membunuh makhluk-makhluk itu.

Saat nek Jum membuka pintu, tepat didepan tangga ia melihat berdiri empat orang bertubuh pendek memakai baju putih-putih sedang menggotong tubuh suaminya. Keempat orang inilah yang berzikir. Suaminya sendiri kelihatannya masih hidup dan telanjang bulat seperti yang pernah dilihatnya siang tadi. Nah, suara tawa dan tangisan yang mereka dengar berasal dari suaminya ini.

Nek Jum tahu bahwa makhluk yang berada didepannya bukanlah manusia. Rasa takutnya hilang berganti menjadi amarah yang tak tertahankan. Maka turunlah ia ketanah untuk menebas mereka semua dengan parang. Keempat makhluk bertubuh pendek itu lalu lari berhamburan kehutan. Termasuk suaminya. Akan tetapi, kata nek Jum suaminya yang telanjang lari memanjat pohon nangka. Karena masih marah, maka nek Jum bermaksud menebang pohon nangka sampai roboh supaya ia dapat menebas hantu yang sudah menyamar menjadi suaminya. Setelah itu ia tidak mengingat apa pun sampai kedua anaknya memberikan air minum. Demikianlah nek Jum mengakhiri ceritanya.

Kedua anak nek Jum mendengarkan cerita itu dengan perasaan tegang dan takut. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain harus mempercayai semua ucapan ibunya.

Fajar perlahan menyingsing dari arah timur. Saat itu suara burung hantu sudah lenyap oleh kokok ayam bersahut-sahutan menyambut mentari yang sebentar lagi akan terbit. Kedua anak nek Jum berencana akan membawanya pulang siang hari nanti. Kali ini, apa pun alasannya, nek Jum harus dibawa kekampung.


Next.


Selamat bobok, TF 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar