Tinggal di dusun VIII
Sintak Roh
Anak pertama, kedua dan ketiga nenekku sudah
berkeluarga dan tinggal dirumahnya sendiri. Jadi saat itu hanya ibuku dan kakak
keempat laki-laki yang belum berkeluarga masih tinggal bersama orang tuanya.
Keseharian keluarga nenekku bekerja sebagai petani dan pembuat gula merah. Akan
tetapi keluarga nenekku tidak pernah tinggal di dusun. Sawah dan kebun hanya
berada disebuah rawa dibelakang kampung. Cukup berjalan kaki saja melewati
hutan sudah dapat dicapai dengan mudah.
Kakekku(nenek laki) termasuk tetua kampung
yang cukup disegani. Bukan karena memiliki jabatan ataupun seorang dukun,
melainkan kakekku terkenal karena galaknya. Tidak banyak bicara namun galak.
Bukan hanya pada keluarga sendiri, kepada orang lain juga. Tak perduli orang
tua atau remaja, kakekku paling tidak suka orang berkelahi. Apabila ada orang
berkelahi kakekku hanya akan menegur sekali. Bila masih juga, tak segan-segan
kakekku akan menghardik mereka kemudian memberikan dua buah parang atau “bujak”
agar saling bunuh sekalian.
Pernah suatu ketika kakak kedua dan kakak
ketiga saudara ibuku bertengkar dirumah. Hanya hal sepele, saling ejek dan
merembet sampai saling mengungkit-ungkit pemberian. Nenek sebenarnya sudah
berusaha melerai namun anak-anak malah makin menjadi-jadi. Kakek yang
mengetahui hal itu segera mengasah dua buah parang hingga tajam. Awalnya tidak
ada yang tahu untuk apa parang itu diasah. Tanpa banyak bicara, dibawanya kedua
anaknya ini kehalaman rumah. Masing-masing diberi sebilah parang tadi dan
disuruh untuk saling tebas agar masalahnya cepat selesai. Seketika anak-anak
langsung pucat pasi. Tak ada yang berani menebas saudaranya. Mereka gemetar
ketakutan hingga parang jatuh ketanah. Nenekku yang menyaksikan peristiwa itu
hanya bisa menangis menjerit-jerit ketakutan. Sejak hari itu anak-anak tidak ada
yang berani bertengkar dirumah. Bila ada masalah biasanya akan diselesaikan
ditempat lain
Walaupun galak, kata ibuku kakek adalah
orang tua yang sangat baik dan penuh tanggungjawab. Kakekku tidak pernah menyakiti nenek
seumur hidupnya. Beliau sangat menyayangi anak-anak kecil. Jarang sekali marah.
Hanya kalau marah sangat menakutkan. Apapun keinginan anak-anak, misalnya minta
belikan sesuatu kakek tidak perhitungan selama masih dapat membelikan walaupun
uangnya pas-pasan. Kakekku juga tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk
membantu pekerjaannya selama masih bisa dikerjakan sendiri.
******
Segala hal tentang nek Jum sudah cukup lama
diketahui oleh keluarga nenekku. Apalagi nenekku merupakan teman sepermainan
nek Jum waktu kecil. Tentu saja nenekku ikut sedih dan prihatin. Hanya saja
selama ini nenekku terlalu sibuk untuk memanen padi disawah. Kecuali malam
hari, apabila tidak capek nenekku akan berkunjung kerumah nek Jum untuk
menjenguk dan menemaninya ngobrol.
Selesai panen kala itu nenekku lebih sering
mengunjungi nek Jum. Melihat keseharian nek Jum yang semakin memprihatinkan ,
nenekku bertekat sebisa mungkin untuk menolongnya. Keluarga dirumah juga sudah
setuju. Walaupun tahu penyakit “breii” tidak ada obatnya, nenekku belum putus
asa.
Menurut nenekku, nek Jum tidak sepenuhnya
gila. Kemungkinan besar masih bisa disembuhkan. Karena setiap nenekku
berkunjung malam hari keadaan nek Jum baik-baik saja. Walaupun terlihat
menderita bathin, Nek Jum bisa diajak bicara dan penurut. Entah mungkin dia
segan terhadap nenekku yang merupakan teman kecilnya dulu. Tetangga sampai
bilang kalau nek Jum itu gila hanya pada jam-jam tertentu saja. Siang hari
terutama pada pagi hari. Kalau malam, kadang aneh kadang normal.
Mengetahui keadaan nek Jum yang kurang
terurus, sejak hari itu juga nenekku membulatkan tekat untuk mengurus orang tua
ini semampunya. Semua itu dilakukan hanya atas dasar rasa kasihan sebagai
kerabat jauh dan teman akrab. Siapa lagi yang mau merawat nek Jum sedangkan
keluarganya saja tidak begitu perduli lagi. Mereka sudah bosan, capek dan tidak
tahu lagi berbuat apa. Setelah melihat nek Jum yang mau menurut pada nenekku,
keluarganya malah meminta nenekku untuk membantu mereka mengurus sang ibu.
Apalagi nek Jum hanya mau mandi jika ditemani oleh perempuan saja. Para
tetangga, anak-anak dan menantunya sudah
lelah oleh tingkah nek Jum. Menurut mereka hanya nenekku orang yang paling
tepat.
Kata nenekku, sebenarnya walaupun
kelihatannya penurut, pada saat-saat tertentu bukan hal mudah mengajak nek Jum
untuk makan maupun mandi. Terutama pada “jam-jam gilanya”. Perlu kesabaran
tingkat tinggi. Bayangkan saja betapa sulitnya mengurus orang gila yang sudah
tua tapi bertingkah seperti anak kecil. Mau tidak mau harus ikut gila juga
sementara. Kita harus siap korban waktu dan dimaki-maki. Keinginannya harus
diikuti. Kalau sudah tidak mau tak bisa dipaksa.
Disela-sela kesibukannya mengurus keluarga
sendiri, tiap pagi nenekku harus pergi kerumah nek Jum untuk mengajaknya makan
dan memandikannya. Untuk makan tidak sulit. Tinggal ambilkan terus disuapi
pakai sendok seperti anak kecil. Kadang malah nenekku sendiri yang jadinya disuapi
nek Jum secara bergantian. Harus dituruti sampai selesai. Kalau tidak, nek Jum
akan merajuk dan tidak akan mau makan lagi sampai seharian. Begitu juga jika
mau buang air besar atau kencing. Nek Jum harus ditemani, dilepaskan pakaiannya
setelah selesai barulah pakaian itu dipasangkan kembali. Bila tidak, nek Jum
akan kencing dan berak sembarangan kemudian membiarkan dirinya telanjang bulat.
Untuk mandi lumayan sulit. Karena bila
mengajak nek Jum mandi harus siap basah kuyup. Selain itu juga nenekku harus
mau diajak berenang atau bermain lumpur bersamanya dipinggir sungai. Pada saat
pertama mengajak mandi memang lumayan sulit. Macam-macam saja alasannya, mulai
kedinginan, takut sabun kena mata sampai takut buaya dan “hantu ranam”. Akan
tetapi nenekku tidak kehabisan akal. Asal mau diajak kesungai pasti bisa diajak
mandi.
Ketika itu nenekku mengajak nek Jum ke sungai. Setibanya dipian, nenekku
ingin membasuh tangannya. Eh, belum sempat bicara apa-apa, nek Jum tiba-tiba
saja mengguyur tubuh nenekku dengan air sungai seember. Tubuh nenekku yang
masih berpakaian lengkap langsung basah kuyup. Setelah itu nek Jum mau mandi
asal ditemani bersama dengan cara saling memandikan. Kalau diajak berenang juga
harus dituruti. Kadang nek Jum mengajak bermain saling membedaki muka pakai
lumpur. Jika semua keinginannya itu diikuti, nek Jum akan tertawa senang seolah
lupa denga buaya. Ia akan mandi sampai puas dan mau disabuni.
Setelah selesai mandi dan naik kerumah nek
Jum lalu dipakaikan baju, disisir rambutnya, didandani, barulah bisa diajak
makan pagi. Tengah hari biasanya nek Jum akan tidur siang. Saat itulah nenekku
bisa pulang kerumahnya. Setibanya dirumah, nenekku menjadi bahan tertawaan
anak-anak dan kakek. Tidak ada hujan tidak ada badai, masih berpakaian lengkap
tapi nenekku malah basah sekujur tubuh. Akan tetapi, nenekku menganggap semua
itu cuma hal lucu dan malah menyenangkan. Apakah nenekku ketularan ikut menjadi
gila? Atau aku yang menulis cerita ini juga sudah gila?
Oh, tidak…Rhoma!
Sampai hari meninggalnya pun nenekku adalah
orang yang waras. Sumpah! Apalagi diriku
sebagai cucunya, sampai saat ini masih normal kok, hanya saja masih jomlo.
**********
Begitulah hari-hari selanjutnya berjalan.
Nenekku selalu punya waktu untuk mengurus nek Jum setiap hari. Malam harinya
nenekku akan kembali lagi untuk mengajaknya makan dan menemani sampai bisa
tertidur. Kadang kala nenekku bermalam dirumahnya. Kata nenekku, selama dalam
pengawasannya, kalau malam hari nek Jum benar-benar seperti orang normal.
Diajak bicara apa saja nyambung. Kadang malah sok tahu menasehati orang lain
agar sadar bahwa jika sudah tua berarti mendekati kematian. Harus banyak-banyak
mempersiapkan bekal untuk akhirat, katanya. Hebat juga, kataku!
Ada kalanya nenekku mengajak nek Jum untuk
untuk bermalam dirumahnya. Setelah siang dikembalikan lagi kerumahnya. Kadang
juga bukan hanya bermalam, nek Jum juga menginap dirumah nenekku sampai dua
tiga hari. Berbulan-bulan hal itu berlangsung. Dari hari kehari nek Jum semakin
penurut dan menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Orang-orang cukup senang
dengan perkembangannya. Hanya saja nek Jum masih tidak mau diurus oleh orang
lain selain nenekku. Untuk mandi juga masih harus ditemani seperti sebelumnya.
Selama menginap dirumah nenekku, pernah
sekali nek Jum suatu pagi tidak mau mandi sama sekali dengan alasan takut
buaya. Nenekku sudah berusaha membujuknya namun nek Jum terus menolak. Kakekku
yang baru tiba dari tempat menyadap aren menjadi marah. Orang tua yang terkenal
galak ini rupanya mulai hilang kesabaran. Dibentaknya nek Jum.
“Oii Jum! Kau takut kan bheya atau dusun.
Mun kau ne mau manni kuantar kau ke dusun situ mini-mini ge. Kuikati kau
dipondok kita, supaya ne depat mulang. Tuanya saneh sorangan kan makan hantu
botak. Pilih hak manni atau diem dusun sorangan!”
(maaf untuk bagian 8 ini sengaja tidak
diterjemahkan. )
Mendengar omelan kakekku, nek Jum langsung
ketakutan. Semua orang juga tahu kalau kakek galak. Kakek takkan bicara dua
kali. Ucapannya akan buktikan bila tidak menurut juga. Buru-buru nek Jum
mengambil perlengkapan mandi dan turun kesungai untuk mandi sendiri. Nenekku
langsung ikut menemaninya walaupun tidak ikut mandi juga. Ia hanya khawatir
orang tua itu tenggelam disungai. Ternyata nek Jum bisa mandi sendiri dengan
normal. Tidak manja-manja seperti sebelumnya. Sejak hari itulah nek Jum bisa
mandi sendiri walaupun tanpa ditemani.
Pada suatu hari kebetulan seluruh anak-anak
nenekku berkumpul dirumah. Keluarga nenek mengadakan selamatan kecil-kecilan
yang hanya dihadiri oleh pihak keluarga saja. Nek Jum juga ada dirumah nenek
saat itu. Ditengah-tengah acara makan-makan kue “apam” kakek membicarakan
tentang nek Jum. Entah sadar atau tidak, atau menganggap nek Jum tidak paham
apa yang dibicarakan, kakek nyeletuk sambil tertawa.
“Tageknya Jum ni mun hanek beik pa, etam carikan
laki maha yo! hahaha..” kata kakek sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Anak-anak pun ikut tertawa tapi masih
ditahan-tahan karena segan dengan kahadiran nek Jum diantara mereka. Tiba-tiba
saja nek Jum yang tadinya cuma diam, menyahut.
“Oii kak, beneh ujemu ngia! Tapi ade lang
urang laki mau kan urang tuha gile? Carikan hak lih mu. Mun kau haje kiranya
apa rupanya? hahaha..” kata nek Jum dengan tertawa lepas.
Kata-kata nek Jum membuat kakek langsung
kelabakan salah tingkah. Ia tak menyangka nek Jum rupanya mengerti apa yang
dibicarakannya. Kakek tak bisa menjawab pertanyaan nek Jum. Seketika suasana
menjadi hening sesaat. Anak-anak dan nenek berusaha menahan tawa takut dimarahi
kakek. Tiba-tiba saja kakek malah tertawa terbahak-bahak. Pada akhirnya seisi rumah
ikut tertawa beramai-ramai termasuk nek Jum sendiri. Tidak ada yang menganggap
ucapan nek Jum itu serius. Lucu memang, orang gila mau dicarikan suami. Ada-ada
saja, kata nenekku. Pada akhirnya ucapan nek Jum sering diulang anak-anak dihadapan
kakek untuk menggodanya. Kakek tidak marah sama sekali. Beliau hanya tidak suka
bila orang berkelahi. Kalau urusan lain kakek akan “ikut arus”. Malah dengan
bangga kakek menimpali, memangnya kalian mau punya ibu kedua yang gila? Dasar!
**********
Pada suatu malam nek Jum bermalam dirumah
nenekku. Lain dari biasanya. Malam itu nek Jum benar-benar seperti orang waras.
Tidak akan ada yang menyangka jika orang tua ini menyimpan penyakit “gila”. Nek
Jum bercerita masa-masa bersama suaminya dulu didusun pada nenekku. Ia bercerita
dengan lancar tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dari cerita indah sampai yang
menakutkan saat-saat menunggui jenazah suaminya seorang diri. Tak lupa juga nek
Jum menceritakan awal mulanya berumah tangga dengan almarhum suaminya. Nenekku hanya
bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Menurut nek Jum, suaminya memiliki ilmu
yang disebut orang “Sintak Roh”. Semacam ilmu pelet tetapi dikhususkan untuk
pasangan yang sudah menikah.
*Sintak Roh merupakan sejenis ilmu pelet
tingkat tinggi dan langka. Ada yang menyebut sintak roh sebagai ritual
menikahkan roh kedua pasangan. Biasanya orang yang mempunyai ilmu ini akan
menggelar pernikahan dua kali dalam hidupnya. Pertama, nikah seperti
orang-orang pada umumnya(nikah jasmani). Kedua, nikah secara bathin (roh/ruh) yang
hanya dilakukan berdua(suami-istri) dengan persetujuan kedua belah pihak secara
rahasia tanpa diketahui orang lain.
Tentang bagaimana ritualnya penulis juga
tidak mendapatkan penjelasan dari ibu. Akan tetapi, intinya selain menikah
secara umum orang yang menggunakan ilmu ini akan menikah lagi berdua dengan mengikat
sumpah perjanjian saling setia, sehidup semati. Bila salah satu meninggal lebih
dulu, maka pasangannya takkan bisa mendapatkan pasangan yang lain. Ia akan ikut
meninggal juga paling cepat tiga hari, dan paling lama setahun kemudian.
Dampaknya baiknya, orang yang melakukan ritual
sintak roh menjadi saling setia pada pasangannya. Mereka tidak akan pernah
selingkuh atau pun bercerai sampai ajal memisahkan. Dampak buruknya, bagi yang
meninggal lebih dulu, jiwanya akan selalu membayangi pasangannya yang masih
hidup. Sedangkan bagi pasangan yang masih hidup, tidak akan berumur lama sesuai
perjanjian. Bila lewat tiga hari belum meninggal, maka akan mengalami breii dan
gila. Pada akhirnya nanti akan meninggal juga dalam waktu kurang lebih setahun
kemudian.*
Nek Jum dan suaminya dulu pernah melakukan
ritual sintak roh setelah mereka menikah. Sebenarnya ilmu ini dapat diputus
sebelum suaminya meninggal dunia. Seandainya dulu sebelum sang suami meninggal memutus/melepas
ilmu ini nek Jum takkan mengalami breii dan gila. Akan tetapi, soal perjanjian
sehidup semati sudah tak bisa dibatalkan lagi. Menurut nek Jum untuk memutus
ilmu sintak roh hanya bisa dilakukan dengan mencari orang yang juga memiliki
ilmu sintak roh. Artinya penyakit breii dan gila yang dialami nek Jum ada
harapan untuk sembuh, walaupun hidupnya takkan lama lagi. Fungsi lain dari sintak
roh adalah untuk mengembalikan pasangan suami istri yang renggang. Selama belum
bercerai sampai talak tiga, pasangan itu masih bisa disatukan lagi. *koreksi
jika salah*
Bagaimana pemirsa, kalian paham dengan
penjelasan diatas? Kalau paham, alhamdulillah.
Nih kami ajari sedikit mantra yang
diucapkan pada ritual sintak roh.
“karakat-karikit tumbuh dibatu. betangkap
begigit urang bini brebut kan aku.”..hahaa
**********
Mendengar penjelasan dari nek Jum nenekku
cukup kaget. Ia tak menyangka jika keluarga nek Jum pernah menggelar ritual
sintak roh. Ilmu yang pada zaman itu saja sudah langka, apalagi dizaman now.
Akan tetapi, nenekku cukup gembira karena
nek Jum memiliki kesempatan untuk sembuh walaupun usianya mungkin takkan lama.
Ajal seseorang siapa yang tahu? Tak boleh putus asa. Tugas manusia hanya
berikhtiar semampunya. Selanjutnya biar Tuhan yang menyempurnakan takdir. Langkah
selanjutnya yang harus dilakukan nenekku adalah bersama nek Jum mencari orang
lain yang mungkin masih memiliki ilmu sintak roh.
Keesokan harinya setelah berdiskusi dengan
keluarganya, nenekku bersama nek Jum pergi menemui saudara-saudara dari
almarhum suaminya. Dan bersyukur sekali, tanpa mendapat kesulitan bertemulah
mereka dengan adik perempuan dari almarhum sang suami yang juga rupanya
memiliki ilmu sintak roh. Setelah mendapat penjelasan dari nenekku, adik
perempuan ini pun setuju untuk menolong nek Jum dengan menggelar ritual sintak
roh kembali. Dalam ritual ini tidak boleh dihadiri oleh orang lain selain nek
Jum dan adik iparnya ini.
Pada malam harinya, tepat tengah malam saat
orang-orang tertidur ritual sintak roh pun akan digelar. Rumah besar keluarga
nek Jum sebelumnya sudah dikosongkan. Anak ketiga nek Jum harus menginap
sementara dirumah saudaranya. Tempat inilah yang dipilih untuk menghindari
supaya tidak ketahuan orang lain karena ritual harus dilakukan berdua secara
rahasia. Nek Jum didandani dengan memakai pakaian pengantin seperti orang yang
sedang menikah. Ritual dilakukan dalam sebuah kelambu berdua bersama sang adik
ipar tanpa dihadiri oleh siapapun sampai pagi.
Awalnya adik ipar nek Jum merapal mantera-mantera
aneh. Nek Jum dibuat seolah tak sadarkan diri hingga tidak ingat apa-apa lagi
alias tertidur. Adik ipar pun ikut tertidur. Nah, dalam mimpi inilah sang adik
ipar entah bagaimana caranya mempertemukan roh nek Jum dengan roh suaminya. Selanjutnya
adik ipar ini meminta roh suami nek Jum agar melepas/memutus ilmu sintak rohnya
pada nek Jum. Setelah itu ia akan meninggalkan mereka berdua sampai pagi. Sampai
nek Jum terbangun dari tidurnya.
Ritual sintak roh malam itu berjalan dengan
lancar tanpa ada gangguan. Pada pagi harinya, nek Jum terbangun dengan perasaan
yang jauh lebih baik. Ia sendiri bahkan kaget karena sedang berpakaian
pengantian. Setelah mendapatkan penjelasan dari nenekku barulah nek Jum sadar
dengan ritual yang digelar malam itu. Bagaimana keadaan nek Jum saat itu? Apakah
sudah sembuh?
Menurut nenekku, wajah nek Jum pagi itu
cerah dan bersemangat sekali. Tidak kelihatan ada kesan murung seperti hari-hari
yang lalu. Seluruh keluarga nek Jum yang hadir menyaksikan perubahan itu dengan
gembira. Nek Jum langsung mencari cucu-cucunya. Katanya ia sudah lama tidak
bertemu dengan mereka. Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan. Anak-anak pun
sepertinya tidak takut lagi dengan neneknya yang sudah sembuh itu.
Hari-hari selanjutnya keluarga nek Jum
dapat hidup normal kembali. Nek Jum perlahan bisa mengurus dirinya sendiri
seperti sedia kala. Walaupun hanya tinggal berdua bersama anak ketiga, nek Jum
tidak lagi merasa kesepian. Ia sudah bisa menerima keaadaannya. Jika pun rindu
dengan anak-anak yang masih kecil, nek Jum tinggal berkunjung kerumah anak
pertamanya bahkan bermalam dirumah mereka. Anak-anak nek Jum sendiri kini dapat
beraktivitas dengan normal tanpa rasa khawatir pada ibunya. Begitu pula dengan
keluarga nenekku dan tetangga, mereka semua ikut gembira dan bisa bernapas lega
dengan kesembuhan nek Jum.
Seminggu setelah peristiwa “ritual sintak
roh”, nek Jum sering mengunjungi rumah nenekku. Apabila mengetahui nenekku
sedang berada di sawah, nek Jum langsung menyusulnya. Saat itu sedang musim
tanam padi. Tanpa diminta bantuannya nek Jum dengan suka rela membantu keluarga
nenekku menamam bibit padi disawah yang berlumpur. Perubahan-perubahan sikap
prilaku nek Jum itu tentu saja menjadi hal menggembirakan. Bukan saja sebagai
teman akrab, nenekku sampai menganggap nek Jum seperti saudara sendiri. Tepatnya
kakak-beradik. Karena nek Jum lebih tua, maka nenek memanggilnya sebagai kakak.
Kakek. Bagaimana dengan kakek? Karena sudah
tidak gila, maukah kakek menjadi suami baru bagi nek Jum?............hahahaha..
Bukan. Bukan seperti itu. Ucapan-ucapan
dulu hanya sebagai candaan saja. Semua orang sudah melupakannya. Nek Jum sangat
menghormati orang tua yang galak ini. Ia memanggil kakek dengan sebutan kakak
karena lebih tua. Bahkan kakek lebih tua daripada almarhum suami nek Jum.
Untuk mengisi hari-hari nek Jum yang
mungkin tinggal sedikit itu kakekku bersama anak-anaknya sengaja membuka lahan
baru ditanah keluarga kami untuk dijadikan tempat menanam jagung. Setelah lahan
bersih, kemudian diserahkan khusus bagi nenekku dan nek Jum untuk menanami
jagung dan sayuran.
Nek Jum ternyata orang tua yang sangat
rajin. Tiap hari, pagi-pagi sekali nek Jum sudah tiba dirumah nenek untuk
sama-sama pergi ke kebun. Bahkan pernah saat nenek dan kakekku masih tidur. Nek
Jum tanpa diminta membantu memasakkan makanan pagi buat keluarga nenekku. Bukan
main semangatnya. Berkat perawatan yang baik dari nenek bersama nek Jum,
tanaman jagung dan sayur-sayuran tumbuh subur. Diperkirakan sekitar empat bulan
lagi akan panen jagung.
Pada malam hari biasanya nek Jum akan
kembali mengunjungi rumah keluarga nenekku untuk belajar mengaji dari kakekku. Kadang
nek Jum menginap sampai pagi. Tidak ada yang meminta. Menurut nek Jum, ia hanya
menunaikan wasiat dari suaminya dulu sebelum meninggal dunia. Selain itu juga
nek Jum diajari oleh kakek dan nenekku cara sembahyang yang benar. Sampai akhirnya
ia bisa shalat sendiri dirumahnya.
Hari-hari yang indah itu tidak berlangsung
lama. Jika dihitung sejak meninggalnya sang suami, kurang lebih setahun. Seolah
membenarkan teori “sintak roh”, sekitar seminggu setelah panen jagung nek Jum
sakit parah. Ia terkena muntaber. Penyakit yang dulu menyebabkan suaminya
meninggal. Saat itu penyakit muntaber memang sedang mewabah. Banyak juga orang
lain yang mengalami. Hanya berlangsung dua hari tanpa perawatan berarti, nek
Jum pun kembali kehadirat Tuhannya dengan disaksikan oleh tetangga dan seluruh
keluarganya termasuk keluarga nenekku. Jumat pagi, nek Jum meninggal dunia
tanpa sempat menyelesaikan pengajian-nya. Isak tangis kesedihan memenuhi rumah
besar keluarga nek Jum. Hari itu juga setelah selesai shalat Jumat, jenazah nek
Jum dimakamkan pada pekuburan tengah kampung tepat disamping makam suaminya.
SELAMAT JALAN NEK JUM. KIRANYA DIRIMU SUDAH
BISA BERJUMPA DENGAN SANG SUAMI TERCINTA. SEMOGA YANG MAHA KUASA MEMBERIKAN
TEMPAT YANG LAYAK UNTUKMU. Aamiin.
************
Setelah kepergian nek Jum, seluruh
keluarganya berduka. Lebih-lebih nenekku yang hampir tiap hari menghabiskan
waktunya bersama nek Jum di kebun. Nenek benar-benar merasa kehilangan. Kakekkku
dan anak-anak lah yang kemudian memberikan semangat hingga ia dapat menerima
kenyataan itu. Nasehat dari kakek untuk nenek bahwa mati adalah takdir. Kita tak
bisa menolaknya. Cepat atau lambat. Kau, aku atau siapapun yang masih hidup saat
ini pada akhirnya akan mengalami. Hanya menunggu waktu. Pilihan kita hanya
menerima Takdir itu. Maka isilah hari-hari yang tersisa dengan hal baik sebagai
bekal dikemudian hari untuk menempuh perjalanan selanjutnya
Tataplah buah kelapa dipuncak pohonnya. Ada
yang sudah tua, ada juga yang masih kecil. Kita tidak pernah tahu buah kelapa mana
yang jatuh duluan. Akan tetapi, secara logika, kelapa tua ibarat kapal bocor,
tinggal menunggu oleng dan karam lalu tenggelam duluan. Di usia yang sudah tua
tidak perlu lagi sibuk dengan urusan dunia. Sudah saatnya belajar Ikhlas, rela
menerima keadaan dan mempersiapkan diri
Kakek meninggal sekitar tahun tujuh
puluhan. Aku sendiri belum pernah melihat rupanya karena belum lahir kedunia
ini. Saat kakek meninggal, ibuku baru memiliki anak pertama dan anak kedua. Menurut
ibuku, kakek hanyalah seorang lelaki bertubuh kecil dan kekar. Seperti
dikatakan sebelumnya, penyayang tapi galak. Sedangkan nenek, meninggal pada
tahun 2002 saat aku masih berada dibangku SMA kelas dua.
S E L E S A I
*After scene kredit.
- Bertahun-tahun setelah meninggalnya nek
Jum, dusun tempat tinggalnya tidak ada yang menempati lagi.
- Anak pertama yang pernah menggantikan
pekerjaaan almarhum ayahnya juga sudah tidak bekerja sebagai pembuat gula
merah.
- Anak pertama beralih pekerjaan sebagai
nelayan di rawa-rawa.
- Walaupun demikian, pada saat-saat
tertentu, anak pertama pergi kedusun untuk membersihkan rumput-rumput yang
menutupi kebun buah.
- Lama kelamaan gubuk keluarga nek Jum yang
berada di dusun roboh karena kayu-kayu penyangganya sudah rapuh.
- Gubuk itu akhirnya runtuh kesungai
bersama “tanah tabor” (longsor) oleh aliran air sungai.
- Tempat tersebut sekarang berubah menjadi
sebuah “talok” (teluk/lubuk) yang luas.
- Aku bersama kakakku pernah pergi
memancing ketempat ini menggunakan perahu ketinting.
- Jika pakai ketinting, dengan kecepatan
standar, waktu yang diperlukan sekitar setengah jam untuk mencapainya.
- Banyak ikan-ikan yang menghuni talok
tersebut, terutama ikan “ mpikusan, lais, lapok, salap, lancang, bahkan patin”.
- Masihkah bekas gubuk keluarga nek Jum
menjadi daerah yang angker?
- Sampai bertemu lagi pada cerita yang
lain.
Salam, TF 1