Ehmm…hehehe… setiap kami posting sesuatu di FP ini biasanya ada yang nagih cerita “Penguling” atau tulisan lainnya. Sambungannya kapan? Dah lama nih kok gak ada lanjutannya?
Belum tuntas cerita lama, malah membuat tulisan baru. Bersambung lagi!
Jujur, aku juga bingung menjelaskannya. Udah janji berkali-kali belum bisa ditepati. Selain karena sibuk bekerja, kami kadang juga kehilangan semangat dalam menulis. Dan yang paling parah, kehilangan ide tulisan. Sulit sekali merangkai kalimatnya. Entah dongeng atau cerita nyata, harus berkali-kali bertanya pada sumbernya. Beban hidup dan bawaan umur kali ya, pelupa!
Siang kemarin aku sudah membuat konsep cerita lanjutan “Naga Sigruding”. Akan tetapi, baru beberapa baris menulis, udah kehabisan ide. Aku mencoba memaksakan diri terus menulis. Namun, rasa malas malah menyerang bertubi-tubi. Pada akhirnya aku memilih langkah terakhir yaitu menghapus tulisan itu. Lalu melakukan aktivitas yang paling kusukai yaitu tidur siang.
Saat tidur siang aku malah bermimpi aneh. Mungkin kebawa cerita yang sedang aku garap barusan kali ya. Entahlah. Tapi mimpi tadi siang malah mirip sekali dengan cerita “ Retha” yang dulu pernah dibuat. Walaupun tokohnya beda, masih seputar mimpi bertemu perempuan yang selama ini aku belum pernah bertemu dengannya. Apa perlu diceritakan disini? Kayaknya gak perlu yah! Soalnya itu mimpi gak ada ujung pangkalnya. Sayangnya aku keburu dibangunkan ibuku ketika memasuki waktu shalat ashar. Aku hanya ingat perempuan di dalam mimpi itu bernama “mustika”. Sebuah nama yang indah. Nama, umumnya mewakili tampang (wajah) si pemilik nama. Kalian bisa bayangkan. Cantik pastinya. Tetapi apalah artinya kalau gak ada didunia nyata.
Sore hari, demi menghibur diri aku jalan-jalan berkeliling kampung untuk menghilangkan kejenuhan. Setelah pulang, aku lalu duduk-duduk dipinggir sungai sambil memberi makan 8 ekor kucing liar. Mereka makan dengan lahapnya. Maklum hanya diberi makan sehari sekali. Biasanya total ada 13 ekor. Sisanya entah ada dimana. Kasian. Memberi makan kucing dialam terbuka bukan hal mudah. Aku harus menjaga makanan kucing dari ayam-ayam rakus tetangga yang juga ikut numpang makan. Kalau gak di halau habislah. Makanya aku pun terus menunggui kucing-kucing itu makan sampai selesai.
Langit sore tadi cukup bersahabat. Hanya ada beberapa awan mendung di kejauhan bagai pengembara kesepian. Sesepi diriku sendiri dalam penantian…………….! (skip)
Ditengah-tengah kesibukanku menghalau beberapa ayam yang ingin merebut makanan kucing, aku kedatangan seorang teman, tepatnya tetangga. Laki-laki seumuran adikku. Ia lalu duduk-duduk di dekatku. Sambil menjaga makanan kucing kami pun mengobrol beberapa hal tanpa arah. Mulai dari “Kecamatan Kenohan” yang katanya masuk zona merah kembali, tentang demo-demo di TV menolak UU Omnibuslaw, sampai isi UU Omnibuslaw itu sendiri. Obrolan yang berat gaess! Terutama masalah UU omnibuslaw. Kayak pakar hukum aja, padahal kami berdua juga belum pernah melihat apalagi membaca UU Cipta Kerja yang menurut perdebatan netizen di sosmed, tebalnya lebih dari 1000 halaman. Woww.
Nah, dari obrolan Omnibuslaw inilah merambat ke soal pekerjaan. Temanku ini dulunya memang pernah menjadi karyawan disebuah perusahaan yang mengelola penebangan dan penanaman Pohon Akasia. Kalau tidak salah berdiri sekitar tahun 2008. Letaknya disuatu tempat yang masih memiliki hutan lebat. Termasuk kedalam wilayah kecamatan Kembang Janggut. Berjarak kurang lebih 20 km dari Kecamatan Kembang Janggut. Ini hanya perkiraan saja. Soalnya aku sendiri belum sekalipun menginjakkan kaki kesana.
Temanku sendiri bekerja diperusahaan itu katanya sekitar tahun 2010 sebagai sopir mobil pengangkut barang makanan. Sebuah mobil “Strada” tua menggantikan sopir lama, temannya sendiri. Sebelumnya temanku ini bekerja sebagai “hokmen” pembantu operator alat berat yang menggarap lahan diperusahaan lain. Ia pun menceritakan pengalaman paling berkesan yang pernah dialaminya selama bekerja dari tahun 2010 sampai 2013 tersebut padaku sore tadi. Aku sudah meminta izinnya untuk menuliskan kedalam cerita. Oleh karena itu, daripada melanjutkan cerita-cerita yang belum selesai lebih baik menuliskan cerita ini saja sebelum keburu lupa.
Agar lebih mudah, penulis disini akan memposisikan diri sebagai orang pertama. Orang yang langsung mengalami cerita ini. Silakan terus membaca sampai selesai.
Aku mulai bekerja di PT. A sekitar tahun 2010. Perusahaan ini berdiri kurang lebih 6 tahun sebelumnya. Camp perusahaan sendiri berada didirikan pada sebuah tanah seluas satu hektar. Dengan dikelilingi oleh lahan penanaman kayu. Beberapa barak karyawan dan rumah para pimpinan dibuat terpisah. Ada juga sepertinya beberapa barak sedang dibangun kala itu. Satu barak terdiri dari beberapa sekat kamar bagi karyawan. Dalam satu kamar diisi oleh dua sampai empat orang. Total ada 30 orang karyawan tetap, termasuk para pimpinan (manager) dan staf kantor yang tinggal ditempat ini.
Sebenarnya perusahaan ini memiliki ratusan karyawan lain yang merupakan warga dari beberapa kampung berbeda. Karyawan-karyawan itu akan pulang kekampungnya sore hari ketika jam kerja telah selesai. Mereka hanya akan kembali lagi esok harinya untuk bekerja kembali. Jadi karyawan yang menempati barak-barak disini hanya yang berasal dari tempat jauh. Kebanyakan merupakan karyawan yang dibawa oleh perusahaan dari cabangnya ditempat lain dan berasal dari luar pulau Kalimantan. Mereka adalah operator alat-alat berat, sopir truk, para mekanik, dan beberapa staf kantor perusahaan.
Kurang lebih seminggu setelah mengajukan diri untuk melamar sebagai karyawan, aku pun mendapat panggilan dari manager perusahaan. Sesuai keinginanku, aku memang ditempatkan sebagai sopir mobil pengangkut barang-barang keperluan perusahaan. Aku saat itu hanya digaji Rp 1,8 juta perbulan saja. Tidak ada jam lembur. Jika tinggal dibarak, urusan makan dijamin 3 kali sehari kecuali rokok. Kalau sepakat maka aku langsung bekerja saat itu juga. Tanpa membantah aku pun langsung menyanggupinya
Setelah mengisi beberapa formulir dan perjanjian kerja aku pun di tes secara langsung untuk mengoperasikan mobil. Semua berjalan lancar. Memiliki Sim dan pengalaman lima tahun sebelumnya menjadi sopir truk pengangkut “kayu belambangan” mempermudah semuanya. Maka akupun resmi menjadi karyawan diperusahaan sejak hari itu.
Aku pun diberikan pilihan untuk tinggal di barak atau dikampung. Yang penting pada pada saat jam kerja selalu ada ditempat kerja. Dan satu hal lagi, jam kerjaku tidak sama dengan karyawan lain. Hanya sewaktu-waktu saja mobil yang aku kendarai beroperasi. Akan tetapi tidak mengenal waktu. Kadang pagi, sore, bahkan malam hari sekalipun harus siap berangkat. Sebenarnya lebih banyak santainya. Mungkin itu pula pertimbangan perusahaan gajiku paling murah dari karyawan lain. Bayangkan sopir digaji cuma Rp 1,8 juta. Sedangkan seorang sopir truk sekitar 4 juta. Operator alat berat gajinya diatas 5 juta ditambah jam lembur dan bonus mereka bisa menerima puluhan juta perbulan.
Setelah mempertimbang jarak dan waktu. Aku kala itu memilih tinggal dibarak perusahaan. Kalau mau sebenarnya aku bisa pulang pergi dari rumah keperusahaan dengan mobil kerjaku. Perlu waktu kurang lebih 2 jam dari kampung ke sana. Akan tetapi jalan yang dilewati masih banyak tempat-tempat yang rusak dan sangat licin ketika musim hujan. Tidak ada signal telepon sama sekali. Hubungan jarak jauh hanya menggunakan Radio HT. Berbeda jauh dengan keadaan saat ini.
Aku tinggal pada sebuah barak yang sebelumnya di huni oleh 2 orang dalam satu kamar. Jadi total ada kami bertiga yang menempati kamar itu. Aku langsung akrab dengan mereka. Keduanya adalah operator alat berat . Suku jawa tapi lahir dan tinggal di kota S. Tidak jauh dari barak kami ada sebuah bangunan tersendiri yang dijadikan kantin sebagai tempat makan karyawan. Selain itu, dikantin perusahaan inilah para karyawan yang ada bisa membeli atau berhutang barang-barang keperluan sehari-hari seperti rokok atau gula pasir, teh, kopi, susu, dll.
Malam pertama tinggal di barak bersama 2 orang teman baru cukup asing bagiku. Suasana saat itu benar-benar sepi. Beda jauh kalau siang hari, banyak karyawan lain mondar mandir di areal perumahan ini. Namun sejak tadi sore mereka sudah pulang kedesanya masing-masing yang berjarak sekitar puluhan kilometer saja. Kami saling menyesuaian diri. Mengobrol akrab banyak hal sambil minum kopi sebelum tidur. Dari cerita cerita mereka berdua, katanya ditempat yang kami tinggali sekarang dulu pernah dihuni oleh seorang lelaki tua yang juga bekerja sebagai operator. Akan tetapi lelaki itu sudah lama meninggal karena sakit aneh dan dikuburkan dikampung halamannya.
Cerita yang cukup menyeramkan adalah katanya kalau kita tidur sendirian dikamar ini, entah siang atau malam sering bermimpi aneh di datangi sejenis kera besar yang disebut orang berok malam. Belum lagi ada cerita lainnya. Sebelah belakang barak yang kami tinggali ada jalan setapak mengarah kesebuah sungai kecil. Jaraknya sekitar 150 meter. Di sungai inilah karyawan-karyawan mandi atau mengambil air minum. Di sungai ini pula dibuat sebuah rakit kecil lengkap dengan jambannya sebagai tempat untuk buang air besar. WC umum karyawan sebenarnya ada satu. Akan tetapi sering kekurangan air.
Sebelum mencapai sungai kecil itu kita akan melewati rimbunan hutan yang sama sekali tidak digarap sebagai lahan kebun. Entah apa alasannya. Namun dari cerita masyarakat sekitar di hutan itu dulunya pernah menjadi tempat “buang bangkai” bagi orang mati yang dimasukkan kedalam peti kayu yang disebut “lungun”. Hanya cerita masa lalu. Karena jika kita berada ditempat tersebut tidak akan ada satupun melihat penampakan lungun. Ada cerita lain yang mengatakan jika lungun-lungun itu sudah lapuk menyatu dengan tanah karena sangat lamanya.
Akan tetapi anehnya, katanya kalau “beruntung” konon kita bisa melihat begitu saja barisan lungun-lungun yang ditata pada sebuah tiang tinggi. Ada juga yang diletakkan ditanah. Penampakan demikian hanya sekilas saja. Pernah ada juga karyawan “apes” berburu kancil dihutan itu pada malam hari membawa anjing. Ketika memasuki hutan tersebut anjingnya malah kabur katakutan. Sang pemilik anjing sendiri kaget karena tiba-tiba saja terdengar suara benda berat bergerak kearahnya. Saat disorot dengan senter, rupaya suara itu berasal dari sebuah lungun yang sudah berlumut berjalan bolak-balik. Ia pun lalu berlari ketakutan mengikuti anjingnya untuk menuju kearah barak. Saat mencapai jalan besar, lungun itu pun menghilang begitu saja.
Ada lagi cerita lain yang berlokasi dipinggir sungai kecil. Tepatnya berada di sisi sungai sebelum mencapai jamban. Katanya disana ada penunggunya berupa perempuan berambut panjang yang bisa berubah-ubah wujud. Kadang cantik, kadang sangat menyeramkan. Walaupun begitu, sangat jarang sekali ada penampakan. Lebih banyak kesaksian hanya mendengar suara tangisan perempuan pada saat berada dijamban. Suara tangisan wanita ini bisa terdengar walaupun siang hari saat suasana ditempat itu benar-benar sepi. Bagi orang-orang penakut, biasanya hanya mendengar suara tangisan saja sudah buru-buru kabur ke barak. Lain halnya bagi para pemberani yang penasaran mencoba mencari asal suara tersebut. Hasilnya si pencari yang penasaran ini malah kembali kebarak dengan kondisi kesurupan.
Siapa sebenarnya perempuan menangis itu?
Kata temanku, jelas bukan manusia. Melainkan arwah penasaran yang sudah cukup lama menghuni tempat tersebut. Sejak awal perusahaan berdiri. Perempuan ini asalnya dari bangunan kantin. Seorang karyawan juga yang tugasnya membantu “ibu kantin” memasak makanan sehari-hari untuk semua orang.
Aku pun penasaran. Bagaimana ceritanya? Tanyaku pada teman-teman.
Karena sudah larut malam, teman-teman sepertinya enggan melanjutkan ceritanya. Bahkan sampai aku berhenti dari pekerjaan pun mereka tak pernah melanjutkan cerita tersebut. Singkatnya menurut teman-teman, dihutan ini banyak hantunya. Kami pun tidur beralaskan kasur masing-masing yang disediakan bagi karyawan.
Sebagai orang yang lahir dan hidup didesa, cerita-cerita seram bagiku bukanlah hal yang mengejutkan dan menakutkan. Bukannya sombong. Aku sudah terdidik menjadi pemberani. Beberapa kali pengalaman bekerja kayu didalam hutan. Belum pernah sekalipun mendengar suara-suara aneh menakutkan maupun melihat penampakan menyeramkan. Bahkan aku seakan tidak begitu mempercayai adanya hantu. Jika pun mendengar suara-suara aneh, tak lain hanya suara binatang hutan. Malam pertama berjalan dengan lancar sampai pagi. Semua cerita teman baruku berlalu begitu saja. Kami kembali ke tugas masing-masing.
*********
Setiap hari bekerja sebagai sopir, aku mengantarkan “ibu kantin” untuk membeli sembako di desa K. Seorang janda perempuan paruh baya seusia ibuku. Orangnya juga ramah. Ia sudah bekerja sebagai “tukang masak” sejak awal perusahaan berdiri. Suku bugis namun lahir dan tinggal pada sebuah desa di Kabupaten P. Katanya ia memiliki 3 anak yang masih sekolah disana.
Dari ceritanya aku jadi tahu kalau dulunya ibu kantin memiliki asisten seorang perempuan muda yang membantunya . awalnya semua berjalan lancar. Sekitar setahun bekerja sebagai tukang masak, asisten ibu kantin ternyata diam-diam menjalin hubungan asmara dengan salah satu karyawan yang menjadi operator alat berat. Akhirnya hamil tanpa pernikahan. Karena malu diketahui banyak orang, sang operator pada suatu ketika menghilang. Saat itu diperkirakan usia kandungan baru 2 bulan. Ada yang menyebut operator alat berat ini pulang ke tempat asalnya di luar pulau. Disana juga ia sudah berkeluarga.
Akibatnya perempuan hamil ini langsung diberhentikan dari pekerjaannya. Sebagai rekan kerja, ibu kantin pun masih berbaik hati membiarkan perempuan itu tinggal bersama di barak. Pernah sekali suatu sore perempuan ini ditemukan gantung diri pada sebuah pohon dipinggir sungai. Belum sempat meninggal karena keburu diselamatkan. Beberapa hari kemudian ibu kantin terpaksa mengantarkannya pulang kekampung asalnya.
Kurang lebih 3 bulan ibu kantin mendapat kabar jika mantan asistennya itu meninggal karena sakit. Berita itu tentu saja membuat ibu kantin merasa benar-benar sedih. Selain itu ia juga merasa bersalah karena dulu mengajaknya bekerja tanpa bisa menjaga dengan baik. Akibatnya ia merasa tidak enak dan stress berbulan-bulan. Pernah sampai punya keinginan untuk berhenti. Namun mengingat tanggungjawabnya membiayai anak-anak dikampung ibu kantin dapat terus bertahan hingga sekarang.
Dari cerita ibu kantin inilah aku sendiri menebak jika cerita-cerita teman satu kamar ada hubungannya. Sayangnya ibu kantin tidak mau menceritakan lebih jauh lagi. Cerita Aib semacam ini memang tidak pantas untuk diungkit kembali.
Setelah berbulan-bulan bekerja, aku semakin akrab dengan ibu kantin karena hampir tiap hari mengantarkannya belanja kebutuhan pokok dikampung lain. Hingga saat itu pula cerita teman-teman mengenai keangkeran disini tak satu pun terbukti. Aku belum mendengar suara maupun melihat hantu. Mungkin karena menganggap aku pemberani, ibu kantin sering memintaku menemaninya kesungai jika ada keperluan malam hari. Sebelum aku bekerja, katanya ada wakar yang berjaga menemani. Alasannya bukan karena takut hantu, lebih kepada takut ada binatang buas. Wajar saja, kan perempuan.
Kurang lebih setahun kemudian semua berjalan lancar seperti biasanya. Pada suatu sore aku mendapat tugas untuk mengambil spart part alat berat yang sudah dipesan di kampung K. Jaraknya lumayan jauh. Saat aku tiba, suasana sudah mulai gelap karena mendung. Setelah barang-barang itu diambil, akupun memacu mobil kembali keperusahaan. Gerimis mulai turun.
Saat memasuki simpang jalan masuk keperusahaan, dari kejauhan aku melihat seorang anak kecil berdiri dipinggir jalan. Walaupun agak gelap, masih dapat terlihat jelas bagian tubuhnya tanpa menyalakan lampu sorot mobil. Seorang anak perempuan kira-kira seumur anak SD. Memakai baju kaos lusuh anak laki-laki dan rok. Yang pasti bukan anak karyawan di perusahaan. Karena disana tidak ada anak kecil. Perkiraan pertama, mungkin anak orang dayak karena sekitar puluhan kilometer dari tempat kerja ada beberapa kampung dayak. Hal yang aneh menurutku, anak tersebut basah kuyup seperti terkena hujan lebat. Padahal ketika itu hanya gerimis kecil. Ketika berada tepat disamping anak tersebut, aku pun segera berhenti dan membuka jendela mobil untuk menyapanya.
“Dek, lagi nunggu apa? Orang tuamu dimana?” Tanyaku.
Anak kecil itu hanya diam saja sambil menatap tajam kearahku. Tubuhnya menggigil kedinginan. Aku kembali mengulang pertanyaan yang sama namun anak kecil ini tidak menjawab sama sekali. Mungkin saja ia tak mendengar kata-kataku karena mesin mobil masih dalam keadaan hidup. Mesin mobil segera kumatikan. Merasa kasihan, aku keluar dari mobil mendekati anak itu.
“Dek asalmu darimana? Sendirian disini apa gak takut? Rumahmu dimana?”
Tidak ada jawaban sama sekali.
Mungkin saja anak ini tidak mengerti bahasa Indonesia, pikirku. Aku pun mencoba menyapanya dalam bahasa kutai dan dayak. Masih tidak ada jawaban selain hanya terdengar suara rintihan kecil yang kedinginan. Merasa sangat kasihan akupun memegang tangannya yang dingin bermaksud untuk mengajak masuk kedalam mobil.
“Kalau tidak mau menjawab, ya sudah! Adek masuk mobil om saja ya! Nanti om antarkan pulang!”
Tiba-tiba saja anak kecil itu menarik tangannya dengan kuat hingga terlepas. Napasnya turun naik seperti orang marah. Akupun memilih untuk tak bertanya lagi. Jujur saja ada sedikit rasa takut kala itu. Aku kembali masuk kedalam mobil, sementara anak kecil tersebut masih berdiri kedinginan sambil terus menatap tajam kearahku.
Didalam mobil, aku berpikir beberapa saat. Apakah anak ini sedang menunggu orang lain, pikirku. Tidak mungkin anak hantu. Karena kasihan, aku keluar kembali sambil membawa sebuah teh kotak yang aku beli di kampung K. Belum sempat diminum sedikitpun. Kuberikan langsung padanya. Anehnya anak ini langsung menerima sambil sedikit tersenyum kecut.
Kamu menunggu orang lain ya? tanyaku pelan.
Kali ini anak tersebut hanya mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Aku sedikit lega. Berarti memang benar-benar anak manusia.
“Kalau begitu, om pulang duluan ya. Rumah om ada diperusahaaan sana. Om tinggal dibarak.” Kataku sedikit tersenyum kearahnya.
Kembali anak kecil dihadapanku hanya mengangguk saja.
Aku masuk kedalam mobil dan menghidupkan mesin. Gerimis sudah berhenti. Dari dalam mobil yang kacanya masih terbuka, kulihat anak tersebut memalingkan badannya menghadap kesisi jalan arah hutan. Sambil mobil bergerak pelan, aku masih memperhatikan anak itu lewat kaca spion. Baru beberapa meter bergerak, hanya dalam sekejap mata penampakan anak tersebut menghilang begitu saja. Akupun terheran-heran. Karena penasaran, mobil Kumundurkan perlahan sampai kembali pada posisi semula. Anak kecil tadi memang benar-benar hilang entah kemana. Aku pun keluar dari mobil sambil membawa senter karena keadaan lebih gelap dari sebelumnya.
Cahaya senter aku arahkan segala arah mencari keberadaan anak tersebut. Akan tetapi, tidak ada siapapun ditempat itu selain aku sendiri. Yang paling aneh, teh kotak yang kuberikan padanya tergeletak dipinggir jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar